Kamis, 29 September 2011

The Adventure of Sayuri Hayami #13

picture courtessy of wall-mural.eu


Mereka berjalan bertiga dalam suasana kikuk yang janggal. Terutama bagi Masumi dan Kazumi. Sesekali mata Sayuri melirik setengah jahil setengah curiga ke arah ayahnya, yang dibalas pelototan gemas dari Masumi. Dan segera saja gadis cilik itu terkikik geli setiap melihat reaksi ayahnya, membuat Masumi semakin gemas pada kelakuannya.

Sementara Kazumi, berusaha bersikap tenang, walau tak dipungkirinya, hatinya tengah ribut bertalu-talu seakan ada penabuh genderang yang tengah beraksi di dalam jantungnya. Wajahnya pun masih terasa panas dan ia yakin, jika ia bercermin pasti dia akan menjumpai seraut wajah serupa kulit kepiting rebus.

Diam-diam Masumi mencuri-curi mengamati Kazumi. Dan begitu ia melihat Kazumi, dia semakin yakin, seyakin-yakinnya, gadis yang berjalan di sebelahnya adalah Maya Kitajima.

Ingatan Masumi segera melayang pada kejadian konyol yang menimpanya bersama Kazumi saat di paviliun. Hampir saja dia tak mampu mengendalikan diri untuk tidak mencium Kazumi saat dia tengah menahan gadis itu agar tidak jatuh. Kalau saja Sayuri tidak segera muncul, mungkin anak gadis kecilnya itu akan menemukan mereka dalam posisi yang lebih memalukan.

Jujur, ada sekelumit perasaan kecewa menyelinap di hati Masumi dengan kehadiran Sayuri yang tiba-tiba tadi. Andai saja Sayuri tidak ada, pasti dia akan kelepasan mencium Kazumi dan hal itu bisa mengobati rasa penasarannya akan keberadaan Maya sebagai Kazumi. Setidaknya, ia masih mengingat rasa saat ia mencuri kecupan di bibir Maya.

Perlahan Masumi menghela nafas.

‘Maya, apakah kau tak mendengar suara hatiku ini?’

Di sisi lain, Kazumi pun tampak asyik dengan pikirannya. Dengan sedikit rona merah yang masih tertinggal di pipinya, Kazumi masih teringat kejadian di paviliun tadi. Bagaimana secara tanpa sadar tubuhnya bereaksi terhadap keintiman yang tak sengaja tercipta antara dirinya dan tuan Hayami. Bahkan, seandainya saja Sayuri tidak muncul mengagetkan mereka, dia pasti akan membiarkan tuan Hayami mencium dirinya. Pesona magis yang tercipta di antara dirinya begitu membiusnya, hingga seluruh sel dalam dirinya mengayun lembut ke arah tuan Masumi. Ibarat dua kutub magnet yang berlawanan, saling menarik satu sama lain.

Kazumi menghela nafas. Udara sore di Desa Momiji begitu cerah, sesekali hembusan angin membawa kesejukan di lembabnya cuaca musim panas.

’Aroma ini?’

Kembali, hidung Kazumi menangkap bau parfum Masumi yang terbawa hembusan angin. Lagi-lagi, ia merasa begitu dekat dan mengenal wangi parfum yang berbaur dengan aroma maskulin khas seorang Masumi Hayami.

”Pak Masumi....”

Kazumi berbisik pelan, nyaris tak terdengar. Ia mencoba menggali ingatannya kembali, karena, entah mengapa, saat di paviliun tadi, secara natural, dari bibirnya meluncur nama itu. Seolah memang begitulah seharusnya adanya.

Dan saat pandangan matanya beradu dengan tatapan mata Masumi, seakan ada jutaan benang emas berpendar di antara mereka berdua, membentuk jalinan indah yang melingkupi mereka berdua. Begitu hangat dan menenangkan. Seolah Kazumi telah menemukan tempatnya berlindung, tempatnya berpulang dan mempercayakan hatinya.

Debaran jantung Kazumi semakin jadi tak menentu. Berjalan berdampingan dengan Masumi semakin membuat irama jantungnya berdetak tidak wajar. Dan ia suka. Amat menyukai perasaannya ini.

’Apakah...? Tapi, bagaimana bisa...?’

Pipi Kazumi semakin merona di antara lamunannya. Dan Masumi pun semakin asyik mengamati sosok gadis yang berjalan di sampingnya. Mengingat setiap detil wajah dan perubahan raut mukanya.

‘Ini Maya Kitajima! Tak salah lagi, ini Maya Kitajima!’

”Paman Hijiri! Paman Maeda!”

Seruan ceria Sayuri menyadarkan Masumi, membuat segera mengalihkan pandangannya. Dan benar saja, Hijiri dan Takahiro ternyata memang berada di ujung jalan tikungan yang akan mereka lalui. Sayuri pun berlari mendekati  Hijiri dan Takahiro yang berdiri menanti dan tersenyum menyambutnya.

”Eh paman, tahu tidak, tadi ayah... Auw! Sakit ayah!”

Sayuri menggeliat dan melotot sengit ke arah ayahnya yang telah menekan pundak mungilnya. Tapi demi melihat tatapan penuh peringatan dari ayahnya, Sayuri pun tahu, ia tak boleh sembarangan berbicara. Apalagi ini menyangkut Kazumi, tunangan Takahiro yang kini menatap penuh tanda tanya ke arahnya.

Hijiri diam mengamati bahasa tubuh atasan dan putri kecilnya itu. Ia menduga, pasti telah terjadi sesuatu di antara Kazumi dan Masumi. Entah apa, namun ia yakin, jika sampai Masumi bersikap seperti itu kepada Sayuri, tentulah bukan hal yang patut dibicarakan di depan Takahiro.

Takahiro tersenyum geli pada Masumi yang menatap ke arahnya dengan pandangan, ‘Tidak usah didengarkan, biasa, anak-anak.’

“Selamat sore, Sayuri-chan, bagaimana rasanya tinggal di desa paman? Asyik bukan?”

“Asyik sekali paman Maeda! Sayuri senang tinggal di sini, apalagi nona Okada juga baik sekali. Eh, nona Okada mana ya?”

Bersama-sama, keempat pasang mata kini beralih pandangan, mencari keberadaan Kazumi. Dan ternyata, Kazumi masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia terus melangkah melewati jalan utama dan kini berjalan di pematang sawah, bahkan ia juga tidak menyadari jika saja dia sudah hampir masuk ke dalam parit kecil untuk irigasi sawah.

“Awas!”

Sesosok tubuh melesat, berusaha menyelamatkan Kazumi yang sedikit lagi tercebur ke dalam parit. Kazumi tersentak kaget, merasakan sebuah tangan menarik tubuh mungilnya, membuat ia oleng dan jatuh menimpa sosok yang menariknya.

