Kamis, 13 Oktober 2011

The Adventure of Sayuri Hayami #14

Sejuknya udara pagi membangunkan Masumi dari tidurnya. Matanya mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Perlahan, pikirannya mulai jelas, ia kini  berada jauh di luar Tokyo, tepatnya berada di sebuah desa indah bernama Desa Momiji untuk menemani anak semata wayangnya menghabiskan liburan musim panasnya. Mengingat hal itu membuatnya memalingkan wajah ke arah futon di samping tempatnya tidur.

Kosong.

Tidak ada selembar kain pun disana, dan ketika diedarkan pandangannya lebih jauh, ternyata semua perlengkapan tidur Sayuri telah berpindah ke sudut ruangan dalam kondisi terlipat walau tidak rapi.

“Sayuri?”

Masumi bangkit dari tidurnya dan beranjak mencari anak gadis kecilnya itu.

“Sayuri? Kau dimana?”

Masumi bergegas mencari di setiap ruangan yang ada di paviliun itu. Bahkan ketika ia melongok ke dalam ruangan yang merupakan tempat untuk Hijiri tidur, di sana pun sudah rapi dan tak nampak Hijiri di kamar tersebut.

“Sayuri?”

Masumi kembali mencari Sayuri yang tak juga menjawab panggilannya.

‘Kemana anak ini?’

“Sayuri?!?”

Kali ini Masumi meninggikan volume suaranya sambil melongokkan kepala melalui ambang pintu *genkan yang terbuka, dan dengan terburu-buru mengenakan geta, berencana mencari Sayuri lebih jauh di luar paviliun.

Matahari belum sepenuhnya terbit, kabut tipis pun masih sedikit membayang, menyelimuti alam sekitar, menerpakan hawa dingin di kulit Masumi. Bahkan di hari sepagi ini, Sayuri sudah berulah. Pergi tanpa pamit dan tak meninggalkan pesan sama sekali.

Masumi mendesah. Masumi hanya berharap, Sayuri tengah berjalan-jalan dengan Hijiri, mengingat bahwa orang kepercayaannya itu juga telah meninggalkan paviliun.

“Sayuri?”

Masumi mengedarkan pandangannya di sepanjang halaman. Menajamkan pandangan mata, berusaha menembut selimut kabut tipis yang masih mewarnai suasana pagi. Namun, sejauh matanya memandang, pandangannya tak juga menangkap bayangan sosok yang dicarinya.

“Sayuri?!?”

Masumi semakin meninggikan volume suaranya, berharap tiba-tiba gadis kecilnya akan menjawab panggilannya. Namun tindakannya justru memancing senyum beberapa warga desa yang kebetulan melintas jalan di depan kediaman keluarga Okada. Dengan kikuk Masumi menganggukkan kepala dan balas tersenyum kepada mereka.

Masumi mendengus geram.

‘Anak ini kemana sih?!?’

Masumi membalikkan badan, mengamati rumah induk tempat keluarga Okada tinggal. Asap telah mengepul dari cerobong asap dan menelusup di antara jalinan atap rumah menandakan kegiatan sehari-hari telah berlangsung di rumah tersebut. Masumi berspekulasi sendiri dan beranjak mendekati rumah induk.

”Permisi... Selamat pagi...”

Masumi menunggu jawaban dari penghuni rumah induk. Hening, tak ada suara manusia yang menyahut, namun terdengar beberapa suara yang menyiratkan bahwa para penghuni rumah induk telah bangun dan tengah beraktifitas.

”Permisi.... Tuan Okada, Nyonya Okada? Selamat pagi...”

”DORRR!!!!”

Masumi tersentak ketika mendengar suara nyaring Sayuri mengagetkannya. Dan benar saja, Sayuri, masih berbalut piyama hijau Kerokeropi-nya, tengah tersenyum lebar dengan pandangan usil dari dua matanya yang lebar.

”Ayah kaget ya?”

Masumi mengerutkan hidungnya.

”Kamu ini dari mana saja sepagi ini? Dan kenapa masih memakai piyama?”

”Ayah juga masih pakai yukata,” sahut Sayuri tak mau kalah.

”Ah, tuan Hayami, maafkan saya, sudah mengajak Sayuri-chan sepagi ini tanpa meminta ijin pada tuan,”

Baru saja Masumi akan menjawab perkataan Sayuri, ia kembali dikagetkan oleh kemunculan Kazumi yang tiba-tiba, tergopoh-gopoh menyampaikan permohonan ma’af.

”Ah, nona Okada, selamat pagi...”

Kazumi terpana melihat senyum Masumi. Hatinya berdesir ringan, mengajaknya melayang sesaat.

’Aduh! Kenapa bisa ada orang setampan ini ya?’

”Ma’af nona, apa ada yang aneh di wajah saya?”

Teguran Masumi menyadarkan keterpanaan Kazumi.

”Eh, selamat pagi, tuan Hayami,”

Kazumi merasakan hangat merebak di seluruh permukaan wajahnya. Ia malu sekali karena kedapatan secara terang-terangan mengamati Masumi. Diam-diam Masumi tersenyum kecil melihat reaksi Kazumi.

’Apakah kau sudah mengingatku, Maya?’

”Ma’af ayah, tadi Sayuri tidak membangunkan ayah, habisnya ayah nyenyak sekali tidurnya,”

Masumi mengalihkan perhatiannya pada Sayuri, ia pun tersenyum pada gadis kecil kesayangannya itu.

”Tidak apa-apa, Sayuri, tapi ingat, lain kali harus meninggalkan pesan, agar orang tidak bingung kemana kamu pergi, ya,”

”Iya ayah, ma’af, Sayuri juga lupa meninggalkan pesan. Sebenarnya tadi Sayuri mau menitip pesan pada paman Hijiri, tapi ternyata paman Hijiri juga sudah tidak ada,”

Masumi kembali tersenyum menanggapi Sayuri.

