Selasa, 24 April 2012

Cerita Cinta #4

Gading menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok taksi yang membawanya menuju bandara Soekarno-Hatta. Entah mengapa, rasa penat tiba-tiba menyergap tubuhnya, seakan diperas tenaganya habis-habisan.

Terbayang di benaknya berbagai peristiwa yang menghampiri kehidupannya beberapa waktu terakhir ini. Dari mulai desas desus rencana pertunangannya yang entah disetujuinya atau tidak. Bima yang bersikap impulsive dengan mencium bibirnya. Hingga kedatangan eyangnya beserta keluarga pakde Bernowo yang maju lebih awal dari rencana sebelumnya. Belum lagi urusan desain interior dari klien yang berkali-kali revisi. Rasanya seperti ada ribuan mobil kecil berseliweran di dalam otak Gading. Menciptakan jalur tak tentu arah dan kegaduhan luar biasa.

Gading menghela nafas panjang. Mata besarnya menerawang jauh, menembus kaca jendela taksi yang menyajikan pemandangan biasa kota Jakarta, macet dan polusi.

“Ke terminal berapa, bu?”

Suara ramah pengemudi taksi menyadarkan Gading dari lamunan kosongnya.

“Oh, ke Terminal 2F, pak,”

“Mau jemput atau berangkat, bu?”

Kembali suara bersahabat sang sopir taksi menghentikan otak Gading untuk mengembara lebih jauh. Gading menatap ke arah spion dan matanya bertemu dengan tatapan ramah dari sang sopir yang beridentitas Efendi itu.

“Jemput pak, eyang dari Jogja,”

“Wah, seneng pastinya ya bu, ada kerabat yang berkunjung,”

Gading kembali menatap sekilas ke arah spion, dan tersenyum, yang ia tahu, pasti sangat hambar terlihat.

”Begitulah,”

Sang pengemudi taksi tersenyum mahfum, berdasar pengalamannya selama 10 tahun sebagai sopir taksi, dengan sekilas membaca gesturenya, penumpangnya kali ini sedang tidak ingin diganggu.

Pikiran Gading kembali mengembara. Kali ini terpusat pada pembicaraannya dengan bundanya saat ia akan sarapan pagi.

”Gading,”

“Dalem, bunda?”

Gading menatap ke arah bundanya yang sudah tampak rapi dalam balutan gaun hijau terusan bermotif mawar. Di belakangnya tampak Lembayung melintas menuju ruang tengah, juga telah rapi dengan balutan celana jeans rancangan desainer dan plaid shirt warna marun.

“Bunda mau pergi sama Mbayung?”

“Nah, makanya bunda mau bicara sama kamu. Eyang dan pakde Bernowo mempercepat kedatangan mereka ke Jakarta,”

“Kapan eyang datang, bunda?”

“Hari ini, jam 2,”

Nyaris saja Gading tersedak teh tarik hangat yang tengah disesapnya.

“Hari ini?”

“Iya, dan semalam eyang sudah wanti-wanti, supaya kamu ikut ke bandara, karena Pramudya juga akan ikut menjemput,”

Gading tercekat, rupanya eyangnya benar-benar serius dengan rencana perjodohan ini. Segigit kue lupis bercampur gula jawa yang legit terasa hambar dan mengganjal di tenggorokan.

“Tapi, jam 10 nanti Gading ada presentasi dengan ibu Yuna,”

“Ya sudah, pokoknya iso ora iso kudu iso, eyang putri sudah wanti-wanti, sampai telepon berkali-kali ke bunda. Ya wis, bunda mau jalan sama Lembayung beli beberapa keperluan catering, nanti ketemuan di bandara saja, terminal 2F ya,”

Gading hanya mampu mengangguk dan menjawab lirih, mengiringi langkah kaki bundanya yang beranjak meninggalkannya. Sementara di belakang bundanya, tampak Lembayung tersenyum jahil ke arahnya dengan pandangan mata yang membuat Gading kesal bukan kepalang pada gadis tinggi semampai itu.

Suara derum mesin berkekuatan 193hp menelusup ke dalam taksi, menyentak lamunan Gading. Ia begitu familiar dengan suara tarikan motor besar itu. Hanya satu orang yang dikenalnya begitu khas dalam mengemudikan kendaraan.

’Bima!’

Segera saja kepalanya yang bermahkotakan rambut ikal mayang berputar, mencari arah suara. Benar saja, tepat di sebelah kiri, motor besar berplat nomor B1MA melintas, membelah kepadatan lalu lintas dengan lincahnya dan berhenti tepat di depan taksi Gading, sama-sama menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

Untuk sesaat Gading terpaku. Matanya menatap lurus ke arah punggung lebar yang tampak membungkuk di atas jok motor. Sosok Bima tampak begitu gagah dan maskulin, duduk di atas jok motor besarnya seakan kstaria Pandawa yang duduk di atas pelana kuda perangnya. Apalagi jika orang bisa melihat menembus kaca helm full face yang menutupi wajah tampannya. Tak pelak, semua akan menyetujui, bahwa Bima adalah sosok gagah dan luar biasa tampan.

Tak bisa dicegah, jantung Gading berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya berdebar tak menentu. Perlahan namun pasti, gambaran sosok Bima yang sangat dikenalnya tercetak jelas dalam layar benaknya. Posturnya. Cara berjalannya. Gaya bicaranya. Senyumnya yang terkesan sinis. Dan pandangan tajam matanya yang seakan mampu menyihir siapapun untuk tunduk di bawah tatapannya.

Refleks, Gading meraih smart phone miliknya, berniat menelpon sosok yang berhenti tak sampai sepuluh meter di depan taksi yang ditumpanginya. Ia tahu, kebiasaan Bima selalu mengenakan head set di balik helm full face yang melindungi kepalanya, sehingga dia selalu siap dihubungi oleh para relasi setiap saat.

Namun, seketika gerakan jari lentik Gading terhenti, matanya terpaku pada foto profile Bima yang terpampang pada layar smart phone, menatap lurus ke arahnya dengan mata elangnya. Tak pelak, kenangan akan malam itu membayang dalam ingatan Gading. Malam dimana Bima bersikap begitu berbeda kepadanya, dan mencium bibirnya demikian lembut dan intim. Perasaan Gading jadi tak menentu. Alih-alih merasa muak seperti reaksi awalnya, ia justru merindukan momen itu kembali. Dan ketika Gading masih asyik dalam ketermanguannya, lampu lalu lintas telah menyala hijau, membawa Bima memacu motor besarnya, tanpa menyadari bahwa seorang Gading berada begitu dekat dengan dirinya.


= # =
Langkah kakinya yang berbalut sepatu Dior for Homme mengkilat, mantap di antara ramainya orang di terminal kedatangan domestik. Wajah tampan berhias bibir dengan garis yang begitu angkuh tampak serius seolah tak peduli pada tatapan penasaran setiap orang yang berpapasan dengannya. Posturnya yang proporsional berbalut setelan kerja trendy serta potongan gaya khas pria metroseksual Jakarta yang mapan, mampu mencuri perhatian siapapun.

Ia tak peduli semua itu. Matanya yang tertutup kacamata hitam keluaran Police mencari-cari di antara sekian banyak orang yang keluar dari arrival lounge terminal 2F. Ia pun mempercepat langkah ketika mendapati yang dicarinya. Rombongan kecil yang tampak saling bertukar peluk dan cium, tanda pertemuan mereka.

”Eyang Hastuti, Bapak, Ibu, sugeng rawuh,”

Perhatian rombongan kecil itu segera terpecah oleh kehadirannya. Semua anggota rombongan kecil itu tersenyum sumringah menyambut kedatangaannya, tak terkecuali Lembayung. Namun alis gadis ayu itu sedikit mengerenyit ketika melihat sosok laki-laki dandy ini, ia merasa seperti pernah bertemu dengan lelaki ini di sebuah tempat. Hanya dia lupa dan akhirnya memilih untuk mengacuhkan ingatan samar-samarnya.

”Iki Pramudya toh? Biyuh-biyuh... Piye kabarmu cah bagus?”

Terdengar suara anggun eyang Hastuti menyapa sang pria, yang tak lain adalah Pramudya. Pria tampan itu tersenyum, melepas kacamata hitamnya dan tersenyum semakin lebar.

”Pangestu, eyang Hastuti. Eyang? Sehat?”

Pramudya meraih tangan eyang Hastuti dan menciumnya takdzim, layaknya eyangnya sendiri, membuat wanita sepuh itu tersenyum senang. Setelahnya ia mencium pipi ayah ibunya, yang tersenyum senang dan bangga melihat putra kesayangan mereka.

”Anakmu pancen bagus tenan Bernowo, Lastri. Biarpun sudah melanglang buana dan  jadi warga metropolitan, masih menjaga sopan santun Jawa,” di akhir kalimatnya, sang eyang putri melirik tajam ke arah Lembayung. Membuat gadis berpawakan semampai itu diam-diam mengeluh dalam hati, belum apa-apa eyang putrinya sudah mengkritiknya di depan umum.

”Bulik Mirna,“

Pramudya kemudian menyalami bunda Lembayung, mencium tangannya. Dan ketika pandangan beralih ke sebelah ibu Mirna.

”Ini...?”

”Ini Lembayung, anak bulik yang bungsu,”

Terdengar suara ibu Mirna menjawab tanya Pramudya. Lembayung pun tersenyum dan menjabat tangan Pramudya yang terulur ke arahnya, berusaha ramah di bawah tatapan angkuh penuh penilaian.

”Apa kabar, mas?”

”Baik, kamu sekarang beda banget ya? Sampai pangling aku,”

Lembayung hanya tersenyum menimpali pertanyaan Pramudya, entah mengapa ada sesuatu yang membuat Lembayung enggan berbasa-basi dengan laki-laki ini. Terlepas dari rumor dia akan dijodohkan dengan Gading kakaknya, Lembayung merasakan ada sesuatu yang janggal dari sosok Pramudya. Namun, Lembayung berusaha mengabaikannya, berkesimpulan itu semua hanyalah memang rasa tidak suka yang sudah dirasakannya terhadap Pramudya sejak ia masih kanak-kanak. Lembayung cepat-cepat melepaskan jabatan tangan Pramudya yang terasa lebih erat dari seharusnya. Sementara Pramudya menyunggingkan senyum samar, menyadari keengganan Lembayung.

