Rabu, 14 September 2011

Wings of Guardians #1




The Guardians, Perkumpulan rahasia yang telah terbentuk sejak turun temurun dari ribuan tahun yang lalu. Berisi manusia-manusia dengan berbagai macam kemampuan istimewa. Dari semula tujuan mereka hanya satu. Melindungi orang-orang pilihan Sang Pencipta, yang tidak menyadari kemampuan besar mereka dalam menentukan nasib dunia. Agar mereka tidak jatuh ke tangan pihak yang jahat, Sang Pembantai, yang tak segan-segan melakukan hal-hal keji yang di luar batas bayangan manusia.

= # =

Suara dentingan pedang beradu dan teriakan garang menyibak kegelapan malam di tepi Rimba Buana. Kelebat tubuh-tubuh satria saling bersilang di udara, di antara bunga api yang memercik dari senjata yang beradu. Mata tajamnya berkilat waspada mengawasi gerak gerik lawan-lawan bertarungnya yang terus berkurang jumlahnya. Tumbang satu persatu oleh tebasan pedang peraknya. Sementara nafasnya memburu, berusaha mengatur sirkulasi oksigen untuk masuk lebih banyak mengisi kekosongan paru-parunya.

Entah sudah berapa banyak lawan yang bersimbah darah dan habis menjadi debu. Yang pasti dia merasa lelah, lelah sekali. Tapi pertarungan ini harus  tuntas sepenuhnya. Mereka harus menunaikan tugas hingga selesai dan memastikan jiwa sang terpilih aman.

’Tinggal dua lagi, dan kami berlima pasti bisa menyelesaikannya,’

“Aiden! Awas!”

Greb!

“Akh!!”

Seperti tersengat petir Aiden terpana melihat Andriana terbelalak menahan sakit akibat belati yang menusuk punggungnya. Sementara sang lawan yang telah berhasil menancapkan belati di punggung Andriana, kini tampak meregang nyawa dan sebentar lagi akan hancur menjadi debu karena tebasan pedang Andriana yang tepat mengenai perutnya.

“Andriana!!!”

“Aiden! Bawa Andriana menyingkir! Selamatkan dia!”

Terdengar suara lantang Suki, tandem Andriana, yang kini tampak berjuang sekuat tenaga menghadapi sosok berjubah kelabu yang terus menyerangnya dengan membabi buta. Segera Aiden membopong Andriana yang bersimbah darah, melesat di atas kaki lincahnya jauh menelusup ke dalam Rimba Buana, meninggalkan rekan-rekannya yang masih berjuang menunaikan tugas mereka.

Aiden terus saja melesat menembus kegelapan hutan hanya berpandu pada cahaya bulan yang sesekali menelusup di antara rimbunnya pepohonan. Meninggalkan arena pertarungan yang kini hanya sayup-sayup terdengar dan semakin lama semakin hilang seiring semakin jauh langkahnya masuk ke dalam hutan.

“Aiden…”

Suara Andriana begitu lemah, seakan sebuah gema yang menggaung jauh di telinga Aiden.

“Tolong, jangan bicara dulu Andriana. Simpan tenagamu, kau akan membutuhkannya untuk pulih nanti,”

Aiden kembali melesat jauh, tak dirasainya lagi kelelahan yang tadi menderanya. Tiba-tiba, cengkeraman lembut di baju Aiden menyadarkannya untuk menghentikan langkah.

“Andriana?”

Serta merta Aiden berhenti di bawah pokok pohon Dewandaru tua yang tengah berbuah lebat, tepat di tepian aliran sungai yang berwarna keperakan ditimpa cahaya bulan. Betumpu pada kakinya, Aiden memangku Andriana yang tampak semakin pucat. Dengan perasaan was-was, dia mencoba memeriksa luka Andriana.

’Tidak, semoga bukan itu,’

Hatinya berdegup kencang, mengharap cemas, semoga apa yang ditakutkannya tidak menimpa Andriana, kekasihnya. Namun harapannya sirna seketika ketika melihat bentuk khas tangkai belati yang masih menancap di punggung Andriana.

”Andriana?”

Andriana hanya menggerakkan lemah kelopak matanya yang terpejam. Serta merta, Aiden merobek sedikit baju Andriana, tepat di sekitar lukanya. Dan benar saja, dibawah temaram cahaya purnama, Aiden melihat kulit di sekitar belati yang menancap itu kini tampak hitam mengerikan, menandakan racun ganas telah menyebar, menggerogoti inci demi inci tubuh Andriana.

Dengan kalut Aiden mencari-cari rantai kalung yang melingkar di lehernya.

”Andriana... Andriana... Bertahanlah...”