”Ayah, dapur di rumah keluarga Okada ini keren sekali lho! Dapurnya masih pakai tungku kayu bakar, besar sekali! Sayuri tadi belajar menyalakan api, ditiup-tiup pakai bambu panjang, buf...buf...buf..., gitu ayah,”


”Oh ya?”

”Iya ayah! Bener! Kalau tidak percaya, tanya saja sama nona Okada, iya kan nona Okada?”

Kazumi hanya tersenyum dan mengangguk singkat. Efek kedekatannya dengan Masumi membuat lidahnya tiba-tiba menjadi kelu. Dan hal itupun tak luput dari pengamatan diam-diam Masumi.

”Terus?”

”Tadi Sayuri sempat batuk-batuk kena asap, mata Sayuri juga pedih sekali, tapi Sayuri tahan ayah, kan Sayuri hebat! Dan sekarang Sayuri sudah bisa menyalakan api di tungku, karena diajari nona Okada, terima kasih nona Okada,”

Sayuri tersenyum penuh rasa terima kasih pada Kazumi yang kini sudah mulai bisa menetralisir perasaannya. Ia pun menjawab ucapan terima kasih Sayuri dengan senyum lebar terkembang di wajahnya.

”Oh ya ayah, tadi Sayuri juga belajar membuat kue mochi lho! Ternyata untuk membuat kue mochi yang enak itu perlu tenaga yang kuat,”

Masumi terkekeh pelan mendengar penuturan Sayuri, dan suara tawa maskulinnya membuat hati Kazumi kembali bedesir. Sekelebat kenangan menghampiri ingatannya.

’Suara ini?’

”Memangnya apa hubungannya antara tenaga kuat dan kue mochi, Sayuri?”

”Lho? Memangnya ayah tidak tahu ya? Kita harus menumbuk beras ketan dalam *usu kuat-kuat, supaya lembut. Begini ni yah, cara menumbuknya,”

Sayuri pun mempraktekkan gerakan orang yang tengah menumbuk beras ketan di dalam lesung. Namun, alih-alih gerakan menumbuk, apa yang dilakukan Sayuri justru lebih menyerupai gerakan orang yang sedang mencangkul. Tentu saja hal itu menjadi sangat lucu hingga tanpa dapat dicegah, Masumi dan Kazumi tertawa bersama melihat tingkah polah Sayuri. Sayuri pun menghentikan gerakannya dan memandang serius pada ayahnya yang masih tertawa geli.

”Kok ayah malah tertawa sih? Memangnya lucu ya?”

”Ma’af Sayang... Habisnya Sayuri kelihatan seperti orang yang sedang mencangkul sih,”

Masumi berusaha membujuk Sayuri yang mulai merajuk.

”Iya, Sayuri tahu, tapi ayah tidak boleh mentertawakan Sayuri begitu, Sayuri tidak suka,”

Bibir mungil Sayuri mengerucut, menandakan kekesalan hatinya. Dan Masumi pun berusaha keras untuk menghentikan tawanya.

”Iya, iya, ayah minta ma’af... Udah dong jangan ngambek begitu, ya...”

”Aku juga minta ma’af Sayuri-chan, karena telah mentertawakanmu... Ma’af ya...”

Kazumi pun ikut angkat suara untuk mebujuk gadis kecil cantik itu sambil mengulurkan jari kelingkingnya . Demi mendengar suara Kazumi, senyum Sayuri pun kembali merekah dan segera menyambut jari kelingking Kazumi dengan kelingkingnya sendiri.

”Kalau nona Okada yang mentertawakan Sayuri, Sayuri tidak apa-apa, karena nona Okada sangat pandai menirukan. Apa ya namanya, ehmm... pam.. pamnomin, eh salah, aduh apa sih ayah namanya?”

”Pantomim,”

”Iya benar! Nona Okada kan sangat mahir pantomim, tadi di dapur kami sempat main tebak-tebakan ayah, dan Sayuri berhasil menebak semua yang di peragakan nona Okada, Sayuri hebat kan?”

Kenyataan yang disampaikan Sayuri mengenai Kazumi membuat hati Masumi berdebar penuh prediksi dan pengharapan. Dan ia ingin membuktikannya sendiri.

”Benarkah? Wah, saya jadi ingin lihat, tentu saja kalau nona Kazumi tidak berkeberatn,”

Mendengar permintaan Masumi, Kazumi yang sudah mulai bisa menguasai debaran jantungnya, kembali merasakan detakan yang tak berirama di dadanya.

’Tuan Hayami...’

”Ah, saya hanya melakukan gerakan biasa tuan Hayami, bukan sesuatu yang luar biasa,”

”Bohong ayah! Nona Okada hebat sekali dalam memperagakan sesuatu! Ayo dong nona, tunjukan, ayo... Sayuri mohon....”

Kazumi menatap ke arah Sayuri yang memandangnya dengan pandangan penuh permohonan. Dan ketika menatap ke arah ayah gadis cilik itu, ada semacam getaran khusus yang menjalari tulang belakangnya. Tatapan Masumi seakan memberikan semangat padanya untuk menunjuk yang terbaik yang bisa ia lakukan. Kazumi pun menghela nafas.

”Baiklah...”

”Asyikkkk!!!!”

Sayuri bersorak riang dan dengan segera menyeret ayahnya untuk duduk di batu besar yang menghiasi halaman kediaman rumah Okada.

”Oke, siap?”

Kazumi menatap ke arah dua penontonnya yang dengan antusias menunggu apa yang akan diperagakannya. Kazumi berdeham dan menarik nafas panjang. Ia pun mulai memperagakan sesuatu.