“Kyaaa!!!”

Tubuhnya tanpa ampun jatuh menimpa sosok pria yang  menariknya dan terjerembab bersama di rumput tebal pematang sawah. Wajah Kazumi menempel erat pada dada bidang berkemeja biru langit.

‘Aroma ini?’

Lagi-lagi Kazumi mencium harum khas yang menggugah perasaannya. Memberikan ketenangan dan perlahan menyebarkan hangatnya perasaan nyaman. Degup jantungnya seirama dengan suara degup jantung yang didengar telinganya. Perlahan Kazumi mengangkat wajahnya dan segera pandangan matanya bertemu dengan mata tajam yang begitu memasung jiwanya.

‘Eh?!?’

Bagai tersengat lebah, Kazumi bergegas berdiri, bangkit dari keterpanaannya oleh kehangatan tubuh Masumi dan pesona tatapan matanya. Wajahnya merah padam. Hatinya malu setengah mati.

“Ma...Ma’afkan saya tuan Hayami,”

‘Dasar ceroboh!!!! Kenapa bisa terjadi lagi!!!’

Kazumi merutuki dirinya sendiri.

“Ayah! Nona Okada! Apa kalian baik-baik saja?”

Suara cemas Sayuri memecahkan suasana tak wajar antara Kazumi dan Masumi.

“Ayah? Ayah tidak apa-apa?”

Sayuri menghampiri Masumi yang masih terbaring setengah terduduk.

“Tidak apa-apa, Sayuri, ayah baik-baik saja,”

“Haaaah... syukurlah, habis sepertinya kalian tadi jatuhnya keras sekali,”

”Kau tidak apa-apa, Masumi?”

”Tidak Takahiro, aku baik-baik saja, terima kasih,”

Sambil menyambut uluran tangan Takahiro, Masumi pun berdiri dan mengibaskan kotoran yang menempel di belakang celana bermuda yang dikenakannya.

”Dan kau, Kazumi, baik-baik saja kan? Apakah ada yang terluka?”

Kazumi yang baru menyadari kehadiran Takahiro, menjadi semakin salah tingkah dan terbata-bata menjawab pertanyaan tunangannya itu.

”Eh, i.. iya... Iya... Takahiro, aku baik-baik saja,”

”Syukurlah, untung saja ada Masumi, kalau tidak... Terima kasih ya, Masumi,”

Entah mengapa, mendengar ucapan terima kasih yang begitu tulus dari Takahiro mengirimkan sebuah perasaan tak nyaman dalam hati Masumi. Membuatnya seperti seorang murid yang  ketahuan telah mencontek saat ujian namun sang guru tak memarahinya, justru malah tersenyum menenangkannya.

”Sama-sama, Takahiro. Rupanya tunanganmu ini senang berjalan dengan melamun,”

’Mengingatkan aku pada seseorang,’ bisik hati Masumi.

”Kau harus ekstra hati-hati menjaganya,”

Masumi tersenyum getir. Mengucapkan dua kalimat terakhir tadi ternyata cukup ampuh menghukumnya. Mengingatkan dirinya untuk tidak bermain api jika tidak ingin merasakan sakitnya terbakar.

”Iya ih, nona Okada ini ternyata ceroboh sekali, tadi sudah terpeleset di paviliun, eh sekarang malah mau kecebur parit. Untung ada ayah, kalau tidak, wah wah, bisa gawat!”

”Sayuri!”

”Lho, memang benar kan ayah? Seharusnya orang dewasa tidak ceroboh begitu kan? Nanti, kalau Sayuri sudah dewasa, Sayuri akan sangat berhati-hati, supaya tidak celaka,”

Tampang Sayuri yang begitu serius membuat semua orang dewasa yang di sekitarnya tergelak. Namun tak urung, Takahiro mulai merasakan sesuatu yang berbeda dari tamu mereka. Sesuatu yang mungkin akan merubah jalan hidupnya.

= # =

”Jadi begitu ya Hijiri? Wah, sebenarnya ingin sekali aku bergabung dengan kalian, menyaksikan si anak bodoh itu kehilangan kendali diri,”

Eisuke tertawa senang mendengar laporan Hijiri. Ia tak menyangka, segalanya berjalan mudah bahkan begitu lancar.

”Dan reaksi Sayuri bagaimana?”

Eisuke kembali menyimak penuturan Hijiri, sesekali senyum dan kekeh pelan terlontar dari mulut Eisuke. Hatinya senang, cucunya menunaikan tugasnya dengan sangat baik, tinggal bagaimana nanti ia mempermudah jalan kembalinya pemeran utama sang Bidadari Merah.

”Baiklah Hijiri, kerja bagus, di sini semua juga sudah siap. Kita wujudkan pernikahan impian Masumi dan pementasan Bidadari Merah,”

= # =

Mereka bertepuk tangan dengan keras, menyemangati anak-anak yang berlatih memberikan penghormatan terakhir kala pertunjukan usai.

”Hebat! Hebat! Keren!”

Sayuri sibuk berteriak dari pinggir aula desa. Sesekali jempolnya mengacung, memberikan penghargaan pada anak-anak seusianya yang berdiri di tengah ruangan.

Masumi terpekur diam. Sepanjang latihan yang dipimpin Kazumi tadi, matanya tak lepas mengamati Kazumi yang dengan telaten mengarahkan anak-anak binaannya. Sesekali tampak Kazumi memberikan contoh bagaimana memerankan tokoh pada anak yang belum memahami perannya. Saat itulah, keyakinan Masumi akan keberadaan Maya semakin kental. Dari setiap gerak tubuh Kazumi saat memerankan tokoh-tokoh tertentu, tidak menghilangkan kejeniusan Maya. Walau hanya dalam gerakan sederhana, dengan jelas mata tajam Masumi dapat menangkap karakter si tokoh dalam tempo waktu sekejap. Dan kemampuan seperti itu hanya dimiliki oleh aktor atau aktris sekaliber Maya.

Masumi melihat ke arah Hijiri dan tangan kanan kepercayaannya itu memberikan isyarat untuk bertemu di luar. Masumi pun mengangguk samar.

“Takahiro, aku titip Sayuri sebentar ya,”

Takahiro menatap ke arah Masumi dan sekelebat gerakan Hijiri yang beranjak meninggalkan aula. Dia tersenyum dan mengangguk mengerti.

”Sayuri, ayah keluar dulu sebentar, kau di sini dulu bersama paman Takahiro dan nona Okada. Nurut ya sama paman Takahiro dan nona Okada,”

Tanpa menjawab, Sayuri menganggukkan kepalanya kuat-kuat, mengacungkan kedua ibu jarinya dan tak lupa mengeluarkan senyuman ala malaikat miliknya. Masumi pun tersenyum dan beranjak meninggalkan aula mengikuti Hijiri.