”Oh ya, kalau tidak salah, masih ada putri bulik satu lagi kan? Dik Gading?”

”Gading? Tadi dia masih ada presentasi ke klien, katanya habis presentasi dia akan langsung meluncur ke mari,” terang ibu Mirna.

”Ora sabar ketemu Gading toh Pram?” kali ini ibu Lastri, ibunya sendiri bertanya dengan intonasi sedikit menggoda kepada Pramudya yang tersenyum salah tingkah menanggapi pertanyaan ibunya.

”Hahahahahaha, wis tho bu, lagi ketemu kok yo wis digojeki toh? Piye kabarmu le? Sehat?”

”Pangestu, pak,” Pramudya mengangguk dan tersenyum penuh rasa terima kasih pada ayahnya yang telah menyelamatkannya dari godaan ibunya.

Dan tak berapa lama pun mereka semua asyik dalam perbincangan seputar kehidupan Pramudya selama ini, sesekali menanyakan tentang Lembayung namun eyang Hastuti selalu berhasil membelokkan pembicaraan untuk terfokus kembali pada cerita kehidupan Pramudya. Diam-diam Lembayung mencibir setiap melihat tingkah polah Pramudya yang dirasakannya berlebihan, sedikit mendekati seorang penjilat yang berusaha menyenangkan orang lain untuk meraih apa yang diinginkannya. Makin mengentalkan perasaan tidak suka di masa kanak-kanaknya terhadap sosok Pramudya yang begitu membanggakan status priyayinya.

”Ah, itu Gading!”

Semua kepala yang asyik berbincang menoleh ke arah yang di lihat ibu Mirna. Tampak Gading tengah turun dari taksi dan berjalan menuju arah mereka dengan senyum tersungging. Pandangan mata Pramudya yang penuh penilaian menatap lekat ke arah Gading yang beranjak semakin dekat.

”Eyang, pakdhe, budhe,” silih berganti Gading menyalami dan mencium tangan masing-masing tamu yang sengaja mereka jemput. Khusus untuk eyangnya, tak lupa Gading mencium kedua belah pipinya.

”Kowe iki tekan ngendi toh, nduk ayu? Mosok sampe Pramudya mesti nunggu kowe? Eyang sudah khawatir kamu memang sengaja tidak datang jemput eyang,”

Teguran halus eyang putrinya mengingatkan Gading, bahwa selain pakdhe Bernowo dan budhe Lastri, ada seorang lagi yang harus ia temui, yaitu Raden Pramudya Adi Laksono.

”Ngapunten eyang, dalem tadi ada presentasi dengan klien yang tidak bisa ditinggalkan,”

”Yo wis, ora opo-opo cah ayu, kuwi lho, Pramudya,”

Gading pun berpaling ke arah pria yang sedari tadi memandangnya lekat. Mengamati dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala, seakan-akan Gading seperti barang antik yang perlu ditaksir seberapa besar nilainya untuk dilempar di pasar lelang. Bagi eyang Hastuti, tatapan Pramudya dianggapnya sebagai rasa ketertarikan yang besar terhadap Gading, sementara di mata Lembayung dan Gading, tatapan Pramudya lebih mengarah ke sikap melecehkan jika tidak bisa dikatakan sebagai sikap kurang ajar.

Demi sopan santun, Gading tersenyum dan mengulurkan tangan pada Pramudya.

”Mas Pram, apa kabar?”

”Dik Gading, berubah sekali ya? Aku pangling lho... Lebih-lebih melihat Lembayung,“

”Biasa saja mas, justru saya lihat mas Pram yang banyak berubah,“

Apa yang dikatakan Gading adalah benar adanya. Dulu, di mata Gading remaja Pram tampak bersahaja sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa dari kota Jogja walau ada bibit-bibit keangkuhan akibat status kepriyayiannya, namun justru hal itulah yang sempat membuat Gading merasakan kehangatan cinta remaja pada seorang Pramudya.

Kini semua begitu berbeda. Pramudya yang bersahaja sudah bertransformasi menjadi lelaki metroseksual khas ibukota dengan segala macam atributnya. Bahkan, keangkuhannya terasa makin kental dibalut sikap manis basa-basi khas Pramudya.

Gading menghela nafas perlahan. Dipandanginya sosok Pramudya yang begitu rapi dan trendy. Diam-diam ia mencoba menggali perasaan cinta lama yang dulu pernah tumbuh dalam hatinya untuk Pramudya, dan Gading meyakini perasaan cinta masa remaja nya itu sudah menguap. Berganti dengan perasaan cinta dewasa terhadap seseorang. Gading tersentak akan kesadaran yang tiba-tiba muncul dari pemikirannya sesaat. Benarkah ia mencintai seseorang? Bima kah orangnya?

”Bener lho dik Gading, sekarang tampak lebih dewasa dan apa ya... Georgoeus tepatnya,”

’Gading, you looks georgeous!’

Gading tertegun. Goergeous, kata-kata yang begitu akrab ditelinganya. Namun hanya satu orang yang sering mengatakan begitu padanya. Bima.

“Gading? Ono opo nduk?”

Gading tersentak, tanpa sadar ingatannya terbawa pada sesosok pria yang begitu dekat dengannya, yang begitu wajar mengucapkan betapa menawannya dirinya. Sungguh berbeda jauh dengan sosok yang kini tepat berada di hadapannya.

“Dik Gading? Ada masalah?”

“Oh, tidak mas Pram, tidak apa-apa… Ma’af, tadi saya teringat pekerjaan,”

“Oh kirain ada apa,” kembali senyum ala iklan pasta gigi mengembang di wajah aristokrat Pramudya.

“Nah, ini sekarang enaknya bagaimana? Kalian jadi mampir ke tempat Mirna toh?”

Terdengar suara eyang Hastuti memecah perhatian, membuat Lembayung dan Gading refleks saling berpandangan penuh isyarat.

”Iya lho mbakyu Lastri, monggo pinarak ke gubuk saya,” bu Mirna pun menimpali, membuat Lembayung dan Gading kembali saling berpandangan. Gading dengan sorot mata keberatan, Lembayung dengan sorot mata menggoda pada kakaknya.

’Rasain lo mbak’

Gading mendelik tak kentara pada Lembayung yang tersenyum jahil.

”Jeng Mirna ini bisa saja lho budhe Hastuti, sudah sukses jadi juragan catering kok ya masih bilang punyanya gubuk toh. Ya sudah tentu kami pasti mau mampir, apalagi sebentar lagi kita jadi keluarga kan,”

Gading tersedak nafasnya sendiri mendengar ucapan budhe Lastri. Meski dia sudah menduga-duga , namun tak urung hatinya kaget juga. Tanpa sadar Gading melirik ke arah Pramudya, entah karena pengaruh cuaca yang begitu terik atau apa, tampak sedikit merona pipinya mendengar apa yang dikatakan ibunya.

Sementara itu, eyang Hastuti hanya tersenyum simpul melihat reaksi Gading dan Pramudya. Di mata tuanya, belaiu beranggapan, reaksi Gading dan Pramudya tak ubahnya seperti sepasang kekasih yang malu-malu akan perjodohannya.

”Ya sudah, kalau begitu, awakmu sama Bernowo ikut aku di mobil Mirna dan Lembayung, biar barang-barang kalian masuk mobil Pramudya. Oh ya Gading, kamu temani Pram yo, sebagai penunjuk jalan. Titip Gading ya Pram,”

”Sendiko, eyang,”

Belum sempat Gading menjawab melontarkan keberatannya atas pengaturan akomodasi yang dilakukan eyangnya, semua orang sudah sibuk sendiri-sendiri dengan barang bawaan mereka. Bahkan ketika ia melihat ke arah Lembayung untuk meminta pertolongan, adik kesayangannya itu bersikap pura-pura tidak tahu. Sungguh situasai yang sangat menyebalkan bagi Gading.

Tanpa sadar ia menghembuskan nafas, belum ada satu jam eyang putrinya tiba di Jakarta, tapi sudah mampu mengendalikan semua orang.

”Dik Gading, aku ambil mobil dulu ya,”

”Oh, iya mas, silahkan,” terbata-bata Gading menjawab Pramudya yang beranjak pamit ke arah area parkir untuk mengambil mobil.

”Good luck ya, mbak!”

Sebuah tepukan di bahunya, diiringi aroma parfum khas Lembayung membuat Gading refleks mencibir pada wajah bermake-up simple itu.

”Awas kamu ya!” desisnya. Dan Lembayung pun tertawa renyah menanggapi ancaman geram Gading, sambil menghindari cubitan kakaknya.

”Kabarmu piye, cah ayu?”

Suara lembut eyang putrinya menyadarkan Gading dari rasa kesal yang tengah melandanya akibat kelakuan Lembayung.

”Oh eyang. Baik eyang. Eyang bagaimana? Pasti capek terbang dari Jogja ke Jakarta,”

”Ya begini ini lah eyangmu ini, maklum sudah tua. Ngomong-ngomong, piye Pramudya? Tambah gagah dan bagus toh?”

Gading memandang lurus ke arah eyangnya yang menatap ke arahnya penuh harap akan jawaban yang memuaskan. Ia tahu, eyangnya berharap ia terkesan pada Pramudya. Jika saja ia bertemu  dengan Pramudya 10 tahun yang lalu, ia pasti akan menjawab spontan bahwa Pramudya adalah pria paling top di antara pria yang pernah ditemuinya. Mungkin perjodohan yang direncanakan eyangnya juga didasarkan pada perasaan cinta monyet mereka berdua di waktu yang silam.

Namun, kini semuanya sudah jauh berbeda. Perasaan kagumnya pada Pramudya menguap seiring berjalannya waktu. Ditambah lagi perubahan pada diri Pramudya yang dirasa Gading tidak akan disukainya. Bukan hanya Pramudya yang jauh berubah di mata Gading, tapi Gading sendiri merasakan, dirinya juga sangat jauh berubah. Perubahan yang sangat mendasar, tidak dipungkiri olehnya, hatinya telah tercuri. Dan bukan Pramudya pencurinya.

”Nduk?”

Sentuhan lembut tangan halus eyangnya, menyadarkan Gading.