Tangan kanannya terangkat ke atas, seakan berpegangan pada sesuatu, sementara tangan kirinya juga tampak memegang sesuatu dekat pundak kirinya. Tubuhnya berayun-ayun seirama. Masumi mengamati, untuk sepersekian detik dia terperangah. Kazumi tengah memperagakan seorang penumpang kereta yang tengah berpegangan pada pegangan kereta sementara tangan kirinya memegang tali tas yang tersampir di pundaknya, dan mata tajamnya mampu mengenali gerakan tersebut.

”Orang naik kereta sambil memegangi tali tasnya!”

Seruan Sayuri menyadarkan Masumi. Bahkan anak kecil seperti Sayuri bisa tahu kalau apa yang diperagakan Kazumi adalah orang yang sedang naik kereta. Sementara Kazumi tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya pada Sayuri.

”Sekarang yang kedua, ya,”

Kali ini Kazumi tampak bersandar pada dinding tak kasatmata, kaki kirinya ditekuk dan telapaknya mengikuti gerak punggungnya menyandar. Sementara tangan kanannya seakan tengah memegang sesuatu. Pandangan matanya tampak serius menatap pada benda khayalan yang ada di tangan kanannya. Cara Kazumi bersandar seakan-akan benar-benar ada tembok di belakangnya. Dan entah mengapa, tiba-tiba tembok itu muncul di balik punggung Kazumi, lengkap dengan sebuah buku terbuka di tangan kanannya. Rupanya, Kazumi memperagakan seseorang yang tengah membaca sebuah buku.

”Orang membaca buku!”

Kali ini secara bersamaan Masumi dan Sayuri berseru, yang akhirnya membuat tawa pecah di antara mereka bertiga. Kazumi pun tersenyum senang. Ia semakin menikmati permainan tebak peraga bersama kedua tamunya. Seakan ada sebuah energi besar yang mengalir di tubuhnya.

Mereka bertiga pun larut dalam keriangan permainan mereka. Semakin lama, Kazumi memperagakan gerakan yang kian rumit dan baik Masumi maupun Sayuri mampu menebak semua yang diperagakannya. Sampai akhirnya, Kazumi menarik nafas panjang.

”Yang terakhir ya,”

Kazumi tersenyum melihat kedua penontonnya yang tak sabar dengan apa yang akan diperagakannya. Terutama tatapan mata Masumi Hayami yang seolah-olah membelenggu dirinya. Hatinya berdebar-debar, entah mengapa, ia sangat ingin memperagakan apa yang selalu berputar-putar di kepalanya selama ini.

Kazumi mulai melakukan gerakannya, berjalan dengan anggun, sepintas lihat seperti tengah melayang di antara kabut tipis yang mulai menghilang perlahan di timpa sinar matahari. Lambaian tangannya begitu lembut, hingga tiba-tiba seekor kupu-kupu kuning kecil melayang mendekatinya dan menari bersamanya. Kibasan rambutnya yang hitam tebal, entah mengapa tiba-tiba menjadi tampak lebih panjang, berkelebat indah mengikuti irama angin pagi yang bertiup pelan. Dan entah darimana, aroma bunga plum mulai merasuki indera penciuman Masumi. Bahkan, samar-samar, Masumi mulai melihat pokok-pokok pohon plum besar yang tumbuh melatari Kazumi.

Masumi ternganga, ia terpana.

’Ini?!?’

Kazumi masih terus bergerak, semakin anggun dan lembut. Pancaran wajahnya begitu agung dan teduh, seiring sinar mentari yang semakin banyak menyiramkan cahayanya di permukaan bumi. Kazumi kembali berputar, seluruh gerakannya begitu ringan seakan-akan di mata kakinya tumbuh sepasang sayap. Dan ketika ia berbalik untuk kesekian kalinya, tangannya menyibak ke angkasa. Suasana segera saja menjadi terang benderang, seolah Kazumi telah menyibakkan tirai kabut, memberikan keleluasaan pada sang mentari untuk menyinari bumi.

Suasana begitu hening. Baik Masumi maupun Sayuri begitu terpesona oleh apa yang diperagakan Kazumi.

Kazumi terdiam. Dadanya berdebar kencang. Tubuhnya gemetar. Perasaan yang tak dimengertinya begitu meluap-luap dalam jiwanya. Apa yang dilakukannya tak hanya mengguncang kedua penontonnya, tapi juga mengguncang dirinya sendiri.

’Itu tadi apa?’

Bisik hati Kazumi penuh tanya.

”Bidadari.... Bidadari Merah...”

Suara lirih Masumi memecahkan keheningan. Sayuri menoleh ke arah ayahnya. Pandangan mata kanak-kanaknya begitu penasaran dengan apa yang diucapkan ayahnya.

”Bidadari Merah? Yang tadi itu Bidadari Merah? Benar ayah?”

”Benar Sayuri... Itu tadi Bidadari Merah...”

”Pantas saja Sayuri tidak bisa menebak, tadi itu gerakan apa, ternyata gerakan bidadari,”

Sayuri menatap kagum ke arah Kazumi yang masih terguncang dengan apa yang dialaminya.

”Brava!!! Hebat!!! Nona Okada hebat sekali!!!”

Tepukan tangan dan seruan Sayuri memecahkan suasana magis yang dirasakan Masumi dan Kazumi akibat demo mini Bidadari Merah. Masumi tersadar dari keterpanaannya dan Kazumi pun terbangun dari trans yang dialaminya. Tanpa sadar, mereka saling memandang, melontarkan pandangan yang tidak bisa dimengerti satu sama lain tentang perasaan saling terikat yang kini terasa semakin kuat di antara mereka berdua.

”Nona Okada, hebat sekali! Bidadarinya benar-benar keren! Waaaahhhh, bagus sekali!”

Kazumi menatap ke arah Sayuri dan tersenyum. Ia bingung, bagaimana harus bereaksi, sementara ia sendiri masih belum benar-benar memahami apa yang baru saja dilakukan dan dialaminya.