= # =

Kazumi menepuk tangannya dan meminta anak-anak binaannya berkumpul. Mereka pun berkumpul dengan suara riuh dan salah satu topik keriuhan mereka adalah seorang anak perempuan yang duduk di pinggir aula. Dengan rasa penasaran yang besar, sesekali mereka melirik ke arah Sayuri yang juga tengah mengamati mereka dengan antusiasme yang besar.

Kazumi kembali menepuk tangannya, berusaha memancing perhatian kepala-kepala mungil yang riuh berceloteh satu sama lain. Dan usahanya membuahkan hasil, suara celoteh ribut kanak-kanak pun  mereda berganti dengan pandangan penuh perhatian dan rasa ingin tahu.

”Terima kasih, sekarang, ayo semua duduk,”

Sambil tersenyum manis, Kazumi meminta anak-anak kecil itu duduk. Segera gemerisik suara anak-anak duduk mengambil posisi setengah melingkar di hadapan Kazumi.

”Hari ini kalian semua hebat sekali, ayo kita bertepuk tangan untuk kelancaran hari ini,”

Mereka pun bertepuk tangan dengan semangat, tak terkecuali Sayuri yang ikut bertepuk tangan dengan keras, membuat Takahiro yang duduk di sebelah tersenyum melihat semangatnya.

”Nah, sekarang kakak akan mengenalkan seseorang pada kalian, tepatnya kakak akan mengenalkan seorang teman baru pada kalian. Sayuri-chan, mari, sini,”

Sayuri yang sejak tadi menunggu namanya dipanggil, segera berdiri dan melangkah mendekati Kazumi. Diiringi pandangan penuh rasa ingin tahu dari sebelas pasang mata yang duduk di hadapan Kazumi, Sayuri berdiri tegap dan memamerkan senyumnya.

”Cantik ya...” bisik seorang anak perempuan berbaju kuning pada teman di sebelahnya.

”Ini Sayuri Hayami, dia bersama ayahnya sedang menghabiskan liburan panas di desa kita dan selama berlibur di sini, mereka tinggal di paviliun rumah kakak. Nah, Sayuri-chan, perkenalkan dirimu,”

Sayuri mengangguk pada Kazumi dan tersenyum lebar pada calon teman-teman barunya.

”Selamat sore semuanya, perkenalkan, namaku Sayuri Hayami. Aku berasal dari Tokyo,”

”Wuaaaaahhhh, dia dari Tokyo ternyata,”

Desah kagum terdengar dari beberapa mulut mungil di hadapan Sayuri. Sayuri tersenyum senang.

”Aku sedang berlibur di sini bersama ayahku, Masumi Hayami dan pamanku, Karato Hijiri. Selama berlibur di sini, aku ingin bisa bermain bersama kalian, mohon diterima,”

Sayuri membungkukkan badan, menyampaikan salam perkenalan pada teman-teman barunya.

“Aku Goro, kamu tidak punya kakak atau adik?”

Seorang anak lelaki gempal bertanya pada Sayuri dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.

“Tidak, aku tidak punya kakak atau adik, aku hanya sendiri,”

“Wah enak sekali, kalau aku adiknya ada tiga orang, jadi harus selalu mengalah pada mereka,” sahut Goro yang mengundang komentar-komentar lucu dari anak-anak yang lain.

“Sayuri, kenapa kau berlibur hanya dengan ayah dan pamanmu saja? Memangnya kemana ibumu? Kok tidak ikut berlibur juga?”

Kali ini seorang anak perempuan dengan rambut diikat dua melontarkan pertanyaan. Mendengar apa yang ditanyakan, seketika senyum Sayuri menghilang dari wajahnya. Dengan perasaan terganggu, Sayuri memandang si penanya, menilai maksud pertanyaan yang dilontarkannya. Tapi tak ditemuinya sinar jahil di mata anak perempuan bernama Tomoko itu, hanya pandangan polos ingin tahu.

Dan ternyata, tak hanya Tomoko memandang dengan rasa penasaran besar akan keberadaan ibu Sayuri. Semua yang ada di dalam ruangan itu juga tengah menunggu jawabannya, temasuk Kazumi dan Takahiro yang kini juga memandang ke arahnya.

Sayuri menelan ludah, ini adalah hal yang paling tidak disukainya saat harus berkenalan dengan orang baru. Pertanyaan tentang keberadaan ibu selalu saja mengusik jiwa kanak-kanaknya yang polos. Sungguh, ia sangat tidak menyukai situasi ini.

“Ibuku.... Ibuku tidak bisa ikut berlibur, karena....”

“Ibu Sayuri sedang berhalangan, makanya Sayuri hanya bisa pergi berlibur bersama ayah dan pamannya. Benar begitu kan, Sayuri-chan?”

Sayuri memandang ke arah Kazumi yang tersenyum ke arahnya. Sayuri pun tersenyum penuh rasa terima kasih padanya. Kepercayaan dirinya pun kembali dengan cepat.

“Iya, ibuku sedang berhalangan, jadi dia tidak bisa ikut berlibur bersama kami,”

“Nah, perkenalan sudah cukup, kalau ingin mengenal lebih dekat lagi, kalian bisa mengobrol dengan Sayuri setelah ini. Latihan kita sudah selesai, dan ingat, masing-masing harus mengingat peran yang harus dibawakan dengan sebaik-baiknya,”

“Baik kak Kazumi,”

“Baik, semuanya, sampai bertemu lagi besok sore,”

Segera saja keriuhan dari dua belas anak berumur 6-10 tahun memenuhi aula terbuka. Mereka berebut untuk berkenalan secara langsung dengan Sayuri yang tampak senang menjadi pusat perhatian. Sementara, dari tempat yang tak terlihat, Masumi mengawasi semua kejadian yang berlangsung di aula terbuka itu. Hatinya trenyuh ketika wajah Sayuri tampak bingung dan menyiratkan perasaan tak nyaman ketika salah satu teman barunya menanyakan keberadaan ibunya. Untung saja Kazumi turun tangan menolongnya menjawab pertanyaan itu.

‘Maya... Terima kasih...’


> to be continued

Rabu, 28 September 2011

Cerita Cinta #2

Bunyi getaran gadget Bima, menyadarkannya dari pemikiran panjang di tengah rehat meeting presentasi yang tengah dijalaninya. Dengan malas Bima memeriksa gadget terbaru miliknya itu, namun, tak ayal senyumnya segera mengembang ketika melihat foto dan nama Gading terpampang sebagai sang pengirim pesan singkat.