”Yah, mas Pram baik eyang, ganteng dan sepertinya juga sudah mapan,”

”Terus? Bukannya dulu kalian sempat deket  kan?”

”Itu kan dulu eyang, jaman-jaman masih ingusan. Memangnya kenapa eyang?”

Eyangnya hanya tersenyum singkat menanggapi pertanyaan Gading, dan seakan waktu tak berpihak kepadanya, Kijang Innova milik Lembayung telah sampai, siap dinaiki rombongan dari Jogja. Sementara di belakangnya, BMW hitam metalik keluaran terbaru meluncur mulus dan berhenti tepat di belakang mobil Lembayung.

Melihat siapa yang berada di balik kemudi mobil mewah itu, diam-diam Gading meringis. Ia sudah menduga, seorang Pramudya tidak akan pernah tanggung-tanggung menunjukkan siapa dirinya. Dulu saja, Pram selalu tampil rapi dan terlihat eksklusif, apalagi sekarang, saat sepertinya dunia sudah berada dalam genggamannya. Sungguh jauh berbeda dengan Bima. Lagi-lagi Gading meringis kecil. Tanpa berniat membandingkan keduanya, namun tak bisa dicegah, alam bawah sadarnya langsung membandingkan keduanya.

”Gading, kamu sama Pramudya ya, budhe sama pakdhe nderekke eyangmu,”

”Iya Gading, biar enak kamu ngobrolnya sama Pramudya, kan sudah lama tidak ketemu,”

Gading hanya mengangguk pasrah menyaksikan seluruh rombongan masuk ke dalam mobil silver stone itu.

”Mari, dik Gading,”

Sejenak Gading terpaku melihat sikap gentleman Pramudya. Lagi-lagi, mengingatkannya pada Bima, namun pada situasi dan kondisi yang jauh berbeda.

Perlahan Gading pun masuk ke dalam mobil berinterior lux itu dan duduk di jok dengan lapisan kulit lembut.

Dentuman lembut tanpa pintu tertutup menyadarkan Gading, Pramudya telah duduk di kursi pengemudi dan dengan sigap mulai mengemudikan sedan mewah itu. Alunan musik khas clubbing terdengar mengalun, entah aransemen DJ siapa, hanya saja Gading merasa agak terganggu dengan genre musik yang didengarnya saat ini.

”Sudah lama sekali ya dik Gading, kita tidak bertemu,”

Suara Pramudya memecahkan balon lamunan Gading, membuatnya tersadar, bahwa saat ini ia tengah bersama seorang Pramudya, sosok pria yang sudah 10 tahun ini tidak dijumpainya.

”Iya mas,”

”Berapa lama ya? 10 atau...?”

”Tak lebih dari 10 tahun, mas,”

”Wah, sudah lama juga ya,”

Gading tersenyum tipis menanggapi Pramudya. Entah mengapa, perasaan enggan semakin menggedor-gedor hatinya. Tidak nyaman dan seperti ada yang salah dengan semua ini.

= # =

Bima memacu motor besarnya melintasi jalanan padat. Beruntung hari ini dia memutuskan untuk mengendarai motor kesayangannya ini, sehingga dia bisa lebih cepat mencapai berbagai tempat yang menjadi tujuannya.

Lalu lintas yang begitu padat, memaksa Bima memperlambat laju tekanan gas di tangan kanannya. Perlahan namun pasti ia meluncur membelah jalan bersama para pengendara motor yang lain. Dan akhirnya, baik para pengendara motor pun harus berhenti karena begitu banyaknya kendaraan yang ingin melintas. Ditambah lagi dengan adanya sebuah metromini yang memutar balik, membuat lalu lintas terhenti.

Bima menarik nafas panjang, berusaha menyabarkan hati dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang selalu mampu membuat tekanan darah naik. Bima menggerakkan tubuhnya, meregangkan otot-otot punggungnya, sedikit mengedarkan pandangannya ke kepadatan lalu lintas di sekitarnya. Dan matanya menangkap sosok itu. Walaupun tersamarkan oleh kaca film 70, mata tajam Bima mampu mengenali sosok itu hanya dalam sekali lihat. Sosok yang selama beberapa hari terakhir ini menghiasi pikirannya.

’Gading!’

Bima mengamati Gading yang tampak tengah tertawa bersama lawan bicaranya. Setengah mati Bima berusaha melihat siapa yang duduk di balik kemudi BMW seri 335i itu, namun sayang, jarak mereka yang terbatas dua mobil lainnya, membuat Bima kesulitan melihat. Yang bisa Bima lihat, Gading bersama dengan seorang pria dan pria itu bukan dirinya.

Rasa nyeri berdenyut di dada Bima, membayangkan berbagai kemungkinan tentang siapa pria yang kini duduk dan tertawa-tawa bersama Gading dalam sedan mewah hitam metalik itu.

Hati Bima resah.

Mungkinkah pria itu yang menjadi alasan Gading murka akan perlakuannya malam itu? Apakah sekarang Gading sudah mempunyai kekasih dan dia dengan bodohnya tidak mengetahuinya?

Suara klakson yang begitu keras menyadarkan Bima. Rupanya kepadatan lalu lintas mulai terurai dan bertepatan dengan persimpangan jalan, BMW hitam metalik itu berbelok ke arah yang berlawanan arah dengan Bima. Tak memberi kesempatan sedikit pun bagi Bima untuk melihat dengan jelas, siapa pria yang tengah bersama Gading.

--> to be continued

Senin, 02 Januari 2012

Wings of Guardians #2

The Guardians, Perkumpulan rahasia yang telah terbentuk sejak turun temurun dari ribuan tahun yang lalu. Beranggotakan manusia-manusia dengan berbagai macam kemampuan istimewa. Dari semula tujuan mereka hanya satu. Melindungi orang-orang pilihan Sang Pencipta, yang tidak menyadari kemampuan besar mereka dalam menentukan nasib dunia. Agar mereka tidak jatuh ke tangan pihak yang jahat, Sang Pembantai, yang tak segan-segan melakukan hal-hal keji yang di luar batas bayangan manusia.

= # =

Matanya berputar liar penuh antisipasi. Dadanya berdegup kencang menandai detak jantungnya yang tak beraturan oleh adrenalin. Ia berusaha sedapat mungkin menyembunyikan dirinya di balik kegelapan bayang-bayang karang terjal. Berharap setengah putus asa para pemburunya tidak menemukannya.

’Tuhan! Tolong aku!’

Hati kecilnya menjerit memohon pertolongan pada siapapun, pada apapun.

Sementara, anak laki-laki kecil yang berada dalam pelukannya tak kalah mengigilnya dengan dirinya.

“Kakak….,”

“Sstt… Diam yah! Kamu diam saja, kalau tidak mereka nanti akan menemukan kita,”

Wajah polos tanpa dosa itu menatap penuh ketakutan ke arahnya. Sementara dia sendiri tersenyum di atas bibirnya yang bergetar hebat. Berusaha menyembunyikannya ketakutannya sendiri atas siapa atau apa yang kini memburu mereka.

Rasa takut semakin merajai hatinya, ketika salah satu pemburunya perlahan namun pasti mulai mendekati tempat persembunyiannya. Kilauan mata tombak yang tajam semakin menciutkan nyalinya. Ambrosia kembali mengintip dari balik kegelapan bayangan. Beruntung, salah satu pemburunya yang tadi mulai mendekati persembunyian mereka, berbalik arah.

Ambrosia menghela nafas, hatinya sedikit merasa lega. Ia tetap diam meringkuk di sudut gelap bersama Kene, anak asuhnya dalam dekapannya.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, ini hari pertamanya menjadi pengasuh bagi Kene, seorang anak laki-laki kecil berusia 4.5 tahun. Ketika pertama kali bertemu Kene, Ambrosia merasakan kedekatan istimewa dengan bocah tampan itu. Kene begitu cerdas dan pandangan tajamnya menyiratkan bahwa dia anak yang istimewa. Dan saat Ambrosia berbincang dengan Kene, ia merasa seakan ada cahaya terang yang melingkupi mereka berdua. Itulah awal cerita hingga Ambrosia bersedia menjadi pengasuh sementara bagi Kene. Selain ia membutuhkan sesuatu untuk dilakukannya di waktu senggang, orangtua Kene juga begitu baik dan mempercayainya.

Hingga tiba hari ini. Hari pertamanya sebagai pengasuh Kene.

Awalnya semua biasa saja, mereka bermain dan belajar, sebagaimana pengasuh dan anak asuh, namun segalanya berubah ketika Kene meminta untuk ditemani di tepi pantai. Padahal hari sudah menjelang senja dan Ambrosia berencana untuk pulang ke rumah, namun Kene memaksa.

Dan akhirnya terdamparlah mereka di sini. Di sela-sela terjalnya batu karang dan riuhnya debur ombak, berusaha menyembunyikan diri dari entah siapa yang mengejar-ngejar mereka. Beruntung, pantai yang di dekat kediaman Kene merupakan pantai dengan begitu banyak batu karang disertai gua dan ceruk-ceruk kecil di sepanjang garis pantai, sangat tepat sebagai lokasi bersembunyi.

Tiba-tiba, Ambrosia merasakan seseorang merebut Kene dari dekapannya dan mengehentak tangannya kuat, menariknya masuk lebih dalam ke dalam ceruk. Ia berteriak keras, namun sentakan lembut di pangkal lehernya membuatnya kehilangan suaranya. Sekeras apapun ia berusaha mengeluarkan suara dari tenggorokannya, namun suaranya hanya bergaung di kepalanya. Tak keluar lantang seperti biasanya.

Ambrosia menatap nanar kepada sosok yang kini berjalan mengendap-endap sembari terus menggenggam erat pergelangan tangannya. Anehnya, Kene tampak tenang dan nyaman berada dalam dekapan sosok itu. Ambrosia penasaran setengah mati, sebenarnya siapa sosok yang tengah membawa mereka berdua ini.

Entah berapa lama mereka berjalan mengendap-endap di balik bayangan, sampai akhirnya ternyata kini mereka telah sampai di pagar belakang kediaman rumah Kene. Rupanya, sosok yang membawa mereka begitu paham dengan kondisi pantai bahkan tahu dimana tempat Kene tinggal. Ambrosia masih sangat penasaran dengan sosok tinggi berbaju gelap itu.