”Dimana Anda mempelajari tentang Bidadari Merah, nona Okada?”

Masumi menatap tajam ke arah Kazumi, membuat gadis mungil itu tergagap.

”Bi... Bidadari Merah? Maksud tuan Hayami?”

”Iya nona Okada, kata ayah yang diperagakan nona Okada tadi itu Bidadari Merah. Pantas aja Sayuri tidak bisa menebak, soalnya Sayuri belum pernah lihat pementasan Bidadari Merah,”

Kazumi memandang tak mengerti pada Sayuri dan Masumi yang kini menatapnya penuh rasa ingin tahu.

”Entahlah... Entahlah tuan Hayami, saya hanya melakukan apa yang ada dalam pikiran saya. Dengan begitu hati saya menjadi bersemangat, berdebar-debar ingin melakukan yang lebih baik lagi dan lagi... Saya tak ingat pernah mempelajarinya dimana, hanya saja, dorongan untuk... untuk...”

”Akting... Yang kau lakukan itu adalah akting, Kazumi,”

”Akting?”

”Iya, semua yang kau lakukan tadi adalah akting, dan sebenarnya kau telah melakukannya sejak dulu, aku yakin itu,”

Tanpa mereka berdua sadari, Masumi telah merubah gaya pembicaraan mereka, sudah tidak seformal biasanya. Kata-kata saya dan anda telah berganti dengan aku dan kau.

”Benarkah?”

”Kita bisa mencari tahu bersama-sama,”

Sementara Sayuri memandang dengan bingung kepada ayahnya dan Kazumi. Entah apa yang mereka bicarakan, namun insting kanak-kanaknya merasakan ada kedekatan yang tak biasa antara ayahnya dan nona Okada. Dan perlahan, perasaan Sayuri mulai tidak nyaman dengan hal itu.

= # =

”Kapan hasilnya bisa aku dapatkan, Hijiri?”

”Begitu sample rambut nona Okada sampai, kita bisa mendapatkan hasil paling lambat 5 hari dari waktu diterimanya sample,”

”Usahakan untuk dipercepat Hijiri, jika harus membayar lebih, bayar saja, berapapun!”

”Baik pak,”

”Lantas, bagaimana dengan medical record Maya?”

”Semua sudah dipersiapkan pak, begitu saya mendapat catatan medis nona Okada, kita bisa segera membandingkan dengan catatan medis nona Maya Kitajima. Beruntung, keluarga Okada merupakan keluarga yang rutin memeriksakan kesehatan, juga kesehatan gigi. Saya telah mendapatkan riwayat pemeriksaan gigi nona Okada, dan siang ini saya akan berangkat ke Tokyo,”

”Baiklah Hijiri, lakukan semua secepatnya. Begitu semua bukti terkumpul, akan mudah untuk menyampaikan kebenaran tentang Maya pada keluarga Okada,”

”Lantas, bagaimana dengan tuan Maeda, pak?”

Masumi terdiam dan berpikir. Ia pun menghela nafas perlahan. Ia berharap, semoga apa yang ia lakukan kali ini adalah hal yang tepat dan tidak akan menyakiti siapapun.

’Tapi, kau pasti akan melukai perasaan Takahiro,’

Hati kecilnya berbisik, mengingatkan padanya ada resiko yang harus dibayar untuk perjuangannya mengembalikan ingatan Maya.

”Jika setelah ingatannya pulih ternyata Maya benar-benar mencintai Takhiro dan Maya masih menginginkan pernikahannya dengan Takahiro....”

Masumi tampak termenung sesaat.

”Mungkin memang sudah waktunya aku untuk menyerah, Hijiri...”

Hijiri memandang prihatin ke arah Masumi. Ia tahu, pasti sangat tidak mudah bagi Masumi untuk menyerah begitu saja setelah sekian lama mencari keberadaan Maya. Tapi, Masumi yang sekarang sudah jauh berubah, tepatnya sejak kehadiran Sayuri di dalam kehidupannya. Masumi jauh lebih manusiawi.

”Kak Kazumi...! Kak Kazumi...!”

Suara ribut anak-anak mengagetkan Masumi dan Hijiri yang tengah berkubang dalam pikiran masing-masing. Serta merta mereka berdua beranjak keluar untuk melihat ada apa sebenarnya.

Ketika mereka sampai di luar paviliun, seorang anak laki-laki gempal yang dikenal Masumi bernama Goro dan seorang anak laki-laki gempal lainnya nampak tengah berdiri di pintu samping kediaman Okada dengan nafas terengah-engah. Dapat dilihat kepanikan tersirat dari wajah mereka yang merah dan berkeringat.

Tiba-tiba perasaan Masumi menjadi tidak enak. Tadi pagi, begitu selesai mandi Sayuri memang berpamitan pada Masumi untuk pergi bermain melihat-lihat desa bersama teman-teman barunya. Dan yang menjemput Sayuri adalah Goro bersama Tomoko, namun kini Masumi tidak melihat Sayuri bersama mereka berdua.

”Ada apa Goro-kun? Eiji-kun? Kenapa kalian berteriak-teriak begitu?”

Kazumi kebingungan menatap Goro dan Eiji yang terlihat begitu panik. Tak terkecuali dengan nyonya Hirumi Okada, ibu Kazumi.

”Kak Kazumi, ayah Sayuri mana?”

”Ada apa mencariku?”

Masumi melangkah menghampiri kedua bocah gempal yang tampak begitu kelelahan, sepertinya mereka habis berlari.

”Kami diminta kak Takahiro untuk menemui Anda, paman Hayami, Sayuri jatuh,”

Goro menjawab pertanyaan Masumi.

”Jatuh? Lantas?”

Perasaan tak enak di hati Masumi semakin mejadi-jadi.