Thanks ya Bim, masukan kamu tadi pagi ternyata ok banget! Ibu Atikah menyetujui semua rancangan revisi, tinggal sedikit memperbaiki bagian-bagian seperti yang kamu bilang tadi. Thank you so much and I love you, my Big Bro! *^_^*

Senyum senang pun tersungging di wajah Bima tatkala membaca emoticon khas Gading. Segera saja jari lincah Bima menari di atas keypad, mengetikkan pesan balasan untuk sms Gading. Tapi, baru sampai pada baris kedua kalimat balasan pesannya, Bima memutuskan untuk menelepon Gading saja. Tiba-tiba, ia ingin sekali untuk sekedar mendengarkan suara Gading.

Sambil mengetuk-ngetukkan jari mengikuti irama khayalan yang ada di kepalanya, Bima mendengarkan nada sambung yang tak jua berhenti dari nomor yang dihubunginya. Dengan kening berkerut, Bima kembali menekan tombol redial.

‘Gading, kamu ini kemana sih?’

Dan setelah menekan tombol redial untuk ketiga kalinya, barulah sambungan telepon Bima mendapat respon.

”Halo mas Bima!”

Dari ujung telepon terdengar suara Lembayung, adik Gading, yang menjawab telepon.

”Halo? Lembayung? Kakakmu mana?”

“Idih! Mas Bima ini, gualak betul sih?”

Bima tahu, dari nada suaranya, gadis tinggi semampai itu pasti tengah tersenyum jahil.

”Mbak Gading lagi mandi mas, makanya aku yang terima telepon dia, habisnya dari tadi berisik banget. Kirain dari siapa teleponnya, ternyata....”

”Dari orang ganteng, ya kan?”

Tukas Bima sambil tersenyum.

”Narsis!”

Bima pun tergelak.

”Ada apa mas? Mau kasih job buat Mbayung ya? Hehehehehehe,”

“Ah, kamu itu! Kapan datang? Enak, jalan-jalan ke Bukit Tinggi-nya?”

”Siapa yang jalan-jalan? Aku ke Bukit Tinggi kerja mas, capek, pemotretan ga kelar-kelar. Tapi seneng sih, setidaknya nanti tampangku kan mendunia walaupun sekedar sebagai iklan pariwisata. Oh ya, mas Bima ke rumah gih, ada oleh-oleh nih buat mama Lis ama papa Irawan,”

”Lha buat aku? Masa ga ada? Ogah ah, kalau aku cuma jadi kurir doang,”

”Yeeeeee, kalau buat mas Bima sih cukup oleh-oleh cerita aja kaleeeeee,”

Dan gelak tawa Lembayung pun menular pada Bima.

”Eh udah dulu ya mas, nih, mbak Gading udah kelar mandinya,”

”Ok,”

Sejenak Bima terdiam, menunggu pergantian lawan bicara.

’Gila, kok aku jadi deg-deg’an kayak ABG begini?’

Seru hati Bima kala ia merasakan detak irama jantungnya yang tak biasa.

”Halo Bim,”

Detak jantung Bima semakin tak menentu ketika mendengar suara Gading di hands free yang melekat di telinganya. Bima tercekat. Perasaan asing ini mengusik hatinya, namun ia suka dan ia mulai menikmatinya.

”Halooooooooooooo~ Bima? Kalau kamu ga ngomong juga, aku tutup nih!”

Bima tersentak mendengar reaksi Gading, dan tanpa dapat dicegah dia menjadi salah tingkah tak menentu, untung saja tidak ada orang di loby saat ini.

”Hehehehehehehe... Sori, sori! Tumben jam segini baru mandi, apa ga kurang malam?”

”Halah, sok tau! Aku sering lagi mandi jam segini, apalagi kalau habis bantuin bunda ngurusi catering, bisa lebih malam lagi baru mandi. Ada apa, Bim?”

”Ga ada apa-apa, iseng aja, sambil nungguin rehat meeting,”

”Meeting? Jam segini?”

”Yah, gimana lagi, klien-nya reschedule, ya udah ngikut aja, mereka yang punya duit ini,”

”Ini yang sama Rothmans itu bukan, Bim?”

”Iya,”

”Ya ga apa-apalah, biar meeting sampai malam juga, klien kakap ini. Eh, ini yang kamu bilang brand managernya ’hot’ itu kan?”

”Betul banget!”

Mereka pun tergelak bersama. Pikiran Bima tiba-tiba melayang pada sosok Gading. Saat tertawa lepas seperti saat ini, mata Gading akan berbinar seakan memantulkan cahaya bintang. Dan Bima paling suka Gading saat tertawa, terlihat begitu cantik dan ayu.

’Eh?!’

Bima terdiam menyadari, betapa akhir-akhir ini dia mulai mempunyai perasaan yang berbeda mengenai Gading. Tanpa disadarinya, kehadiran Gading yang sudah demikian akrab membuatnya merasa nyaman dan enjoy menikmati kebersamaan mereka. Namun selama ini, hubungan yang mereka bina hanya berlabel teman baik, sahabat tepatnya. Tak lebih.

”WOI!!!! Halooooooooooooo~???? Kamu ngapain sih Bim? Ow ow ow, jangan bilang kamu lagi asyik mandangin body sexy brand manager Rothmans yah,”

Bima tersadar, tanpa sadar ia tadi tengah melamunkan Gading, sampai-sampai lupa kalau dia tengah melakukan hubungan telepon dengan sosok yang dilamunkannya.

”Sembarangan kamu!”

”Hahahahahahahahahahahaha! Udah lah, ga usah ngeles... Yakin deh, pasti sekarang kamu lagi curi-curi pandang, menelaah, mengkaji, bahkan mulai membuat hipotesa tentang si brand manager bukan?”

”Emang aku segitunya ya, Gading?”

Suara Bima yang tiba-tiba berubah terdengar sendu cenderung sedih membuat Gading seketika terdiam. Entah mengapa, seperti ada situasi yang tidak nyaman menggantung di antara mereka berdua. Akhirnya, Gading membuka suara demi memecahkan kekakuan di antara mereka berdua.

”Ehm... Ma’af ya Bim, aku sudah keterlaluan ya?”

Bima tersenyum dan menghela nafas. Selama ini dia memang bersikap selayaknya seorang playboy. Dari jaman sekolah menengah, kuliah hingga ia menjadi seorang eksekutif muda yang sukses serta tumbuh menjadi seorang pria muda metroseksual yang sadar betapa menarik dirinya bagi kaum hawa. Dia terlalu sering bermain-main, memuaskan egonya sebagai seorang laki-laki yang memiliki segalanya. Bagaimanapun Gading tidak perlu meminta ma’af padanya. Karena semenjak Gading mengenalnya, dia memang sudah seperti itu. Stereotype pria dengan kekuasaan penuh di tangan.