Sepanjang perjalanan yang mereka lalui hanya melewati tempat gelap di balik lindungan bayangan, sehingga Ambrosia tidak sempat melihat wajah sosok itu. Yang ia tahu, sosok itu tinggi proporsional dan tentunya orang yang sangat fit. Karena meski berjalan mengendap-endap dengan menggendong Kene dan tetap menggenggam tangannya, tak terdengar deru nafas kelelahan darinya. Padahal jarak yang mereka tempuh dari bibir pantai hingga menuju pagar belakang rumah kediaman Kene, bukanlah jarak yang dekat. Belum lagi harus melewati terjalnya batu karang, demi menempuh jalan tanpa terlihat oleh siapapun.

”Nah, Kene, kau sudah sampai rumah, jangan keluar lagi ya setelah ini,”

Ambrosia terperanjat mendengar suara dalam penuh kharisma dari sosok itu menyebut nama Kene dengan begitu akrab. Dalam bayangan Ambrosia, dengan suara yang begitu khas lelaki tentu sosok itu memiliki tatapan tajam dan wajah yang amat sangat tampan.

”Terima kasih, paman,”

Kene pun tampak begitu terpesona dengan sosok yang masih membelakangi Ambrosia. Ambrosia ingin bertanya, tapi kemudian ia ingat, suaranya hilang. Entah apa yang sudah dilakukan sosok tinggi di hadapannya itu terhadap lehernya.

“Nah kau...”

Keduanya sama-sama terpaku saat sosok tinggi itu mebalikkan badan menghadap ke arah Ambrosia. Baik Ambrosia maupun pria itu begitu terpana melihat kehadiran satu sama lain.

’Ya ampun! Tampan sekali!’

Mulut Ambrosia ternganga melihat wajah sosok itu, sungguh jauh lebih tampan dari yang dibayangkan Ambrosia saat ia mendengar suaranya. Matanya dengan sorot dalam dan tajam menatap Ambrosia, berbingkai alis mata lebat. Hidung yang tinggi dan lurus, begitu pas dengan garis bibir tegas dan maskulin. Tulang pipinya menyiratkan ketampanan khas seorang lelaki. Sementara tubuhnya begitu atletis dengan torso yang tercetak jelas dalam balutan kaus turtle neck berwarna hitam. Tingginya yang menjulang begitu proporsional dan gagah membuat siapapun akan merasa aman jika berada di dekatnya.

”Andriana...?”

Ambrosia mengerutkan alisnya, mendengar pria itu menyebutnya Andriana. Sekali lagi ia ingin bertanya, namun lagi-lagi, suaranya belum juga keluar.

”Ah, ma’af,”

Sosok maskulin itu pun kembali menyentak lembut pangkal lehernya, segera saja perasaan hangat melingkupi tenggorokan Ambrosia, seakan ada cairan naik perlahan membasahai kerongkongannya. Ambrosia berdehem dan ternyata suaranya telah kembali.

”Anda siapa? Kenapa Anda membantu kami? Apakah Anda tahu siapa yang memburu kami tadi?”

’Bahkan suaranya pun mirip dengan Andriana,’ batin Aiden mendesah resah.

”Paman ini namanya Aiden, kak. Dia adalah pelindungku setelah kakak Andriana tidak ada,”

Ambrosia tidak mengerti dengan apa yang disampaikan Kene padanya.

”Jadi, kau sudah kenal dengan... orang ini?”

Kene mengangguk tegas mengiyakan pertanyaan Ambrosia.

”Iya, dulu di setiap malam purnama, kakak Andriana selalu datang dalam mimpi ku untuk menjaga aku, tapi sejak beberapa waktu lalu, paman Aiden yang menggantikannya,”

Ambrosia semakin bingung dan wajahnya mejadi aneh karena rasa bingungnya itu.

’Andriana, mungkinkah dia saudara kembarmu seperti yang pernah disampaikan Ondien kepadaku?’ kembali batin Aiden mendesah. Kerinduannya akan kehadiran Andriana tiba-tiba terasa begitu kuat mengigit nuraninya ketika ia melihat sosok Ambrosia berdiri di hadapannya.

”Kene, sudah, nanti kakak...”

”Ambrosia, namanya Ambrosia, paman Aiden,” sergah Kene menjawab kalimat Aiden yang menggantung ragu.

”Ya, kakak Ambrosia jadi bingung. Biar lain waktu paman Aiden yang jelaskan pada kakak Ambrosia ya?” Aiden tersenyum pada bocah laki-laki yang kini mengangguk kuat-kuat.

”Nah, Ambrosia, perkenalkan, aku Aiden. Nanti kita akan lebih sering bertemu lagi satu sama lain. Sekarang, ajaklah Kene masuk, pada bulan mati seperti ini di luar terlalu berbahaya bagi Kene dan dirimu,”

Seakan ada tangan magis yang menghela punggungnya, Ambrosia hanya mampu mengangguk dan kemudian membuka pagar kayu setinggi 150 cm bercat putih itu. Seiring langkahnya bersama Kene memasuki pagar yang terbuka, kelebat angin terasa menerpa punggungnya.

Ambrosia membalikkan badan. Ternyata Aiden telah pergi, meninggalkan sejuta tanya di hati Ambrosia.


= # =

Aiden menatap sosok Ambrosia dan Kene menghilang di balik pagar putih. Hatinya masih berdegup kencang mengingat perjumpaan dengan Ambrosia. Ia masih setengah percaya setengah tidak bahwa itu adalah Ambrosia bukan mendiang Andriana.

Pekik elang dan geraman macan kumbang menyadarkan Aiden bahwa ia tidak sendiri.

”Iya Storm, Thor, ia bukan Andriana, tapi mirip sekali ya? Aku sampai berpikir, itu tadi Andriana yang bangkit dari abu kematiannya,”

Kembali Storm berpekik dan Thor menggeram, seakan mengiyakan ucapan Aiden.

Mereka bertiga masih bertengger di dahan pohon, lekat menatap ke arah pagar putih yang melingkari kediaman Kene. Bersikap waspada dan berjaga-jaga terhadap munculnya kejutan-kejutan yang tidak diinginkan. Dan mereka masih di sana untuk beberapa lama, diam mengamati hingga lampu-lampu utama kediaman Kene di matikan, menyisakan pendar lembut lampu taman yang masih menyala.

”Ayo Thor, Storm, malam ini cukup sudah tugas kita,”

Aiden menggamit tengkuk Thor dan membelai lembut sayap Storm, mengajak kedua hewan itu berlalu dari tempat penjagaan mereka. Sejenak Aiden berpaling, memandang jauh, berusaha menembus kegelapan malam dengan mata hitam batubaranya, berharap bisa melihat sosok Ambrosia, untuk sedikit mengenang Andriana.

= # =

Ia terus berlari, makin kencang untuk memperlebar jarak antara dirinya dan sekelompok orang tak dikenal berjubah hitam yang mengejar dirinya. Hatinya berdegup kencang penuh rasa ketakutan. Peluh membanjiri punggung dan dahinya. Nafasnya tersengal-sengal. Tenaganya sudah hampir habis dan rasanya ia tak sanggup berlari lagi. Hatinya setengah putus asa mencari celah untuk bersembunyi demi menghirup sejenak nafas.

”Tidak!”

Sebuah tangan menangkap dirinya hingga membuatnya terjerembab. Ia telah tertangkap. Seperti seekor kelinci yang terperangkap dalam kungkungan segerombolan serigala pemburu yang kepalaran.

Ia merasakan sebuah tangan kasar membekap mulutnya yang berteriak memberontak. Sementara tangan yang lain menelikung tangannya ke belakang punggungnya, menimbulkan rasa nyeri akibat sendi yang terpuntir paksa. Kakinya yang menendang-nendang kalut pun menjadi tak berdaya karena di tindih tubuh berat dan bau. Tak lama sebuah ikatan menyakitkan terasa membelenggu pergelangan kakinya, membuatnya meringis kesakitan.

”Bawa dia!”

Suara kasar, mirip geraman terdengar dari sosok berjubah hitam. Dia mencoba berontak, namun ia sungguh tak berdaya. Matanya nanar mencari-cari obyek penglihatan dan hatinya tercekat mendapati mata hitam kelam dengan bagian yang seharusnya putih tampak merah sepekat darah segar, dan mata itu menatapnya tajam. Seakan hendak memotong dirinya dengan tajamnya sorot mata yang dilontarkannya. Merasai ketakutan yang dipancarkan dari sorot matanya, makhluk itu pun meyeringai lebar, menampakkan gigi-gigi tajam hitam dan bau yang sangat menyengat. Ia pun menjerit dalam diamnya.

Ia tersentak.

Lagi-lagi mimpi itu menghantui tidurnya. Semenjak kejadian yang melibatkannya bersama Kene di lepas pantai, seringkali mimpi buruk itu hadir di setiap tidurnya. Hatinya masih berdegup kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata. Seakan-akan merupakan bagian kejadian di kehidupan yang ingin dilupakannya. Ambrosia terduduk dari tidurnya. Menutup wajahnya dan berusaha mengusir bayangan buruk akan mimpi yang baru dialaminya.

--> to be continued

Senin, 12 Desember 2011

The Adventure of Sayuri Hayami #16

http://www.forestscene.com/Flowers/tree-pink-dogwood-flowers.JPG



Diam-diam Kazumi membelai lembut kepala gadis cilik yang kini sudah tertidur pulas. Setelah menghabiskan semangkuk sup miso hangat dan meminum ramuan dari Kiyomizu-ishi, dengan sedikit paksaan, akhirnya Sayuri kini terlelap. Perlahan Kazumi mengecup lembut kening Sayuri dengan perasaan saying yang demikian dalam.

Dengan senyum tersungging, Kazumi mengamati wajah Sayuri dan tiba-tiba hatinya berdesir. Gadis cilik periang ini benar-benar prototype ayahnya, Masumi Hayami.

Hidungnya yang bangir membentuk lurus khas garis aristokrat. Bibirnya yang mungil, yang jika tersenyum serupa sekali dengan garis bibir ayahnya kala tersenyum. Kelopak matanya yang tertutup menampakkan bulu mata tebal dan lentik, serupa dengan milik ayahnya hanya saja milik Sayuri berwarna hitam legam.