”Sampai sekarang belum ketemu, paman. Kak Takahiro dan ayahku beserta paman-paman yang lain sedang berusaha mencarinya,”

Kali ini Eiji, begitu Masumi mendengar Kazumi memanggilnya, ikut angkat bicara.

”Belum ketemu bagaimana maksudnya? Memangnya Sayuri jatuh kemana?”

Kali ini kepanikan mulai melanda hati Masumi.

”Ma’af paman... Sayuri... Sayuri terpeleset dari tebing dan jatuh ke air terjun,”

Goro menatap Masumi dengan perasaan campur aduk, antara panik, takut-takut dan cemas.

”Apa?!?”

Kali ini hati Masumi benar-benar terasa dicabut dari dadanya. Kazumi menjerit pelan dan mendekap mulutnya dengan tangan, sementara ibunya mengucap sebuah kata tak jelas sambil mengelus dada.

Dengan terbata-bata, anak laki-laki bertubuh gempal itu mulai menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpa Sayuri. Sesekali Eiji ikut menimpali, melengkapi cerita Goro.

Menurut Goro, awalnya mereka bermain di perkebunan kesemek, menemui Takahiro dan melihat para pekerja memupuk pohon-pohon kesemek. Setelah puas bermain di kebun kesemek, mereka bermain-main di sepanjang aliran sungai. Karena Sayuri memaksa, akhirnya mereka pergi lebih jauh lagi masuk hutan untuk melihat air terjun yang merupakan hulu dan sumber aliran sungai. Mereka memang tidak bermain di areal air terjun, dan mendaki ke arah tempat air terjun berasal. Tapi, justru disitulah awal petaka terjadi. Karena keasyikan memetik bunga liar, tanpa sadar kaki Sayuri terpeleset dan terjatuh ke arah tebing. Sayuri sempat berpegangan pada rumput liar yang tumbuh di sela-sela batuan tebing, namun sayang, rumput liar itu tak mampu menahan berat badan Sayuri sementara temen-temannya tengah berusaha menolongnya. Tanpa ampun, Sayuri pun terus melorot ke bawah dan akhirnya jatuh masuk ke dalam air tepat di bawah air terjun. Sesekali Goro mengusap air mata dan menarik nafas karena isak tangisnya.

”Sa’at Sayuri jatuh pertama kali, Tomoko berlari ke arah perkebunan kesemek untuk memanggil ayahku dan kak Takahiro, karena tempat itulah yang terdekat dengan lokasi air terjun. Ayahku dan kak Takahiro sempat akan menolong Sayuri, namun sayang, rumput liar yang dijadikan pegangan oleh Sayuri tidak mampu menahan Sayuri... Ma’afkan saya paman... Saya tidak bisa menjaga Sayuri,”

Kali ini Goro dan Eiji menangis sejadi-jadinya. Mereka benar-benar ketakutan sekarang. Mereka merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Sayuri.

Masumi merasakan sebagian nyawanya melayang begitu mendengar penuturan Goro. Inilah yang paling ditakutkan olehnya. Kehilangan anak semata wayangnya.

’Sayuri...! Sayuri...!’

”Bisakah kau mengantar kami sekarang ke sana, Goro-kun?”

Hijiri mengambil alih pembicaraan ketika melihat atasannya yang begitu terguncang.

”Bisa paman, kami memang diutus ayahku dan kak Takahiro untuk menjemput ayah Sayuri,”

”Apakah jalannya bisa dilalui mobil?”

”Mobil hanya bisa sampai di pinggir hutan saja paman, selebihnya kita harus berjalan kaki,”

”Baiklah, kita pergi sekarang,”

Hijiri menoleh ke arah Masumi yang masih berdiri mematung.

”Pak...?”

Masumi hanya mengangguk. Melihat ekspresinya Hijiri tahu, Masumi tengah merasakan ketakutan yang amat sangat. Ketakutan sesuatu yang buruk menimpa Sayuri.

Dengan sigap Hijiri mempersiapkan mobil dan segera saja mereka semua berangkat menuju tempat kejadian.

Di sepanjang perjalanan, kembali Hijiri menanyai Goro dan Eiji, mengulang beberapa detil untuk memperjelas informasi, dan setiap kali mendengar detil cerita diulang, hati Masumi makin ciut. Apalagi ketika Goro menceritakan bahwa tak jauh dari pusat jatuhnya air terjun ada sebuah lubuk dalam yang memiliki arus berputar yang tak di duga kemana bermuaranya. Jika selama ini ia berdoa hanya sekedarnya, kali ini Masumi tak putus-putusnya memohon agar Sayuri terselamatkan. Kazumi yang duduk di sebelah Masumi, mengamati dengan perasaan trenyuh pada Masumi. Sinar kekhawatiran terpancar jelas di wajah tampannya. Tanpa sadar, Kazumi menggenggam tangan Masumi, mencoba berbagi kekuatan.

Jarak waktu tempuh mereka untuk sampai ke tepi hutan sebenarnya tidak lama, namun bagi Masumi terasa menempuh jarak ribuan kilo dalam waktu yang sangat sangat lama. Begitu sampai, tanpa menunggu mobil di parkir semestinya, Masumi bergegas membuka pintu mobil dan meloncat turun. Mengikuti arahan Goro, Masumi segera berlari menyusuri jalan setapak, meninggalkan rombongan kecilnya.

’Sayuri, bertahanlah! Ayah datang!’

Degup jantungnya derdetak kencang, berpacu dengan langkah kakinya menyusuri jalan menanjak menuju puncak bukit. Sesekali ranting pohon yang menjuntai menggores lengannya bahkan beberapa sempat menggores pipinya, namun Masumi tak peduli. Ia ingin secepatnya tiba di lokasi air terjun tempat Sayuri jatuh.