Kembali Bima menghela nafas.

”Nggak apa-apa kok Gading, santai aja. Eh, udah dulu ya, itu Anton udah nyamper tuh, moga-moga deh proyek yang ini goal. Wish me luck yah Gading,”

”I will Bima, always...”

”Thanks! Love you Gading, see you,”

“Love you too, Big Bro! See..”

Belum sempat Gading menuntaskan salamnya, Bima telah memutuskan sambungan telepon, meninggalkan nada sibuk berkepanjangan di handphone Gading.

“you…”

Dengan perasaan gamang Gading meneruskan salamnya yang terputus. Ditatapnya handphonenya yang kini menampilkan screen saver pemandangan puncak Rinjani. Entah mengapa, seperti ada sebuah kehilangan besar ketika Bima memutuskan sambungan telepon begitu saja. Selama ini, mereka selalu menuntaskan percakapan mereka, sesibuk apapun mereka. Bahkan, tak jarang, percakapan yang seharusnya sudah berakhir, menjadi sebuah perbincangan panjang kembali saat di akhir perbincangan salah satu di antara mereka menyebutkan suatu hal yang menarik.

’Mungkin Bima memang sedang buru-buru,’ bisik hati Gading menghibur diri.

Setengah melamun ia beranjak menuju kamarnya, namun kemudian bertemu dengan Lembayung yang duduk mencangkung di sofa ruang tengah.

”Kenapa mbak?”

Gading menatap ke arah Lembayung yang tengah menikmati semangkuk sup makaroni kegemarannya.

”Apanya yang kenapa?”

Gading pun balik bertanya sambil mencomot sebutir telur puyuh dari mangkuk Lembayung.

”Itu, muka mbak kenapa manyun begitu habis terima telepon dari mas Bima,”

”Siapa yang manyun? Biasa aja tuh,”

”Halah, nggak ngaku lagi mbak Gading ini, keliatan lagi mbak, klo muka mbak rusuh begitu. Emang kenapa sih? Berantem ya ama mas Bima? Mbak Gading jorok ah!” seru Lembayung sambil menepis tangan Gading yang bersiap untuk mencomot telur puyuh yang kedua.

”Nggak, nggak ada apa-apa, biasa aja,”

”Biasanya, klo bilang nggak ada apa-apanya ngotot gitu, berarti ada apa-apa, betul ga bunda?”

Gading berpaling ke arah pandangan Lembayung dan ternyata bundanya telah duduk di ruang makan sambil mengamati kedua anak gadisnya.

”Ngomongin apa sih? Dari tadi bunda denger kok ribut melulu?”

”Ini nih bunda, si mbak Gading, berantem ama mas Bima,”

”Oh ya? Bener, Gading? Berantem kenapa?”

“Nggak bunda, Gading ga berantem sama Bima kok, bisa-bisanya Lembayung aja, tuh!”

Gading melotot pada Lembayung dan dibalas leletan lidah dari adiknya itu.

”Oh ya bunda, eyang uti jadi kesini kan?”

Gading pun mengalihkan pembicaraan.

“Lah tadi, ngendikannya eyang gimana pas kamu telepon?”

“Hah?!? Emang eyang uti mau kesini bunda?”

Lembayung membelalakkan mata dan kemudian bergantian mengalihkan pandangan mata pada bundanya dan Gading yang kini tersenyum geli.

“Iya, eyang uti mau kesini, kenapa?”

”Beneran?”

Kembali Lembayung bertanya dengan ekspresi wajah tak percaya.

”Iya bener, kok ga percaya amat sih! Emang kenapa Lembayung cantiiiiiikkkkkk?”

”Walah! Apes deh aku!”

”Kamu itu ya Mbayung, wong eyangnya mau sowan, bukannya seneng malah ngomong begitu,” tegur ibu Mirna pada Lembayung yang tampak mengerutkan hidung bangirnya.

”Ya gimana mau seneng bunda, kalau begitu melihat aku, eyang langsung ’mbesengut’,”

Seketika ruangan riuh oleh gelak tawa anak beranak itu. Mereka bertiga sangat tahu, Lembayung tidak cocok dengan eyang putrinya. Setiap saat mereka bertemu, pasti akan ada saja kejadian, karena sikap ’pemberontak’ Lembayung bertemu dengan sikap priyayi sang eyang.

”Ya udah, dinikmati aja, gitu-gitu eyang itu sayang lho sama kamu,”

”Mana? Yang ada sih Mbayung dikritik melulu. Cape deh!”

“Kamunya juga bandel sih, sudah dibilang kalau ada eyang, tolong kamu reschedule jadwal fashion show ama pemotretannya, biar ga pulang malam terus. Tahu sendiri kan, eyang uti gimana orangnya,”

“Mbak, mbak, kayak ga ngerti aja, namanya jadwal-jadwal seperti itu kan bukan aku yang ngatur, semua udah beres ama agency. Kalau aku se-enak udel rubah jadwal, bisa-bisa aku ga dipake lagi dong, trus siapa yang mau ganti honorku yang melayang,”

“Iya sih, tapi cobalah mengerti eyang. Kamu tahu sendiri kan, eyang itu masih memegang teguh kultur budaya Jawa, dan tidak bisa dipungkiri, darah yang mengalir di tubuhmu itu darah Jawa tulen,”

“Lembayung ngerti mbak, cuma kadang suka gerah juga kalau eyang sudah mulai ngomongin ini itu yang berbau tata karma wanita Jawa. Masalahnya, sekarang kita hidup di Jakarta, dinamikanya tinggi. Mbak Gading juga pernah bilang gitu kan sama eyang?”

“Ya, maklumin aja, yang penting kita ga nyalahin aturan yang paling prinsip saja. Iya kan Lembayung?”

Suara bundanya yang penuh penekanan membuat Lembayung segan. Selama ini bunda dan kakaknya selalu mewanti-wanti padanya, untuk pandai-pandai menjaga diri di lingkungan pergaulan bebas dunia modeling yang digelutinya.

”Iya bunda, Lembayung ingat,”

Wanita paruh baya itupun tersenyum menanggapi pelukan sayang dari anak bungsunya. Sementara anak sulungnya, Gading, tersenyum menatap kemanjaan adiknya.

”Oh ya Gading, eyang jadinya kapan mau ke Jakarta?”

”Entahlah bunda, eyang juga belum memastikan. Kata eyang sih nunggu kepastian dari pakdhe Bernowo dan budhe Lastri. Terus katanya, mas Pramudya juga mau ikut ke Jakarta. Lagipula, kenapa eyang harus menunggu pakdhe Bernowo, biasanya eyang juga ke sini sendiri naik pesawat,”

Gading menatap penuh tanya ke arah bundanya yang juga menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

”Pakdhe Bernowo? Yang juragan salak pondoh itu bunda? Walah, apa kabarnya mereka?”