Mata Kazumi terpaku pada luka lebam dan gores di dahi kanan Sayuri. Ia membelainya, dengan sangat perlahan, khawatir akibat sentuhannya akan membuat Sayuri terbangun oleh rasa sakit.

Tiba-tiba, seperti sebuah film lama yang diputar di kepalanya. Kazumi melihat sosok Sayuri berubah menjadi sosok ayahnya.

Wajah mungil cantiknya berubah menjadi wajah tampan Masumi Hayami. Sosok Sayuri yang terbaring di atas futon berubah total menjadi sosok Masumi Hayami yang terbaring tak berdaya di sofa dengan badan babak belur disertai luka berdarah di dahi kanannya. Dan ia melihat dirinya sendiri tengah mencium sosok Masumi Hayami, bukan di pipi tapi di bibirnya.

Tubuh Kazumi bergetar hebat. Kenangan itu begitu kuat menyerangnya. Ia sungguh-sungguh tak mengerti dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.

= # =

“Buat apa kau menyesali peristiwa yang telah lewat, Masumi? Tak akan pernah ada gunanya kau sesali, karena dengan menyesal tidak akan merubah apapun yang telah terjadi di masa lalu,”

Masumi terpekur mendengar penuturan Takahiro. Apa yang dikatakan pria muda itu memang benar adanya, tak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi. Tapi hati kecilnya tak bisa mungkir, ia merasa bertanggung jawab atas segala yang dialami Sayuri dari sejak ia dilahirkan hingga saat ini.

“Mungkin memang benar, tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi…”

“Tapi?”

Masumi menatap Takahiro. Takahiro tersenyum.

“Aku merasa ada kata tapi yang masih menggantung walaupun tidak kau ucapkan, Masumi,”

Masumi mengalihkan pandangan matanya menembus kegelapan malam. Pikirannya mengembara jauh ke masa silam.

”KYAAA!!!”

”Kazumi?!?”

Secara bersamaan, Takahiro dan Masumi bergegas masuk ke dalam paviliun dan begitu sampai di dalam kamar Sayuri, mereka terperangah. Mereka mendapati Kazumi tengah memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di antaranya. Badannya bergetar hebat dan isak tangisnya terdengar samar-samar. Sementara Sayuri masih terlelap. Masumi bernafas lega, setidaknya sikap histeris Kazumi tidak berhubungan dengan keadaan Sayuri.

”Kazumi, ada apa?”

Takahiro mendekati Kazumi dan bersimpuh di hadapannya. Tangan besarnya membelai lembut pundak Kazumi. Sementara Kazumi masih menyembunyikan wajah di antara lututnya, sedu sedannya semakin dalam.

Masumi tertegun.

”Kazumi... Ada apa?”

Kembali Takahiro bertanya pada Kazumi, namun kali ini ia mendekap Kazumi dengan lembut. Tangannya memeluk dengan sikap penuh perlindungan. Bibirnya begitu dekat dengan kepala Kazumi, membisikkan kata-kata menenangkan. Hati Masumi semakin kecut melihat pemandangan itu. Ia berharap, dialah yang kini memeluk Kazumi, memberikan rasa aman dan membisikkan kata-kata buaian di telinga Kazumi.

Masumi tersentak.

Pandangan matanya bertemu dengan mata basah Kazumi yang kini telah mengangkat wajahnya. Terlihat kekosongan dan kesepian yang begitu dalam di sana.

”Tuan Hayami... Apakah memang kita terikat tali nasib di masa lalu?”

Masumi semakin terguncang.

’Apakah kau sudah ingat semuanya, Maya?’

”Apa maksud Anda, nona Okada?”

”Kazumi.... Ada apa?”

Kazumi menggelengkan kepalanya berkali-kali. Seakan berusaha mengenyahkan segala kebingungan yang kini berputar-putar di kepalanya. Kedua tangannya memegang kepalanya. Matanya terpejam erat dan ekspresinya menyiratkan kepiluan yang begitu dalam.

’Apakah mengingat masa lalu demikian menyakitkan bagimu?’

Masumi menatap lekat Kazumi yang masih terisak dalam pelukan Takahiro. Akhirnya Kazumi memandang ke arah Takahiro, pandangannya begitu memelas penuh permintaan tolong.

”Bawa aku ke rumah, Takahiro, tolong...”

Takahiro mengangguk, apapun yang kini berkecamuk di hatinya, berusaha keras ditahannya. Perlahan ia membantu Kazumi berdiri.

”Nona Okada...?”

Masumi hendak menyentuh lengan Kazumi, namun Takahiro menahan tangannya.

”Masumi, apapun yang kau ketahui tentang Kazumi di masa lalu, kumohon, untuk saat ini simpanlah untuk dirimu sendiri dahulu,”

Awalnya Masumi ingin menolak namun pandangan matanya bertemu dengan pandangan Takhiro yang begitu tenang tapi menyiratkan permintaan yang harus diluluskan. Masumi terdiam sejenak dan akhirnya ia pun mengangguk..

Dengan perasaan getir, Masumi mengantarkan Takahiro yang memapah Kazumi keluar dari paviliunnya. Hingga kedua pasangan itu masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, Masumi masih termangu menatap ke arah mereka berdua.

”Hijiri, apakah yang kita perlukan sudah lengkap semua?”

”Sudah pak, semua sudah siap,”

Hijiri muncul dari kegelapan, dan kemudian menemani atasannya itu, duduk di teras menikmati suasana malam yang terasa ganjil.

= # =

”Kazumi, ada apa? Ada apa dengan Kazumi, Takahiro?”

Baik Kazumi maupun Takahiro hanya terdiam tak menjawab. Sementara kedua orangtua Kazumi bingung melihat keadaan putrinya. Kazumi memang sudah lebih tenang, isak tangisnya telah terhenti namun wajahnya masih menampakkan perasaan terguncang hebat.

“Takahiro, ada apa ini?”

Takahiro menatap calon ayah mertuanya, namun kemudian kembali menunduk. Ia sendiri tak berani memastikan apa yang telah dialami Kazumi saat berada di paviliun yang ditinggali keluaraga Hayami. Namun mengingat perbincangannya dengan Kiyomizu-ishi sore sebelumnya, membuatnya menarik kesimpulan yang tak ingin diyakini oleh hatinya sendiri.

“Ma’af ayah, saya sendiri juga tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Kazumi,”

“Kazumi? Ada apa?”

Kazumi terdiam di atas zabuton, tangannya tergenggam gelisah di atas pangkuannya. Wajahnya tampak semakin pias.

“Takahiro, bisakah kita meminta Kiyomizu-ishi, untuk menentukan hari baik tercepat di bulan ini untuk pernikahan kita?”

Ketiga pasang mata di dalam ruangan itu terbelalak menatap tak mengerti ke arah Kazumi yang masih tertunduk diam.

“Kazumi, apa maksudmu? Apakah kau ingin mempercepat pernikahanmu dengan Takahiro?”

Kazumi mengangkat wajahnya, tampak tekad bulat terpancar dari matanya yang berkaca-kaca. Semenatar ayah dan ibu angkat saling bertukar pandang tak mengerti.

“Kazumi....”

Takahiro termangu, entah mengapa ia merasa, tekad Kazumi tidaklah sebulat yang terlihat.

= # =

“Aku pulang dulu, Kazumi,”

Takahiro menatap tanpa makna pada Kazumi yang berdiri di ambang pintu. Parasnya begitu sendu, seakan kabut kesedihan menutupi wajah manisnya.

“Kau tidak apa-apa?”

Tanpa sadar, Kazumi sedikit menarik diri ketika tangan Takahiro terulur hendak membelai pipinya. Sejenak Takahiro termenung, hatinya tercekat sesaat, namun segera ia tersenyum. Perlahan namun pasti, jiwanya yang begitu pemurah memahami apa yang tengah dialami Kazumi. Ia pun menghela nafas.

“Baiklah jika kau baik-baik saja. Aku pulang dulu ya,” untuk kesekian kalinya Takahiro kembali pamit pada Kazumi dengan menyisakan perasaan khawatir dalam hatinya.

Tiba-tiba Takahiro menyadari sesuatu, pandangan Kazumi terpaku. Menatap jauh ke balik punggungnya. Ia pun memutar kepalanya dan terlihatlah sudah. Jauh disana, di kegelapan teras paviliun tampak siluet seseorang duduk terdiam dengan sinar kecil menyala, menatap jauh ke arah gelapnya malam. Takahiro sangat tahu siapa sosok itu.

Masumi Hayami.

Pria tampan bersahaja itu kembali menatap ke arah Kazumi.

“Kau memikirkan dia, Kazumi?”

Kazumi tersentak, tak menduga jika dirinya tak ubahnya buku yang terbuka lebar, begitu mudah dibaca oleh Takahiro.

“Takahiro.....”

Dalam siraman cahaya temaram lampu, wajah tampan bersahaja Takahiro kembali tersenyum menenangkan pada Kazumi yang menengadah ke arahnya dengan perasaan bersalah.

“Tidak apa-apa, Kazumi, satu yang perlu kau tahu, aku menyanyangi apa adanya dirimu,”

“Takahiro...”

Kazumi memejamkan matanya ketika perlahan Takahiro mengecup keningnya. Tanpa terasa sebutir airmata mengalir, melewati pipi Kazumi.

“Sudah... Jangan menangis, masuklah dan beristirahatlah,”

Kazumi mengangguk setelah Takahiro mengusap airmatanya yang jatuh. Ia menggigit bibirnya, sekuat tenaga, berusaha menahan rasa sedih yang tiba-tiba menyergap hatinya.

“Terima kasih, Takahiro... Terima kasih...”

Kazumi memeluk Takahiro, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria tunangannya itu.

Sementara itu, mata tajam Masumi menyipit menyaksikan dua sejoli itu. Membuatnya semakin kuat menghisap rokok yang tengah berada di belahan bibirnya, berharap asap nikotin yang tercipta mampu menghilangkan perasaan sesak yang menyergap relung hatinya.