Tangan kiri Aiden gemetar susah payah membuka botol kecil seukuran kelingking yang menggantung di rantai kalungnya. Dengan tak sabar akhirnya ia menggigit botol kecil itu, mengacuhkan rasa perih yang menggores bibirnya karena pecahannya.

”Andriana, minum ini... Andriana...”

Susah payah Aiden meminta Andriana untuk membuka bibir hanya sekedar untuk meminumkan obat yang dipunyanya. Tapi bibir pucat itu tampak sulit untuk membuka karena bergetar hebat. Aiden memutuskan mengambil keputusan cepat, ia menenggak tandas isi botol dan kemudian meminumkannya pada Andriana. Bibir yang biasanya begitu lembut menyambut kecupannya kini terasa dingin membeku di bawah ciumannya. Hati Aiden berdesir perih diliputi perasaan takut yang tiba-tiba mendinginkan kuduknya.

Aiden tahu, perbuatannya memberikan penangkal racun pada Andriana adalah hal yang sia-sia, namun hati kecilnya masih berharap datangnya keajaiban dari hasil ramuan Ondien, sang tetua para Guardians.

Detik demi detik yang dilalui Aiden terasa begitu lambat. Harapannya bergantung pada belas kasihan sang benang maut yang begitu tipis nyaris tak tampak. Berharap benang itu tak putus saat ini.

”Andriana...?”

Gadis itu hanya diam bergeming. Perlahan namun pasti, nafasnya mulai melambat, terus melambat dan akhirnya terhenti sama sekali.

”Andriana!!!!”

Aiden tersentak dari tidurnya.

Mimpi itu kembali hadir. Mimpi tentang Andriana. Purnama yang menyesakkan bagi Aiden ketika ia harus menyaksikan Andriana, kekasihnya meregang nyawa karena berusaha melindunginya. Peluh membanjiri tubuh Aiden dan desakan nafas yang memburu membuat dadanya tersengal-sengal. Semuanya masih terasa begitu nyata bagi Aiden. Tubuh dingin Andriana. Bibir pucat Andriana. Darah merah segar kehitaman. Belati bertangkai ular kepala tiga. Semuanya seperti masih baru kemarin.

’Andriana...’

Dan segala kenangan pahit itu kembali singgah dalam kenangannya. Bagaimana ia berjuang, terseok-seok dalam rasa duka dan kehilangan saat membawa jasad Andriana yang semakin lama semakin dingin dalam dekapannya menuju Sanctuary, pusat pertemuan para Guardian, tempat Ondien dengan setia menunggu para legionernya kembali.

Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia memanggil Andriana. Walau ia tahu itu hanyalah perbuatan menangkap angin, namun tetap saja bibirnya yang bergetar oleh luapan duka terus menyebutkan nama gadis dalam dekapannya. Hatinya masih berharap, Andriana hanya sedang tertidur atau Andriana hanya sekedar mati suri, untuk kemudian akan terbangun kembali jika ia terus memanggilnya.

Bahkan saat tiba di Sanctuary, ketika Suki dan rekan-rekan Guardian yang lain tengah menunggu dengan harap-harap cemas akan keselamatannya dan nyawa Andriana, ia masih saja terus berharap. Masih mengangankan Andriana akan membuka mata ungu amethyst-nya yang selalu mampu membuatnya tenggelam dalam pesonanya, tersenyum padanya dan membuka bibirnya menceritakan segala mimpi-mimpinya dengan alunan suara merdunya.

Namun semua harapan dan angan-angannya tak pernah mewujud menjadi kenyataan. Tangan Ondien yang diharapkannya mampu menyelamatkan Andriana pun tak mampu berbuat apa-apa. Semuanya habis sudah, cintanya sudah pergi jauh, yang tertinggal hanya jasad beku Andriana. Terdiam, membujur kaku dengan baju putih bersih, selayaknya seorang pengantin perawan yang tengah tertidur lelap.

Aiden mengusap wajahnya dengan telapak tangannya, berharap segala kenangan yang berkelebat di otaknya ikut terhapus. Perlahan ia beranjak meninggalkan tempat tidurnya.

Hari belumlah pagi, baru jam tiga dini hari, suasana di luar pun begitu sunyi dan kelam. Sesekali terdengar kepakan kalong bercicit ribut menyerukan pada teman-temannya bahwa ada buah ranum yang siap untuk mereka nikmati. Dengan mata hitam batubaranya, Aiden mengamati kelamnya malam. Menyesap dinginnya udara yang menerpa telanjang kulit dadanya yang bidang.

Tiba-tiba matanya menyipit kala melihat sesuatu yang mencurigakan bergerak-gerak di sela rimbunnya dedaunan pohon merawan yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Dengan segera Aiden mengambil sikap waspada. Ia tak mau gegabah. Pada posisi bulan mati seperti saat ini, musuh selalu saja bersikap licik dengan menyelinap ke kediaman para guardian untuk melakukan penaklukan.