“Ya nanti kalau mereka datang kamu juga tahu kabar mereka, Mbayung,”

“Memangnya pada mau kesini bareng eyang? Ada acara apaan? Wah, jangan-jangan mbak Gading mau dijodohin ama mas Pramudya nih! Iya kan bunda?”

Deg!

’Dijodohkan?’

Perkataan Lembayung terkesan sambil lalu namun cukup mengejutkan Gading. Dia tak benar-benar tak pernah terpikirkan kalau ada rencana perjodohan yang melibatkan dirinya. Dengan rasa penasaran yang besar, Gading kembali menatap ke arah bundanya.

“Memangnya iya bunda?”

“Ya iyalah, apalagi coba? Eyang gitu lhooooo…! Kita taruhan deh mbak, pasti rencana rombongan Yogya itu ke sini, ga jauh-jauh dari perjodohan,”

”Apaan sih?”

Gading menjawab dengan rasa tidak suka pada cengiran Lembayung yang kini terlihat sangat menyebalkan di matanya.

”Opo sih? Pakai taruhan segala,” ibu Mirna berusaha menengahi.

“Tapi bener kan bunda? Eyang kesini membawa keluarga pakdhe Bernowo, karena mau menjodohkan mbak Gading sama mas Pram, toh?”

“Bunda juga belum tahu Lembayung, Gading… Yang jelas memang eyang mau sowan ke rumah kita, juga pakdhe Bernowo beserta budhe Lastri dan Pramudya, dan kita harus bersikap baik saat ada yang menginap di rumah kita. Terutama kamu, Lembayung,” ibu Mirna menatap tajam ke arah putri bungsunya.

“Jangan terus-terusan membantah eyang putri. Toh, beliau cuma sowan sebentar, paling lama juga dua minggu, ngerti?”

”Iya bunda, Lembayung ngerti, jangan galak gitu dong,”

”Bunda tidak bermaksud galak Mbayung, hanya saja kamu itu masih harus selalu diingatkan, untuk menjaga sikap selama ada eyang. Bunda tidak pernah berkeberatan dengan apa yang kamu kerjakan selama ini, bahkan bunda bangga sama kamu. Hanya saja, ini eyang, seperti yang kakakmu bilang tadi, eyang itu masih memegang teguh kultur budaya Jawa dan karena kau juga seorang berdarah Jawa tulen, jadi tolong, bersikaplah seperti selayaknya orang Jawa, setidaknya selama eyang di sini,”

”Inggih bunda, Lembayung akan bersikap sebaik-baiknya selama eyang di sini,”

Lembayung tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

”Tapi ga janji ya....”

Benar saja.

Lembayung pun tergelak melihat bundanya mendelik ke arahnya. Sementara itu, Gading tampak terpekur, berusaha mencerna segala pembicaraan yang berlangsung barusan.

’Dijodohkan?’

= # =

”Selamat ya, kami harap kerjasama kita bisa menguntungkan semua pihak,”

Bima menyambut uluran tangan Susan, salah satu brand manager Rothmans yang ikut menghadiri presentasi dari perusahaannya.

”Sama-sama, Ibu Susan, kami juga sangat berterima kasih atas kepercayaan pihak Rothmans pada kami. Semoga kami mampu menvisualisasikan image dan harapan Rothmans,”

Wajah bermake-up sempurna milik Susan tersenyum, hatinya berdesir melihat senyum Bima yang begitu sempurna menghias wajah maskulinnya.

”It’s ok, saya yakin, pihak kami tidak salah dalam menetapkan pilihan. Ngomong-ngomong, jika tidak berkeberatan, kami mengundang Anda bergabung bersama kami ke Retro, atau tepatnya, aku yang mengundangmu, Bima,”

Bima memandang ke arah Susan penuh penilaian. Mata Susan tanpa sungkan menatap lekat ke arahnya, secara terang-terangan mengirimkan sinyal ketertarikannya yang besar pada Bima.

Susan tipe wanita metropolis yang lugas dan berani mengungkapkan apa yang diinginkannya. Wanita dengan kepercayaan diri yang tinggi, otak canggih dan penampilan mutakhir selayaknya tuntutan wanita karir abad ini. Sosok wanita yang selama ini diakrabi Bima sebagai partner ’permainan’ Bima. Biasanya Bima tanpa berpikir dua kali akan langsung menyambut ajakan yang begitu menggoda, menghabiskan sisa malam, clubbing di tempat seprestisius Retro. Namun entah, kali ini ada perasaan enggan dan jengah dalam hati Bima.

”Ma’af, sayang sekali, saya tidak bisa bergabung, saya masih ada beberapa hal yang harus saya selesaikan,” Bima mencoba menampik halus.

Mata Susan membulat, dan berdasarkan pegalamannya selama ini, Bima sangat paham gelagat ini, Susan bukan wanita yang biasa menerima penolakan.

”Ayolah Bim, the crowd won’t be great as well without you there,”

“I’m so honor, but I’m sorry… Saya benar-benar tidak bisa bergabung, maybe next time,”

Bima melemparkan senyum andalannya.

”Bener nih ga mau ikutan? C’mon, we will have fun ’till drop!”

Pandangan mata Susan dan gesturenya memancarkan ketertarikan yang besar pada Bima dan masih berusaha keras untuk membuat Bima bersedia memenuhi undangannya. Entahlah, perasaan jenuh yang asing pada ‘permainan berbahaya’ mulai menyelimuti hati dan perasaan Bima, membuatnya bersikukuh untuk tetap menolak undangan yang menggoda itu.

“Ma’af, saya benar-benar tidak bisa, mungkin lain waktu,”

Kembali Bima melontarkan senyum permohonan ma’af  terbaiknya, membuat Susan mau tak mau semakin penasaran.

‘Gila nih cowok! Katanya easy go, ternyata alot juga!’  bisik hati Susan geregetan.

Susan mengangkat kedua alisnya yang tertata sempurna dan menampilkan senyum mautnya.

“Well, maybe next time, promise?”

Bima sangat paham isyarat tak berkata dari wanita semodern dan seterbuka Susan. Dia mengangguk dan tersenyum penuh arti kala sentuhan ringan tangan Susan mampir di lengannya. Namun dalam hati Bima bertekad, mulai detik ini, sampai kapan pun dia tak akan lagi bermain api.