Entah sudah berapa lama Masumi berlari, yang pasti sayup-sayup telinganya mulai mendengar gemuruh air terjun. Dan tak berapa lama kemudian, ia mulai melihat beberapa warga desa yang sebagian besar laki-laki tampak sibuk mengupayakan tindakan penyelamatan. Tiga orang di antaranya tampak tengah mengikat sebuah tambang besar dari rami pada sebatang pohon pinus. Ditingkahi gemuruh suara air yang tak putus-putus, teriakan komando terdengar disana-sini. Ada yang diperintahkan  memutar turun bukit untuk menyusuri aliran sungai. Ada yang diperintahkan membantu Takahiro menuruni tebing. Ada lagi yang diinstruksikan untuk mencari tambang tambahan.

Jantung Masumi berdetak kencang, keharuan menyeruak disela kagalauan hatinya akan kehilangan Sayuri. Semua orang tampak berusaha keras menemukan Sayuri.

”Anda, tuan Masumi Hayami, ayah Sayuri-chan bukan?”

Seorang pemuda berwajah ramah menanyai Masumi.

”Benar, saya Masumi Hayami, ayah Sayuri,”

”Mari ikut saya tuan,”

Masumi pun mengikuti pemuda tersebut yang membawanya menuju pinggir tebing tempat air terjun berada.

”Takahiro! Ini ayah Sayuri-chan sudah datang!”

Masumi ikut melongok ke bawah tebing, dan seketika kengerian menyergap hati Masumi. Kontur tebing yang terjal disertai derasnya air yang tercurah, membuat perasaan Masumi semakin kecut.

‘Sayuri...?’

“Masumi...,”

“Bagaimana kemungkinannya, Takahiro?”

“Kami sedang mengupayakan pencariannya, Masumi, setidaknya kita masih bisa sedikit benafas lega, debit air yang mengalir tidak sebanyak saat musim hujan. Kita berdoa saja, semoga Sayuri bisa selamat,”

Masumi mengetatkan rahangnya. Dia benci saat-saat seperti ini. Dia benci ketidak berdayaannya menghadapi kuasa alam.

”Aku akan turun bersama paman Hayashi dan mencoba menyelam ke dalam lubuk, tapi tentu saja, kami berharap akan menemukan Sayuri-chan di tempat lain,”

Takahiro mengatakan rencananya sambil mengenakan *harness. Sementara itu, seorang pria yang menurut dugaan Masumi adalah paman Hayashi tampak sudah bersiap menuruni tebing dengan berbekal segulung tambang besar.

”Aku ikut, Takahiro,”

Takahiro menatap ke arah Masumi yang bertekad penuh untuk ikut menuruni tebing terjal itu. Ini adalah tempat berbahaya dan Takahiro meragukan kemampuan Masumi menghadapi medan terjal dan licin dari tebing yang akan mereka turuni. Namun Takahiro paham, melarang Masumi akan sia-sia saja, apalagi ini menyangkut anak semata wayangnya, Sayuri.

”Baiklah, pakai ini,”

Takahiro mengangsurkan harness pada Masumi yang tanpa bertanya lagi segera dikenakan olehnya.

Hati Masumi benar-benar campur aduk. Apalagi setelah melihat kondisi medannya. Tak bisa dipungkiri, ketakutan besar mulai melanda perasaannya. Namun sekuat tenaga Masumi berjuang untuk kuat. Ya, dia harus kuat untuk bersama-sama berjuang mencari anak gadis kecil kesayangannya itu.

”Takahiro!”

Suara nyaring Kazumi terdengar lemah di antara gemuruh air terjun, namun cukup kuat untuk membuat Masumi dan Takahiro memalingkan wajah. Tampak Kazumi berjalan dengan Hijiri, Goro dan Eiji.

”Bagaimana Takahiro? Apakah Sayuri-chan bisa diketemukan?”

Kazumi terdengar begitu cemas, begitu pula dengan Hijiri yang kini juga telah berdiri di belakang Kazumi.

”Kami sedang mengusahakannya, Kazumi, semoga saja nasib baik masih berpihak pada kita dan Sayuri-chan,”

Kazumi sangat paham akan jawaban Takahiro itu. Walaupun tipis harapan, namun mereka harus percaya akan kekuatan do’a. Dengan senyum prihatin, Kazumi mengangguk pada Takahiro.

”Hati-hati Takahiro, tuan Hayami...”

Pria itu tampak begitu tertekan dan sangat berantakan. Dibenaknya kini berkelebat bayangan buruk tentang kondisi Sayuri. Tapi ia berusaha untuk menguatkan hati dan meyakinkan diri, bahwa ia akan menemukan Sayuri dalam kondisi baik-baik saja.

”Hijiri, bergabunglah dengan tim yang menyusur sepanjang aliran sungai. Aku akan turun bersama Takahiro,”

Hanya itu kata-kata yang sanggup disampaikan Masumi pada Hijiri, dan Hijiri segera beranjak menuju sekelompok orang yang tengah merencanakan rute pencarian di sepanjang aliran sungai.

Tak berapa lama, baik Takahiro maupun Masumi mulai diturunkan, menyusul paman Hayashi. Bergantung pada kekuatan tali, mereka pun turun perlahan-lahan melewati terjal dan licinnya dinding batu. Sesekali Takahiro memberi komando pada Masumi dengan bahasa isyarat tentang jalur yang harus mereka lewati. Hingga pada satu titik, Takahiro menunjuk sebuah lubang di dinding batu yang memperlihatkan tanah terbongkar karena tumbuhan yang tumbuh disana tercabut. Seketika Masumi mengerti, disanalah gadis kecilnya berjuang mempertahankan diri agar tidak jatuh ke air. Hati Masumi miris membayangkan tangan kecil Sayuri berpegang erat dengan wajah ketakutannya menengadah memohon pertolongan untuk diselamatkan. Tanpa sadar, airmata Masumi merebak. Namun buru-buru disekanya ketika terdengar suara Takahiro memperingatkannya untuk berhati-hati pada tonjolan batu tajam yang menyongsong di langkah mereka berikutnya.