Gerakan yang timbul di rimbunan daun merawan berhenti seiring sikap waspada Aiden, seakan apapun atau siapapun yang ada di balik rerimbunan daun itu menyadari kehadiran Aiden. Aiden pun terdiam. Ia menajamkan indera pendengarannya dan memusatkan pandangan matanya pada sumber suara.

Tiba-tiba matanya beradu pandang dengan sepasang mata yang berkilat terang. Aiden sadar, itu bukan mata manusia. Dengan mempererat cengkeramannya pada gagang pedang peraknya, Aiden beringsut perlahan mendekati bingkai besar pintu menuju balkon rumahnya. Hatinya berdegup kencang dan penuh kesiagaan. Dia tak mau ceroboh, karena para pembantai bisa saja muncul sewaktu-waktu menyergapnya. Dan para pembantai punya seribu cara dalam upayanya menghabisi para guardian.

Suara geraman pelan menyergap pendengaran tajam Aiden. Aiden mengerutkan dahinya. Sepertinya ia mengenal suara geraman itu.

“Thor?”

Aiden berseru pelan pada kegelapan rerimbunan merawan. Hatinya berharap-harap cemas menanti respon dari asal suara geraman itu. Perlahan sebuah gerakan di gerumbul daun di sebelah kiri balkon menarik perhatian Aiden. Dan benar saja, tak berapa lama, dengan sangat perlahan, seekor macan kumbang berjalan di dahan besar merawan dan menyeberangi pagar balkon rumahnya. Terlihat sekali hewan malam itu bersikap waspada dan mengawasi Aiden dengan mata penuh perhitungan.

”Thor?”

Macan kumbang itu memandang kembali ke arah Aiden, namun kali ini mulai terlihat lebih lunak dan bersahabat.

”Thor? Itu benar-benar dirimu kan, Thor?”

Perlahan Aiden menyarungkan pedangnya yang terhunus dan berjalan mendekati macan kumbang yang kini duduk dengan pandangan masih bersiaga terhadap kehadiran Aiden. Hati Aiden miris melihat kondisi hewan itu. Begitu kurus dan menyedihkan. Bahkan saat Aiden memperhatikan dengan seksama, tampak beberapa luka kecil di tubuh hewan itu.

Dengan kewaspadaan penuh, Aiden mencoba mendekati Thor, berusaha membangun kontak fisik dan batin pada hewan yang tampak terluka fisik dan psikisnya itu.

”Thor, kau darimana saja? Apakah kau masih merindukan Andriana?”

Perlahan namun pasti, Aiden mulai mendapatkan rasa percaya hewan buas itu. Bagaimanapun Thor dan Aiden punya keterikatan tersendiri. Aiden adalah kekasih Andriana, dan Thor, macan kumbang jantan yang gagah itu adalah hewan kesayangan Andriana. Andriana dan Aiden mendapatkan Thor ketika mereka tengah dalam perjalanan di tengah hujan lebat dengan petir yang menyambar ganas menuju Negeri Lima.

Kala itu, Thor ditinggal sendirian oleh induknya yang mati tak jauh dari sarangnya. Sepertinya sang induk telah berjuang hingga titik darah penghabisan untuk melindungi anaknya. Dari banyaknya bercak darah yang berceceran dan besarnya luka koyak di lambung induk Thor, terlihat sisa-sia pertarungan antara dua hewan buas. Thor, yang begitu ketakutan berjuang dengan cakar kecilnya untuk membela diri ketika Aiden dan Andriana berusaha mendekatinya. Andriana begitu jatuh cinta pada Thor kecil yang bersemangat dan dengan gagah berani berusaha mempertahankan dirinya. Dan sejak itu pula, anak macan kumbang piatu itu menjadi hewan kesayangan Andriana dengan nama Thor, tepat seperti suara petir yang menggelegar pada awal perjumpaan mereka.

Ketika Andriana tewas dalam pertarungan, Aiden sadar, bukan hanya dirinya yang berduka dan kehilangan. Thor juga mengalami hal yang sama, bahkan mungkin Thor lebih merasa kehilangan dibanding dirinya. Selama ini Thor hanya hidup bersama Andriana hampir-hampir tidak pernah berinteraksi dengan sesama jenisnya kecuali dengan Storm, burung elang betina milik Aiden.