= # =

Suara merdu burung bul bul yang hinggap di dahan dogwood berbunga pink membuat Masumi terjaga dari tidurnya yang gelisah. Berbagai mimpi panjang berkejar-kejaran, berlomba satu sama lain naik menuju permukaan alam bawah sadarnya, membentuk kisah aneh dan penuh ironi. Begitu mencekam.

Masumi mengerjapkan matanya, berusaha mengingat segala mimpi gelisahnya, namun seiring kesadarannya kembali, mimpi-mimpi itupun ikut menguap. Tak satupun yang mampu diingatnya meskipun masih ada perasaan tak nyaman tinggal di hatinya.

”Pagi ayah!”

Sesosok tubuh kecil dengan lincah melompat ke arahnya dan mendarat tepat di atas dadanya.

”Hgh! Pa..gi.. juga Sa..yu.. ri...” dengan menahan berat badan Sayuri yang tiba-tiba menimpanya, Masumi menjawab salam anak semata wayangnya.

”Sudah sehat nih, anak ayah?”

”Masih agak sakit sih ayah, tapi Sayuri mau bangun aja ah... Bangun yuk ayah! Kita jalan-jalan ke rumah Kiyomizu-ishi, melihat kolam koi,”

’Eh?’

Masumi menautkan kedua alisnya hingga bertemu, hatinya bingung, bagaimana bisa Sayuri mengetahui jika di kediaman Kiyomizu-ishi terdapat kolam koi, sementara gadis cilik itu baru bertemu tabib desa Momiji itu kemarin, itupun dalam kondisi setengah sadar.

”Memangnya Sayuri tahu dimana rumah Kiyomizu-ishi berada?”

”Tahu,” sahut Sayuri disertai anggukan yang kuat, berusaha menegaskan pada ayahnya bahwa ia memang tahu.

”Tahu darimana?”

”Mimpi,”

Seketika gelak tawa Masumi pecah mendengar jawaban spontan Sayuri membuat Sayuri langsung cemberut. Menyadari perubahan raut wajah  Sayuri, Masumi pun berusaha keras menahan tawa dan setengah mati memasang mimik serius. Namun usahanya tak sepenuhnya berhasil, raut geli masih saja terpampang di wajahnya yang tampan, membuat Sayuri kian menggondok dan semakin melipat wajah cantiknya.

”Ma’af... Ma’af... Ayah minta ma’af...,”

”Ayah jelek ah!”

Sayuri kini merajuk. Ia duduk membelakangi ayahnya, sementara wajahnya benar-benar menyiratkan kekesalan hatinya, terlihat dari betapa panjang kerucut yang di bentuk bibir mungilnya.

”Ya deh... Ayah jelek... Tapi, ayah dima’afkan ya...?”

Masumi berusaha mengambil hati Sayuri yang masih saja merajuk. Bahkan gadis cilik itupun beringsut menjauhi ayahnya yang menyentuh pundak mungilnya.

”Sayuri... Ayolah... Ayah minta ma’af... Ya...?”

”Ayah selalu begitu! Selalu mentertawakan Sayuri! Sayuri tidak suka!”

Masumi menghela nafas, karakter Sayuri yang keras dan berperasaan halus, membuatnya harus pandai-pandai mengambil hati.

”Anak ayah yang cantik, ayah yang jelek ini meminta ma’af... Apakah dima’afkan?”

Sayuri masih tak bergeming, ia masih saja membelakangi ayahnya dan tak mau memandang sedikitpun ke arah Masumi.

”Sayuriiiii....”

Mendengar suara ayahnya yang terdengar aneh, Sayuri menoleh. Begitu matanya yang bening menatap ke arah ayahnya...

”Ayaaaaaaaaaaaaahhhhhh hahahahahahahahahahahahahahahahaha!!!”

Tawa Sayuri yang renyah memecah keheningan ruang paviliun yang mereka tempati. Begitu gelinya Sayuri hingga ia terpingkal-pingkal dan terguling dari duduknya.

Masumi membuat ekspresi konyol hingga wajah tampannya tampak sangat lucu dan menggelikan. Kedua bola matanya dijulingkan, dengan ibu jari tangan kirinya menarik ujung hidungnya ke atas. Sementara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya menarik kedua kelopak matanya ke bawah dan lidahnya menjulur keluar.

Masumi tahu, wajahnya pasti sangat berantakan, tapi piggie face tak pernah gagal membuat tawa Sayuri kembali. Dan demi tawa Sayuri, biarpun wajahnya menjadi sejelek monster pun, Masumi rela.

”Jadi, sudah dima’afkan nih, ayahnya?”

Masumi mengerling jenaka ke arah Sayuri yang masih tertawa geli. Dan gadis cilik ayu itu menghambur ke arah Masumi yang telah merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan erat anak semata wayangnya.

”Sayuri sayang ayah,”

Hati Masumi terharu. Ungkapan perasaan sayang yang polos dari Sayuri begitu menyentuh hatinya. Mengingatkannya, ada hal yang amat sangat berharga yang menjadi miliknya, Sayuri Hayami.

”Ayah juga sayang, Sayuri... Sayang sekali...”

= # =

Langkah kaki mereka begitu ringan menapaki jalan berbatu. Sesekali kaki kecil Sayuri menyaruk embun yang tertinggal di pucuk rerumputan yang tumbuh di sepanjang tepian jalan.

”Sayuri, hati-hati, nanti jatuh,”

”Iya ayah,”

Masumi memperhatikan Sayuri yang melompat-lompat kecil di depannya. Tak nampak jika tanda sakit ataupun trauma dari gadis cilik itu, padahal kemarin ia nyaris saja kehilangan nyawanya akibat terjatuh dari tebig yang cukup tinggi dan terseret arus sungai. Entah kekuatan dari mana yang ada di dalam tubuh mungil Sayuri, namun gadis kecil itu benar-benar tampak biasa saja.

”Paman Maeda! Selamat pagi!”

Suara riang Sayuri menyadarkan Masumi dari ketermenungannya memandangi polah anak semata wayangnya. Benar saja, Takahiro telah muncul dari balik tikungan yang hendak mereka lalui, dengan wajah begitu segar dan senyum yang menenangkan.

”Pagi juga, Sayuri-chan, Masumi. Kok sudah berjalan-jalan? Memangnya sudah sehat?”

Takahiro mengangkat tinggi-tinggi Sayuri hingga gadis cilik itu terpekik kegirangan. Diam-diam Masumi menatap tajam ke arah Takahiro dan Sayuri, namun mereka berdua tak menyadarinya.

”Masih sedikit sakit sih paman, tapi Sayuri ingin jalan-jalan. Kan sebentar lagi sudah selesai liburannya, sayang kalau hanya dihabiskan sisa waktunya dengan tidur-tiduran,”

”Wah! Jangan terlalu memaksakan diri, anak pintar, nanti jadi tambah sakit lho,”

”Biar saja! Sayuri sih pengennya sakit pas waktu masuk sekolah, jadi waktu liburnya bisa nambah,”

Sayuri mengerling jahil ke arah ayahnya yang mendelik mendengar penuturannya. Sementara Takahiro tertawa ringan mendengar ketangkasan Sayuri berbicara.

”Kalau mau jadi anak baik tidak boleh bersikap seperti itu Sayuri, itu sama saja dengan berlaku curang. Lagipula Sayuri memang benar-benar ingin sakit?”

Sayuri menatap ke arah Takahiro dan mengerutkan hidungnya sambil menggeleng kuat-kuat, membuat wajahnya semakin tampak menggemaskan.

”Nah, begitu baru anak pintar. Ngomong-ngomong, memangnya kapan kalian akan mengakhiri masa liburan kalian di desa kami?”

”Rencana kami akhir minggu ini, Takahiro,”

Kali ini Masumi yang menjawab. Tanpa ia sadari, suaranya sedikit bernada sarkasme, membuat Takhiro sedikit mengerutkan kening, tak mengerti dengan perubahan sikap Masumi.

”Yaaaaahh... Ayah... Cepat sekali....”

Sayuri memprotes ucapan ayahnya.

”Iya Masumi, buru-buru sekali? Setidaknya tinggallah sedikit lebih lama agar bisa menghadiri pernikahan kami,”

Perasaan dingin merambati hati Masumi, membuatnya diam-diam mengepalkan jari jemarinya dengan begitu kuat.

”Wah! Paman menikah? Dengan nona Okada bukan?”

”Benar Sayuri-chan, kami akan segera menikah, dan jika kau bersedia tinggal untuk menghadiri pernikahan kami, kau bisa menjadi pendamping pengantin untuk Kazumi, bagaimana?”

”Benarkah?”

Binar bahagia terpancar dari mata kanak-kanak Sayuri, penuh pengharapan dan rasa penasaran.

”Tapi... Apakah nona Okada tidak keberatan jika Sayuri menjadi pendamping pengantin untuknya?”

”Coba saja kau tanyakan sendiri pada orangnya, itu dia,”

Baik Sayuri maupun Masumi mengikuti arah telunjuk Takahiro yang menunjuk jauh di belakang punggung mereka. Di sana, tampak Kazumi tengah berjalan dengan membawa sebuah bungkusan yang cukup besar di tangannya.

”Nona Okada!”

”Sayuri!”

Tanpa bisa dicegah Masumi, Sayuri berlari menghambur ke arah Kazumi, tidak memperdulikan suara ayahnya yang penuh nada peringatan.

”Selamat pagi, Sayuri-chan... Tuan Hayami...”

”Selamat pagi, nona Okada,”

Ada sedikit kekakuan ketika Kazumi menyapa Masumi, begitu pula dengan Masumi ketika menjawab salam Kazumi. Rupanya peristiwa semalam masih meninggalkan kecanggungan, baik bagi Masumi maupun Kazumi.

”Nona Okada, benarkah akan segera menikah dengan paman Maeda?”

”Sayuri!”

”Benar Sayuri-chan, kenapa? Kalian masih ada di sini kan saat upacara pernikahan kami?”

”Iya!”

”Tidak!”

Secara bersamaan Sayuri dan Masumi menjawab pertanyaan Kazumi, membuat Kazumi dan Takahiro berpandangan tidak mengerti dengan sikap mereka berdua.