Tak sampai 10 menit, mereka telah sampai di dasar tebing, tempat pusat tercurahnya air terjun. Seandainya kondisinya tidak sedang genting, Masumi tentunya akan sangat mengagumi keindahan air terjun itu.


Paman Hayashi tampak bersiap-siap menyelam, dibantu beberapa orang penduduk yang rupanya sudah bersiap-siap di dasar tebing sejak tadi. Mata Masumi beredar di sekitar dasar tebing, berharap menangkap sosok mungil kesayangannya, namun sia-sia saja. Sejauh matanya memandang yang nampak hanya kabut tipis air yang menyelemuti. Dinginnya suhu sudah tak bisa dirasakan Masumi, kalah oleh perasaan takut yang tak terkira dari hatinya.

’Sayuri, kau dimana anakku?’

= # =

Tubuh kecilnya berusaha kuat melawan arus. Dalam kepanikannya, sebisa mungkin ia mengayunkan lengan mungilnya, berenang semampunya agar tidak tenggelam.

’Ayah! Ayah! Tolong Sayuri!’

Tapi apa daya Sayuri, tenaga anak seumur Sayuri memang tidak sebanding dengan kekuatan alam. Apalagi dia sudah berkali-kali menelan air. Dia sudah sangat kedinginan. Dahinya terasa perih, sepertinya luka akibat ia membentur batu. Seluruh tubuhnya sudah sangat sakit dan lelah. Tenaganya makin habis, dan seiring dengan itu, kesadarannya pun lambat laun mulai menghilang.

’Ayah... Tolong Sayuri...’

Tubuh kecilnya mengambang di arus sungai, sesekali kembali terbentur bebatuan.

”Sayuri...”

Sayuri mencari-cari suara yang memanggilnya.

“Ibu!”

“Sini, jangan bermain air begitu,”

Entah bagaimana, perasaan ringan merambati tubuh Sayuri, membuatnya bergegas mengayun lengan mungilnya, berusaha menentang arus, menyeret tubuh kanak-kanaknya menuju tepian sungai dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya.

“Ibu..., jangan marah ya... Tadi Sayuri hanya ingin memetik bunga liar, tapi Sayuri terpeleset...”

”Sudahlah Sayuri, kau diam di sini, jangan kemana-mana lagi,”

”Ibu sudah tidak marah lagi pada Sayuri?”

Sayuri menatap sendu pada wanita yang kini memangku kepalanya.

”Tidak Sayuri, justru ibu yang minta ma’af padamu... Sudah, sekarang kau diam di sini ya, kau pasti lelah sudah berenang demikian jauh...”

”Iya ibu, Sayuri lelah sekali, badan Sayuri juga sakit semua... Sayuri ingin tidur...”

”Tidurlah nak, tidurlah...”

”Ibu sudah tidak marah lagi kan...?”

”Tidak sayang... Ibu sudah tidak marah lagi... Ma’afkan ibu ya...”

”Ibu...”

Dengan tubuh basah kuyub dan memar di beberapa tempat, Sayuri pun perlahan mulai terlelap.

= # =

Paman Hayashi muncul di permukaan setelah sekian lama menyelam di kedalaman lubuk. Harap-harap cemas, Masumi memandang ke arah paman Hayashi. Begitu melihat gelengan dan lambaian tangan dari paman Hayashi, mereka sadar, penyelaman yang dilakukan paman Hayashi tidak menghasilkan apapun. Masumi menghela nafas lega, namun tak urung kecemasan kembali merajai hatinya. Kemana gerangan Sayuri.

”Bagaimana sekarang, Takahiro?”

”Lebih baik kita mulai mengintensifkan pencarian di sepanjang aliran sungai, Masumi. Masalahnya, air terjun ini bermuara di banyak anak sungai. Salah satunya adalah yang melalui desa kami. Yang kami khawatirkan jika Sayuri terbawa arus sungai yang bermuara ke laut, disana arusnya sangat deras dengan bebatuan terjal yang cukup banyak. Belum lagi banyak jeram yang curam,”

Masumi termenung, kekhawatiran semakin menjadi-jadi dalam hatinya. Di satu sisi dia merasa lega karena ternyata Sayuri tidak ditemukan terjebak dalam lubuk, namun di sisi lain bahaya kondisi alam yang mengancam Sayuri juga tidak menjamin keselamatan gadis kecil kesayangannya itu.

”Apakah ada peta jalur lintasan aliran sungai ini Takahiro?”

”Ada, tapi dibawa oleh ayahku yang memimpin penelusuran aliran sungai. Sebentar, aku berkoordinasi dulu dengan paman Hayashi, setelah itu kita berdua bisa melakukan penelusuran bersama,”

Tanpa menunggu jawaban Masumi, Takahiro beranjak menghampiri paman Hayashi yang tengah beristirahat untuk kembali melakukan penyelaman. Masumi pun mengikuti jejak Takahiro, namun bukannya menghampiri paman Hayashi, dia mulai berjalan menyusuri aliran sungai.

Tak berapa lama, Masumi dihadapkan pada aliran sungai yang bercabang. Sejenak ia berhenti, memperkirakan arah mata angin dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan penelusuran pada anak sungai yang mengarah ke timur laut. Masumi mendengar langkah kaki diiringi kecipak air menghampiri dirinya. Ternyata, Takahiro beserta pemuda berwajah ramah yang menyapanya tadi, sudah berada tepat di belakangnya. Tanpa banyak bicara, mereka pun melanjutkan penelusuran.