Dengan kesedihan hewaninya, diam-diam Thor mengawasi upacara kremasi Andriana dari dahan trembesi di samping kediaman Ondien. Thor pun mengikuti dari jauh langkah-langkah Aiden dan duduk diam menunggu di balik pohon pinus saat Aiden menebarkan abu Andriana dari puncak Bukit Berkabut. Thor merasakan kehilangan Aiden akan Andriana. Thor juga merasakan patah hati yang  kedua untuk kalinya atas meninggalnya Andriana. Dan itulah kali terakhir Aiden melihat Thor, tepat lima belas purnama yang lalu

”Thor, kau kemana saja selama ini?”

Thor menggeram pelan, menjawab pertanyaan Aiden dengan caranya sendiri.

”Kenapa kau tidak menemuiku, Thor? Apakah kau masih marah padaku soal Andriana?”

Kembali macan kumbang besar itu menggeram, membuat Aiden menghela nafas, berusaha mengalirkan udara ke rongga dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

”Sampai saat ini pun aku belum mampu mema’afkan diriku sendiri untuk kejadian malam itu, Thor. Seharusnya Andriana tidak boleh mati malam itu, seharusnya akulah yang mati,”

Thor terdiam mendengkur ketika Aiden membelai lembut puncak kepalanya. Saat tangan maskulin Aiden menyentuh kaki depannya, dengan segera geraman penuh antisipasi dan ancaman keluar dari moncong bertaring tajam itu.

Aiden segera menarik diri, mengantisipasi gerakan liar dari hewan tak bertuan itu.

”Ma’af Thor, ma’afkan aku,”

Aiden menjaga kontak mata sambil terus meningkatkan kewaspadaan.

”Apakah kau terluka? Boleh ku lihat lukamu?”

Thor kembali menggeram perlahan, namun kali ini bersikap seperti anak kecil yang mengadu. Thor mengulurkan kaki depannya pada Aiden yang perlahan kembali mendekati dirinya. Benar saja, sebuah luka sayat tajam bernanah tampak menoreh di sepanjang tungkai depan Thor. Sepertinya luka itu sudah cukup lama ada di sana. Aiden memandang miris pada Thor yang terlihat semakin menyedihkan dengan luka meradang.

”Kau bertarung dengan siapa, Thor? Para pembantai kah?“

Thor menggeram lagi, seakan-akan mengiyakan pertanyaan Aiden. Hati Aiden pun semakin trenyuh. Hewan-hewan peliharaan para guardian memang hewan-hewan yang sangat hebat. Baik saat masih bertuan maupun saat tak bertuan. Tak terkecuali Thor.

”Kau hebat Thor! Hebat sekali!”

Kali ini Aiden memberanikan diri untuk memeluk Thor dan begitu mengetahui tindakannya tidak mendapat perlawanan dari kucing besar itu, Aiden membelai kepala Thor dan menggaruk lembut tengkuknya.

”Kau pasti lapar kan? Mari masuk, kita obati lukamu dan kemudian makanlah. Obat ramuan Ondien pasti mujarab untuk menyembuhkan lukamu dan sekerat besar daging segar pasti mampu menghilangkan rasa laparmu,”

Perlahan di kejauhan terdengar pekik elang membahana. Aiden segera bersuit nyaring dan tak berapa lama kemudian, kepakan sayap lebar terdengar seiring hinggapnya seekor burung elang betina bertubuh ramping di pagar besi hitam balkon lantai dua kediaman Aiden. Storm, hewan kesayangan Aiden telah kembali pulang.

”Lihat Storm, siapa yang bersama kita malam ini. Tak apa kan jika kau berbagi sedikit daging untuk Thor?”

Storm menelengkan kepalanya dengan anggun dan kembali memekik, menyatakan persetujuannya. Ia pun rindu dengan kawan berburunya itu.

> to be continued


8 komentar:

  1. Wah cerita baru ni...kayaknya bakal seru....lanjutinnnnn ya

    Wid Dya

    BalasHapus
  2. Nice story,sis :) it's different from your other stories before. You really have many many brilliant idea yach?!? Can't wait for your updates!

    BalasHapus
  3. Nice story.ngak sabar nunggu lanjutannya,nih.cerita ini lain dari yang lain.seru lagi.tapi sayang cuma sedikit.jadi penasaran...

    BalasHapus
  4. Ho ho ho ... saya semakin suka dg variasi ceritanya :) still can't get the background of this story about the guardian...sanctuary ... etc. What's that?! This story reminds me with one movie last year but I forgot the title :( burung2 hantu yg jadi guardian gitu...apa ya?! lupaaaaaa....*short memory*

    BalasHapus
  5. Duh...jd nyidam trembesi ni.... Wid Dyaa

    BalasHapus
  6. Poor Thor....kehilangan tuannya dia semoga bisa medampingi Aiden dengan setia...belum jelas mengenai jalan ceritanya sis...but still i like it...

    BalasHapus
  7. Suka...suka...sukaaaaa...aku makin suka cerita ini!

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-