= # =

Gading terbaring dengan mata nyalang menatap langit-langit kamarnya. Di kepalanya masih berputar-putar perihal perjodohan yang sempat dilontarkan Lembayung. Mungkin hanya bercanda, namun tak urung mampu menyita pikiran Gading. Segala sesuatu menyangkut eyang putri mereka, tidak bisa dianggap sebagai main-main. Apalagi seandainya memang benar eyang putri punya rencana untuk menjodohkan Gading dengan Pramudya.

Gading menghela nafas, pandangan matanya beralih pada jam dinding berbentuk Big Ben, oleh-oleh Bima saat dia menemani mamanya berbelanja keperluan butik di London.

Jarumnya masih menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun suasana rumah sudah demikian sunyi. Gading menduga, pasti Lembayung sudah tidur, kecapekan selepas perjalanannya dari Bukit Tinggi.

Gadis semampai itu bangkit dari pembaringan, membuka pintu kamarnya dan berjalan perlahan menuju kamar bundanya. Ia tahu, bundanya pasati masih terjaga karena harus mempersiapkan keperluan catering untuk esok hari.

”Bunda...,”

Gading mengetuk pelan bilah kayu jati yang terbuka sedikit. Dengan hati-hati, Gading melongokkan kepalanya melewati ambang pintu, dan dilihatnya sang bunda tengah berbicara di hand phone. Tanpa bersuara, sang bunda mengisyaratkan pada Gading untuk masuk. Gading pun pelan-pelan menutup pintu untuk kemudian duduk di tepi tempat tidur bundanya, menunggu beliau selesai berbicara di hand phone.

”Jadi, acaranya di apartemen ya?”

Gading diam-diam memperhatikan pembicaraan bundanya dengan lawan bicaranya. Tangan bundanya tampak sibuk mencatat di buku order dan sesekali menimpali lawan bicaranya.

“Ok, kalau begitu menunya European ya Bim,”

‘Eh? Bima?’

Gading tertegun sesaat, hatinya bertanya-tanya, benar tidak yang tengah bicara dengan bundanya adalah Bima.

“Ya wis, untuk menu deal yo, nanti bunda tambahin pie tart sama canapĂ©,”

Gading semakin memusatkan perhatiannya pada bundanya yang kembali menyimak pembicaraan dari lawan bicaranya.

“Ora opo-opo, Bima, ga usah dibayar pie tart dan canape-nya, kuwi bonus dan hadiah dari bunda buat syukuran kamu itu. Oh ya, ini ada Gading, mau ngomong sama Gading? Sebentar ya... Gading, Bima mau ngomong sama kamu”

Gading menerima hand phone bundanya sambil memandang tak mengerti pada bundanya.

“Halo…,”

“Hai, belum tidur Gading?”

”Belum, kamu sendiri?”

“Ini baru nyampe apartemen,”

“Dah beres meetingnya?”

“Udah,”

“Hasilnya?”

Entah mengapa, tanpa Bima bicara pun Gading tahu kalau mega proyek perusahaan Bima dengan Rothmans-PM Intl. berhasil mencapai kesepakatan. Gading pun bisa membayangkan senyum lebar menghias wajah Bima.

“Selamat ya, Bim,” sambung Gading kemudian.

“Makasih ya Gading,”

“Sama-sama, Bim…,”

Ibu Mirna mengerutkan dahi, tak biasanya perbincangan anak gadisnya itu dan Bima terasa begitu kaku. Dia mengenal baik persahabatan Gading dengan anak sahabatnya itu, dan segera saja setiap bentuk kejanggalan akan terasa di hati keibuannya.

Sementara, jauh di seberang sana, Bima berusaha keras meredam debaran jantungnya yang tak menentu sambil memandangi pemandangan kota lewat kaca jendela apartemennya. Mengira-ngira, kerlip lampu yang mana yang merupakan kerlip lampu rumah Gading.

“Oh ya, Gading, besok lusa ada acara syukuran kecil-kecilan di apartemen aku. Kamu bisa datang kan?”

“Jum’at bukan? Jam berapa?”

“Yah, sekitar after office hour lah, bisa kan?”

“Iya, aku usahakan, lagipula, pasti bunda juga akan mengutus aku untuk mendampingi masakan beliau selamat sampai tujuan, kan?”

“Nah, itu dia maksudku,”

Bima tergelak pelan, dan entah mengapa, semacam desiran halus merambati benak Gading ketika mendengar nada maskulin itu menyentuh gendang telinganya. Tanpa sadar Gading menggelengkan kepalanya, berusaha menepis perasaan asing yang tanpa permisi menyelinap ke dalam hatinya. Melihat reaksi Gading, ibu Mirna semakin mengerutkan keningnya.

”Ya udah deh Gading, gitu aja dulu, sampaikan aja sama bunda, aku ok semua sama menu yang beliau rancang. Whatever itu, aku yakin kalau bunda kamu yang masak, pasti enak,”

”Huuuu nggombal! Biar dapet snack gratis tambahan kan?”

”Hahahahahaha, tahu aja kamu! Udah dulu yah, met istirahat, salam buat bunda. See ya, Gading, love you!”

”See you, Big Bro! Love you, too!”

Begitu sambungan telepon terputus, Gading tampak tercenung diam. Ini untuk kali kedua ia mulai merasakan kehilangan saat Bima memutuskan pembicaraan. Padahal selama ini perasaan dia biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa di hatinya untuk Bima. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sekelumit perasaan sepi menyergap tiba-tiba.

“Gading, kamu sedang tidak ada masalah dengan Bima, kan?”

Gading tersentak, ia baru menyadari kalau sekarang ia tengah memegang hand phone bundanya dan beliau tampak mengamati dengan seksama di balik kacamata bergagang kayu miliknya.

”Nggak bunda, Gading tidak ada masalah apa-apa dengan Bima, memangnya kenapa?”

”Ya, entahlah, bunda merasa seperti ada yang berbeda saja. Tapi, kalau memang tidak ada masalah ya syukurlah,”

Diam-diam Gading menghembuskan nafas lega. Cukup sudah keruwetan dengan celetukan Lembayung soal rencana perjodohan, jangan lagi ditambah dengan keruwetan perasaan sentimentilnya terhadap Bima.

”Oh ya, ada apa? Tumben malam-malam begini ke kamar bunda?”

Pertanyaan bundanya menegaskan kembali apa yang mengganggu pikiran Gading kali ini. Gading mengamati bundanya yang kini sibuk memindahkan catatan ke buku besar berisi order-order catering yang masuk.

”Bunda...,”

”Ya?”

”Apa benar, tujuan eyang bersama keluarga pakdhe Bernowo ke Jakarta buat menjodohkan Gading dengan mas Pramudya?”