Benar saja, seperti yang disampaikan Takahiro sebelumnya, walau belum sedemikian deras namun aliran anak sungai yang dipilih Masumi memang sedikit tidak tenang dibandingkan aliran anak sungai yang mengarah ke desa.

Mereka bertiga terus melangkah, sesekali mendaki batu-batu besar dan masuk ke dalam aliran sungai yang cukup dalam. Tak jarang mereka harus masuk ke dalam ceruk-ceruk di sepanjang tepian sungai, memeriksa sekiranya Sayuri terhenti di sana. Namun, hampir dua jam lewat dari pencarian yang melelahkan, belum juga nampak tanda-tanda Sayuri diketemukan. Begitu pula dengan rombongan pencari yang menelususri aliran sungai lainnya. Dari hasil komunikasi lewat handy talky yang dibawa Izanagi, mereka saling bertukar informasi. Di lubuk, hingga empat kali penyelaman, tidak mendapati jejak Sayuri. Di aliran sungai yang mengarah ke desa, juga belum ditemukan tanda-tanda keberadaan Sayuri. Begitu pula dengan aliran sungai yang mengarah ke timur, dari pembicaraan Izanagi dengan ayah Takahiro juga belum mendapatkan hasil yang menggembirakan.

Masumi mulai merasa frustasi dan hilang kendali. Ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan perasaannya. Namun ia tahu, itu semua tidak membantu. Ia harus tenang dan berpikir jernih. Setiap detik yang berlalu sangat berharga bagi keselamatan jiwa Sayuri.

Matahari semakin terik dan panasnya terasa membakar kulit. Dari atas sebuah batu besar Masumi kembali menajamkan matanya berusaha beradaptasi dengan silaunya sinar matahari yang terpantul di air. Tiba-tiba, sebuah obyek tertangkap oleh matanya. Motif bunga-bunga merah jambu itu sangat dikenalnya. Hatinya seketika mengembang penuh pengharapan.

”Takahiro! Izanagi! Itu Sayuri!”

Takahiro bergegas mendaki batu tempat Masumi berada, sementara Masumi bergegas turun hingga ia tak memperdulikan lagi rasa sakit pada tulang keringnya akibat terantuk batu. Takahiro dan Izanagi pun mengikuti jejak Masumi.

Masumi melangkah susah payah diantara aliran sungai, berupaya keras mengurangi jarak antara dirinya dan Sayuri. Dan begitu Masumi sampai di tempat Sayuri terbaring, seketika airmatanya merebak.

Entah, sudah berapa lama gadis kecil itu seperti itu. Kondisi Sayuri begitu mengenaskan, dengan tubuh basah kuyub dan luka-luka gores yang tampak membayang di sekitar kulitnya yang terbuka, ia menggantungkan lengannya pada akar pohon yang menjuntai keluar dari tanah di tepian sungai yang sempit. Di kening Sayuri, darah mengalir pelan dari luka robek yang berada di sana. Telapak tangannya sudah mulai memutih dan keriput tanda terlalu lama terpapar air. Kulit Sayuri mulai membiru, begitu pula dengan bibir mungilnya, tampak biru di tengah wajah yang begitu pucat.

Segera Masumi memeriksa keadaan Sayuri. Masih bernafas, walau sangat pelan dan berat. Masumi pun memeriksa pupil mata Sayuri, ternyata masih bereaksi terhadap cahaya. Cepat-cepat Masumi melakukan pernafasan buatan untuk membuat Sayuri memuntahkan sebagian air yang terminum olehnya.

Sesaat tak ada reaksi.

Masumi kembali melakukan tindakan untuk memancing Sayuri memuntahkan air. Dan usahanya kali ini membuahkan hasil. Sayuri batuk-batuk dengan hebat dan serta merta memuntahkan air yang masuk ke dalam lambungnya.

”Ayah...”

Suara lirih Sayuri mampu menyumbangkan senyum lega di wajah ketiga pria dewasa itu.

”Iya sayang, ini ayah... Sekarang kau sudah aman...”

”Ini, tuan Hayami, cepat gantikan pada Sayuri-chan. Setidaknya bisa sedikit menghangatkan tubuhnya,”

Izanagi mengangsurkan plastik berisi pakaian kering dan minyak gosok yang dibawanya dalam tas ranselnya. Masumi mengucap terima kasih tanpa suara pada Izanagi yang dijawab dengan anggukan kepala. Dengan sangat hati-hati dan berusaha menyeimbangkan diri di tempat yang sempit itu, Masumi mulai mengganti baju Sayuri dengan kaos besar milik Izanagi. Sementara Masumi mengurus Sayuri, Izanagi dan Takahiro menginformasikan pada yang lain, bahwa mereka telah berhasil menemukan Sayuri dalam keadaan selamat.

”Kita kembali sekarang, Masumi?”

”Iya Takahiro, semakin cepat kita kembali akan semakin baik untuk Sayuri. Aku ingin dia diperiksa secara menyeluruh secepatnya,”

”Kau bisa berpegangan pada ayah sayang?”

Sayuri mengangguk lemah sembari kemudian bergantung erat di punggung ayahnya. Takahiro pun mengikat Sayuri pada punggung ayahnya dengan sehelai kain panjang yang sengaja dibawa Izanagi. Dan perjalanan pulang mereka pun dimulai.

> to be continued
genkan : tempat di mana orang melepas sepatu mereka. Ketika mereka melepaskan sepatu mereka, orang-orang melangkah naik ke lantai yang lebih tinggi dari genkan. Disamping genkan terdapat sebuah rak atau lemari disebut Getabako di mana orang dapat menyimpan sepatu mereka

usu : lesung untuk menumbuk beras ketan

harness : alat keselamatan yang digunakan para pemanjat, terjalin dari kain dengan desain seperti celana, berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian. Diwajibkan menggunakan alat ini di ketinggian lebih dari 1,8 meter