”Ayah, apaan sih? Libur Sayuri kan masih lama... Atau kalau tidak, Sayuri ditinggal saja deh disini, nanti selesai pesta pernikahan nona Okada dan paman Maeda, baru Sayuri dijemput. Lagian ayah kan sudah janji akan menemani Sayuri liburan kemanapun Sayuri minta,”

Masumi jadi serba salah. Ia sudah kepalang janji pada Sayuri, namun berlibur demi menyaksikan pernikahan Maya dengan orang lain? Itu sama saja dengan dipaksakan menusukan ribuan belati ke tubuhnya sendiri.

Belum apa-apa Masumi sudah mampu membayangkan rasa sakit yang meremas hatinya.

”Sayuri...”

Suara Masumi penuh peringatan dibarengi dengan pandangan mata yang begitu tajam ke arah Sayuri. Tapi, gadis cilik itu malah melengos dan kembali memusatkan perhatian pada pasangan Kazumi da Takahiro yang kini sudah berdiri berdampingan.

”Nona Okada, kata paman Maeda, Sayuri boleh jadi pengiring pengantin untuk nona Okada. Boleh tidak?”

”Sayuri...”

Kembali suara Masumi terdengar, kali ini tekanan nadanya semakin jelas.

”Tidak apa-apa tuan Hayami... Sayuri-chan, aku akan senang sekali jika memang kau bersedia menjadi pengiring pengantin untukku, tapi kau harus mendapat ijin dulu dari ayahmu, ya? Sementara itu, aku akan meminta bibi Akane untuk menyiapkan kimono khusus untukmu,”

”Benarkah?”

Mata bening Sayuri membulat, nyata sekali ia begitu senang dengan apa yang disampaikan Kazumi. Namun di sisi lain, Masumi diam-diam menggeretakkan rahangnya, hatinya kesal sekali pada putri kecilnya itu.

”Benar, Cantik, tapi kau harus berjanji padaku, kau harus menurut pada ayah ya?”

”Baik, nona Okada, aku janji!”

”Bagus, itu baru anak jempolan,”

Sayuri tersenyum senang mendengar pujian Kazumi, namun saat ia melihat ke arah ayahnya, ia tahu, ada sesuatu yang mengganggu hati ayahnya. Tanpa bisa dicegah, nyali Sayuri langsung menciut.

”Nah, Sayuri-chan, Masumi, kami permisi dulu, ada beberapa hal yang harus kami persiapkan berkenaan dengan pernikahan kami. Ingat Sayuri, kamu harus menurut pada ayah, ya?”

”Baik paman Maeda,” sahut Sayuri lirih membuat Takahiro mengerutkan kening, heran dengan perubahan sikap Sayuri yang tiba-tiba. Dan ketika diam-diam Takhiro melirik ke arah Masumi, seketika ia tersadar, aura lelaki tampan itu tampak begitu gelap tertangkap Takahiro.

”Kami permisi, Masumi, Sayuri-chan,”

Masumi hanya diam dan tersenyum kaku pada Kazumi dan Takahiro.

= # =

“Tidak boleh,” suara Masumi datar saja namun menyiratkan ketegasan yang tidak mau dibantah. Mereka kembali menyambung perdebatan soal boleh tidaknya Sayuri menjadi pengiring pengantin bagi Kazumi.

”Ayaaahhhhh... Boleh ya...? Ya...? Please...?”


Wajah cantik Sayuri menghiba menatap ke arah Masumi yang masih tak bergeming. Setengah putus asa ia mengharap ayahnya akan berubah pikiran. Namun dengan hanya melihat sekilas wajah ayahnya, Sayuri tahu, ayahnya tidak akan mengijinkannya.


”Sayuri janji deh, kalau ayah mengabulkan permintaan Sayuri ini, Sayuri tidak akan nakal lagi. Atau, Sayuri akan memandikan sendiri Caesar selama tiga bulan berturut-turut,”


Sayuri merubah taktik. Ia tahu, ayahnya selalu mengingatkan dirinya untuk merawat golden retriever hadiah ulang tahunnya dan ia berharap dengan berjanji memandikan anjing itu ia akan memperoleh ijin Masumi.


”Tidak Sayuri, ayah sudah memutuskan,”


”Kenapa sih ayah?”


Isak tangis mulai terdengar dari suara Sayuri yang kecewa. Air mata pun mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya kesal setengah mati.


”Sayuri
kan sudah berjanji pada nona Okada, ayah... Dan nenek Akane pun sudah membuatkan kimono khusus untuk Sayuri... Boleh ya ayah...? Sayuri mohon...?”

”Tidak Sayuri!”


Kali ini suara Masumi meninggi, ia mulai kehilangan kesabarannya. Dimatanya kini Sayuri bagai seorang anak manja yang sangat nakal. Hati geram bukan kepalang, dan ia mulai menyesali liburan di Desa Momiji ini.


”Tapi ayah…”


”Tidak ada TAPI Sayuri! Sekali ayah bilang tidak berarti memang tidak!”


”Ayah jahat!!!”


Masumi tersentak mendengar reaksi spontan Sayuri. Baru kali ini anak semata wayangnya itu begitu keras kepala dan sulit dibujuk. Hijiri yang muncul tiba-tiba karena mendengar teriakan Sayuri, terkejut ketika Sayuri serta merta menghambur ke arahnya dan memeluk lututnya erat-erat.


”Paman Hijiriiii..... huuuu... huuuu... huuu...”


Sayuri menyembunyikan wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Pupus sudah harapannya untuk mengenakan kimono cantik dengan hiasan bunga peony di rambutnya. Dan yang lebih membuatnya sedih, ia harus membatalkan janji yang sudah diucapkannya pada Kazumi untuk menjadi pengiring pengantin bagi Kazumi dan Takahiro. Hatinya kecewa sekali. Ia tak mengerti, kenapa ayahnya begitu keras hati.


”Sayuri....”


Sayuri menepis tangan ayahnya yang menyentuh kepalanya membuat Masumi terjengit.
Ada perasaan dingin merambati hati Masumi mendapat penolakan Sayuri.



Sedu sedan Sayuri terdengar begitu memilukan membuat Masumi didera perasaan bersalah. Hijiri yang berusaha menyeimbangkan diri, perlahan menyentuh pundak nona kecilnya. Namun, dengan wajah masih disembunyikan di antara lutut Hijiri, Sayuri menggeleng keras, membuat Hijiri hanya mampu menghela nafas dan menatap prihatin ke arah Masumi.

Untuk beberapa saat, kedua lelaki dewasa itu terdiam canggung.

“Nona Sayuri…,”

Tangis Sayuri masih terdengar, tapi guncangan di bahunya sudah jauh berkurang, menandakan gadis cilik itu sudah mulai tenang.

“Nona kecil…,”

Akhirnya Hijiri bisa membebaskan dekapan erat Sayuri di kakinya dan berlutut, mensejajarkan posisinya dengan Sayuri, mencari mata Sayuri yang masih bersimbah airmata.

“Nona…,” bujuk Hijiri sambil menatap lekat mata besar kanak-kanak yang bersimbah airmata.

“Kita pulang ke Tokyo ya…,”

”Tidak mau!!!”

Dan sebelum sempat diantisipasi oleh kedua pria dewasa itu, Sayuri telah melesat keluar ruangan.

”Sayuri!!”

”Nona!!”

Baik Hijiri maupun Masumi, sama-sama bergegas mengejar gadis cilik itu, namun sayang, Sayuri sudah menghilang dari jangkauan pandang mereka. Tanpa banyak bicara, keduanya bertukar pandang, berkomunikasi tanpa kata, hingga Hijiri dan Masumi sama-sama mengangguk dan keduanya berpencar menuju tempat-tempat yang mungkin menjadi tujuan Sayuri.

= # =

Kaki mungilnya mengayun-ayun, berkecipak di permukaan air sungai yang mengalir tenang. Sesekali tangan mungilnya yang gempal melemparkan rumput yang dicerabutnya di sampingnya. Wajah cantiknya cemberut, hatinya kesal setengah mati.

Tiba-tiba mata beningnya tertarik akan sebuah obyek. Seekor katak tengah duduk mencangkung di sebuah batu kecil, tak jauh dari tempatnya. Mereka berdua saling berpandang, seakan saling menaksir, kira-kira makhluk apa yang tengah mereka temui.

Sayuri dengan penuh rasa ingin tahu, beringsut perlahan mendekati katak itu, sementara sang katak masih menatap seakan penasaran, apa yang dilakukan manusia kecil ini pada dirinya. Namun, belum sempat Sayuri sampai ke tempat si katak, binatang amphibi itu telah melompat menghindar dan menghilang di balik semak tumbuhan air yang tumbuh di sepanjang aliran sungai.

Sayuri mendengus, kesal hatinya yang perlahan mulai menguap, kini hadir lagi, memunculkan kerucut kecil di bibirnya yang merah.

”Sedang kesal ya?”

Sayuri tersentak.

Rambut ikalnya bergoyang mengikuti gerakan kepalanya menoleh menuju arah suara laki-laki dewasa yang bertanya padanya. Dan ketika Sayuri melihat pada siapa yang menyapanya, matanya menatapnya lekat.

”Paman siapa?”

Pria asing itu hanya tersenyum samar penuh misteri. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, namun  langkah kakinya terus saja beranjak mendekati Sayuri yang mengamati dengan seksama sosok asing berkemeja jeans itu. Tanpa bisa dicegah, hati Sayuri mengkerut kecut ketika menatap mata pria itu. Ada sesuatu pada sosok pria ini yang mengusik perasaan aman dalam hati kanak-kanak Sayuri. Insting kanak-kanak Sayuri bisa merasakan sinar mata yang terpancar dari pria itu terasa begitu dingin dan kejam

Sang pria, bukannya tidak menyadari perasaan takut yang terpancar dari sorot mata Sayuri, kembali mengulas senyum penuh misteri. Wajahnya sebenarnya tampan, tapi sayangnya ternoda oleh sebuah luka parut panjang di sepanjang garis pipi kanannya..

”Kenapa? Takut?”

Sayuri menggeleng sambil mundur selangkah, menghindari si pria yang melangkah mendekatinya dan menepis tangan si pria yang berusaha membelai pipi pucatnya.

”Tidak! Sayuri tidak takut!”