Seketika gerakan tangan bunda Gading terhenti. Sesaat tampak beliau tengah berpikir sejenak, sebelum kemudian memutar arah duduknya menghadap Gading. Perlahan tangannya melepaskan kacamata dan meletakkan alat bantu baca itu di atas buku yang terbuka lebar. Semuanya dilakukan dengan begitu hati-hati dan perlahan, dan Gading mengerti makna gerakan bundanya itu. Ada hal yang sangat penting yang akan disampaikan beliau.

”Seandainya benar, apa pendapatmu?”

Gading terdiam, dia sebenarnya sudah menduga akan kebenaran perkiraan Lembayung tentang rencana perjodohan dirinya dengan Pramudya, namun ia belum benar-benar menyiapkan hatinya untuk menghadapi kebenaran itu sendiri. Selama ini tak pernah terlintas dalam pikirannya mengenai sebuah perjodohan.

’Dijodohkan? Dengan Pramudya?’

Hati kecil Gading bertanya-tanya bimbang, setengah percaya setengah tidak bahwa di jaman serba canggih seperti sekarang, dia harus mengalami sebuah perjodohan.

“Entahlah bunda, tidak pernah terlintas hal perjodohan dalam pikiran Gading selama ini…,”

Ibu Mirna menghela nafas, senyum keibuan pun mengembang di wajah tuanya yang masih menyisakan keayuan masa mudanya.

“Gading, terlepas dari rencana perjodohan ini terlaksana atau tidak, segala keputusan bunda serahkan di tanganmu, karena kamulah yang kaan menjalaninya,”

“Memangnya bunda setuju dengan rencana perjodohan yang disampaikan eyang?”

Kembali pandangan bijak ibu Mirna tertuju pada raut wajah Gading yang menuntut jawaban. Dan senyum lembut pun kembali tersungging di bibirnya.

“Bunda tidak menyetujui juga tidak menolaknya, Gading. Sekali lagi, semua bunda serahkan pada dirimu, karena dirimu yang akan menjalaninya. Jika perjodohan ini baik untuk dirimu, kenapa harus ditolak? Dan jika perjodohan ini nantinya tidak membawa hasil yang tidak baik bagi kedua belah pihak, kenapa pula harus dipaksakan? Apapun itu, butuh keberanian dari diri kita untuk menetapkan pilihan. Dan mengenai perjodohan ini, pilihan mutlak ada di tanganmu, bunda hanya bisa memberikan pandangan dan masukan,”

Gading termenung diam di pinggir tempat tidur, memandang garis-garis keramik pelapis lantai yang warnaya tampak tua dimakan usia. Benaknya menimbang-nimbang bimbang. Bukan jawaban seperti ini yang diharapkannya dari bundanya. Jawaban yang membuatnya tak mampu berkutik untuk menolak dengan tegas ataupun bereforia dengan pembelaan. Sebuah pilihan yang pelik.

”Kenapa bunda bersikap demikian?”

Ibu Mirna menghela nafas.

“Gading, anak bunda hanya dirimu dan Lembayung, dan kalian berdua juga telah dewasa. Khususnya dirimu, bunda sudah sangat percaya, kau mampu menentukan pilihan yang baik untuk kau jalani di masa depanmu nanti. Sebagai pandangan, keluarga pakdhe Bernowo adalah keluarga baik-baik, bisa dibilang masih keturunan ningrat. Namun, tidak menjamin juga Pramudya sebaik orangtuanya, hanya saja, silsilah keluarga juga bisa sebagai pertimbangan. Lagipula, untuk masalah perjodohan ini belum diputuskan. Masih ada banyak waktu buat dirimu untuk memikirkan dan mengenal lebih jauh sosok Pramudya sebelum melangkah ke arah yang lebih serius. Tidak ada salahnya kau mencoba mengenal Pramudya lebih jauh, toh kamu juga sudah kenal dengan dia bukan?”

“Maksud bunda?”

“Ya, tidak ada salahnya kau coba lebih akrab dengan Pramudya. Kata budhe Lastri, selama tiga bulan Pramudya akan berada di Jakarta karena ada training di kantor pusat. Nah, selama itu, tidak ada salahnya kan kalau kalian coba saling mengenal?”

”Lantas, kalau ternyata Gading tidak sreg dengan mas Pram?”

”Ya sudah, mau bagaimana lagi? Kalau hatimu sudah madhep mantep untuk tidak menerima lamaran Pramudya, yo wis, bunda tidak bisa memaksa. Karena, seperti yang bunda sampaikan tadi, kamulah yang akan menjalani kehidupan pernikahan bersama Pramudya, bukan bunda, bukan eyang, bukan budhe Lastri ataupun pakdhe Bernowo,”

”Terus, bagaimana dengan eyang uti, bunda?”

Gading menatap penuh harap pada bundanya yang kini memejamkan mata dan memijit pangkal hidungnya.

”Eyang? Yah... mau bagaimana lagi? Kalau hatimu sudah madhep mantep, apapun keputusanmu sepanjang itu membawa kebaikan, bunda akan dukung sepenuhnya. Lagipula, ora sepisan pindho toh bunda bertentangan dengan eyang uti?”

Gading tersenyum mendengar ucapan bundanya. Ia sangat tahu, walaupun bundanya adalah anak kandung eyang uti, namun tak jarang sering tak sepaham. Contoh nyata soal profesi Lembayung sebagai model profesional. Bundanya mendukung penuh walau dengan berbagai macam syarat yang harus dipenuhi Lembayung. Sementara eyang utinya, terang-terangan menolak bahkan sampai mendiamkan bunda dan adik semata wayangnya itu sebagai bentuk penolakan atas profesi Lembayung.

”Terima kasih, bunda,”

Gading memeluk bundanya dari belakang dan mencium pipinya, menyesap keharuman khas bedak racikan sendiri.

”Sama-sama Gading, setidaknya pertimbangkan dulu sebelum kau mengambil keputusan apapun itu. Ingatlah juga, sebagai wanita, kita sangat terbatas oleh usia. Bukan bunda memintamu untuk cepat-cepat menikah, namun lebih pada memikirkan kondisimu sebagai seorang wanita. Baik secara fisik maupun mental,”

”Iya bunda, Gading mengerti, terima kasih sudah mengingatkan Gading,”

”Ya sudah kalau begitu, sekarang kamu istirahat. Bukannya laporan tesismu masih harus di revisi lagi? Dan proyek design interior yang sedang kamu kerjakan, apa sudah selesai?”

“Revisi tesisnya sudah beres bunda, tinggal proyek design, kalau tidak ada halangan, besok siang Gading presentasikan. Mohon do’a ya bunda,”

Tanpa bicara ibu Mirna mengangguk dan tersenyum lembut pada Gading sambil mengelus kepalanya yang berambut hitam legam.

>  to be continued