Suara Sayuri begitu lantang, namun getar suara dan gemetar di jemari tangannya yang terkepal tak bisa berbohong, hatinya setengah mati ketakutan. Dan lelaki itupun tersenyum sinis atau tepatnya menyeringai, semakin memperjelas aura kekejaman dari wajahnya.

”Kamu memang anak Masumi Hayami, tidak hanya wajahmu yang mirip, bahkan keangkuhannya pun diwariskannya padamu!”

Sayuri menjerit saat laki-laki itu berhasil menangkap pergelangan tangannya. Terbersit penyesalan di hati Sayuri, mengapa ia tadi begitu jauh menyusuri tepian sungai, hingga mendekati bibir hutan. Hatinya berdoa dan memohon dengan keras semoga saja ada seseorang yang tak sengaja  lewat sehingga ia bisa meminta pertolongan. Airmata ketakutan mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi Sayuri berusaha keras menahannya. Ia tak ingin memperlihatkan perasaan takut saat ia berada di tangan pria asing ini. Ia meronta sekuat yang ia bisa, namun apalah daya seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Dalam kekuasaan seorang lelaki dewasa yang menurut Sayuri lebih besar dari ayahnya ini, perlawanan Sayuri tak lebih sekedar permainan baginya.

Ketika tangan kuat laki-laki itu mencengkeram tangan mungil Sayuri, tiba-tiba pandangan matanya yang bengis terpaku pada benda yang menyilaukan di dada Sayuri. Matanya menyipit demi memperjelas pandangannya akan sebentuk liontin berdesain khusus yang terikat pada seuntai rantai kecil di leher Sayuri. Dan seketika, rona kemarahan semakin kental terbaca di raut wajah pria bertubuh tinggi itu.

”Darimana kau dapatkan kalung ini?” tanyanya sambil mencengkeram erat kedua belah pipi Sayuri dengan satu tangannya yang besar membuat Sayuri semakin menciut ketakutan. Matanya membelalak dengan pupil mata mengecil, menyiratkan kengerian tak terhingga dalam hati kecilnya.

”Nona?!? Hei! Siapa kau?!?”

Hijiri yang tiba-tiba muncul dari balik lebatnya rumpun bambu air mengagetkan mereka berdua.

”Paman Hijiri! Tolong aku!!”

Sontak Sayuri berteriak demi mengenali suara Hijiri.

”Sialan!!”

Laki-laki itu segera melepaskan tangan Sayuri, mendorong gadis kecil itu hingga terjungkal di rerumputan dan melesat menghindar di kelebatan hutan. Semuanya terjadi demikian cepat.

”Tunggu!!”

Hijiri mengejar sang pria, menerobos rimbunnya semak berduri tempat lawannya menghilang, namun sayang, agaknya laki-laki itu lebih mengenal daerah itu, sehingga dalam sekejap saja ia pun hilang dari pandangan Hijiri. Dengan geram Hijiri menyudahi pengejarannya dan bergegas kembali menuju tempat Sayuri yang duduk bergelung. Tangis penuh ketakutan terdengar lirih dari bibirnya yang gemetar. Sementara tubuhnya menggigil begitu hebat layaknya orang yang tengah kedinginan.

”Nona? Nona kecil? Nona tidak apa-apa?”

Hijiri merangkul Sayuri dalam dekapannya, mengayunnya perlahan, berusaha menenangkannya. Hatinya menyesal setengah mati.

Hampir saja.

Andai saja ia terlambat sepersekian waktu, entah apa yang akan terjadi pada nona kecil kesayangannya ini. Matanya kembali beredar di sekeliling, menajamkan pandangan berusaha menangkap gerakan yang mencurigakan.

“Nona...?”

Hijiri berbisik lembut di telinga Sayuri, memanggilnya perlahan.

“Ayah... Sayuri mau ayah...”

Getar dalam suara Sayuri belum sepenuhnya reda, membuat Hijiri menggertakkan rahangnya, meluapkan kekesalannya pada lelaki yang sudah meninggalkan trauma pada Sayuri.

”Mari paman antar ke ayah...”

Hijiri pun bangkit dan menggendong Sayuri, melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama desa.

Sementara itu, dari balik besarnya pohon pinus hutan, sepasang mata penuh kebencian mengamati mereka berdua.

= # =

”Begitulah kejadiannya, tuan, sekali lagi saya mohon ma’af atas kelengahan saya”

Suara Hijiri yang biasanya tenang sedikit bergetar oleh emosi, antara amarah dan rasa bersalah.

”Kau tahu siapa pelakunya?” suara Eisuke yang gusar memotong pembicaraan Hijiri.

”Saya tahu tuan, tapi saya perlu menyelidiki lebih dalam lagi untuk lebih meyakinkan pengetahuan saya,”

”Lakukan!”

”Baik tuan,”

”Dan tidak ada kejadian seperti ini lagi, Hijiri!” tukas Eisuke mengakhiri sambungan telepon jarak jauhnya. Dalam imajinasi Eisuke, ia bisa melihat Hijiri yang tertunduk takdzim mendengar semua perkataannya atau lebih tepatnya semua perintahnya. Eisuke menghembuskan nafas demikian keras, seakan hendak menghempaskan kemarahan yang meluap dalam hatinya.

”Mereka semakin berani melintasi garis batas, Asa,”

”Tuan...”

Asa memperhatikan penuh keprihatinan pada Eisuke yang menggeram penuh kemarahan selepas mendapat laporan Hijiri mengenai apa yang dialami Sayuri.

“Agaknya kunjungan kami kemarin belum cukup, Asa,”

“Saya akan atur kunjungan berikutnya tuan,”

”Tidak perlu!”

Asa sedikit tersentak ketika Eisuke menetak keras lantai dengan tongkatnya.

”Kita sudah berbaik hati mengunjungi mereka, kini saatnya mereka memenuhi panggilan kita,”

”Baik tuan, akan saya persiapkan. Saya permisi,”

Dengan diiringi anggukan kepala Eisuke, Asa berlalu meninggalkan Eisuke. Suara burung bercericit, sibuk berebut buah buni di halaman, tak mampu meredam perasaan gusar sang jenderal. Tangan keriputnya yang belum kehilangan kekuatannya, mencengkeram erat kepala tongkat kesayangannya, seakan ingin membuat bulatan besi itu pecah berkeping-keping.

= # =

Wajah tampan Masumi mengeras. Rahangnya terkatup rapat dengan mata menyipit menahan kemarahan. Namun semua itu berbeda jauh dengan sikap tubuhnya yang mendekap Sayuri. Tubuh Masumi melentur dan berayun perlahan. Sebelah tangan besarnya medekap erat kepala Sayuri, sementara yang satu lagi menepuk pelan punggung Sayuri, berusaha menyampaikan perasaan aman dan terlindungi pada anak gadis kecilnya yang masih menangis tergugu.

Hati Masumi serasa terpilin melihat keadaan Sayuri. Nyata sekali anak semata wayangnya ini mengalami trauma yang melukai batin kanak-kanaknya. Bahkan tubuh kecilnya masih sedikit bergetar walau sudah sekian waktu berada dalam pelukan Masumi.

”Sayuri.... Sayang....”

Sayuri bergelung makin dalam di pelukan Masumi seakan ingin terus berlindung dalam dekapan ayahnya yang aman dan hangat. Wajah cantiknya disembunyikan makin erat di dada ayahnya. Airmata dan isak tangisnya pun tak kunjung reda.

Masumi tercekat.

Sebentuk penyesalan menyeruak dalam hatinya, serupa bola es besar yang menimbulkan perasaan dingin menyesakkan di dadanya. Andai saja ia mengalah pada gadis kecilnya dan mau sedikit saja berkorban, peristiwa menakutkan ini tentunya tidak akan terjadi. Toh, sudah sekian lama Masumi merasakan kegetiran, sedikit lagi menoreh luka baru dihatinya tak akan memberikan banyak perbedaan. Hanya demi melindungi hatinya sendiri, justru hampir mencelakakan pusat dunianya, Sayuri.

Masumi menatap ke arah Hijiri yang terpekur menatap ayah dan anak itu. Seakan sebuah telepati yang tersambung erat, Hijiri pun mengangguk, memahami apa yang diinginkan atasannya itu. Tanpa sepatah kata, Hijiri beranjak, berlalu untuk menunaikan tugas yang dibebankan di atas pundaknya.

= # =

Keduanya terdiam di keremangan senja, sementara Sayuri terlelap di dalam kamar setelah mendapat pertolongan dari Kiyomizu-ishi. Masumi menyesap rokoknya dan menyemburkan asapnya perlahan, membentuk awan asap yang segera hilang ditelan hangatnya malam musim panas.

”Kami akan menghadiri upacara pernikahan kalian, Takahiro,”

Takahiro menghela nafas, walau Masumi bersikap wajar, naluri Takahiro menangkap keengganan di suara dalam duda beranak satu itu.

”Terima kasih banyak, Masumi, kehadiran kalian sangat berarti bagi kami,”

Masumi tersenyum tipis di sela kepulan asap rokoknya. Entah ia harus merasa senang atau apa dengan jawaban Takahiro, yang pasti semua demi mengobati perasaan trauma Sayuri. Setidaknya dengan memenuhi undangan pernikahan Takhiro dan Kazumi, Masumi berharap akan bisa mengembalikan sedikit keceriaan Sayuri yang terenggut.

Diam-diam Takhiro memperhatikan lawan bicaranya. Untuk sejenak kedua hanya diam, larut dalam pikiran masing-masing. Suara kelelawar di kejauhan terdengar sayup, menandakan waktu berburu mereka telah tiba. Bulan separuh pun mulai muncul, menghiasi langit kelam musim panas dengan kelembutan sinarnya.

”Aku tahu kau pasti bertanya-tanya dalam hatimu,”

Akhirnya Masumi yang memecahkan kesunyian di antara mereka berdua.

”Siapa saja pasti akan bertanya-tanya, Masumi, tak terkecuali diriku,”

Masumi menatap lekat ke arah Takahiro. Menanti pria itu melanjutkan perkataannya.

”Namun aku yakin, semua sudah digariskan oleh langit. Buat apa aku bertanya-tanya dan mencari-cari jawaban, pada akhirnya jawabannya akan datang dengan sendirinya. Pada dasarnya kita ini hanya menjalankan roda kehidupan, mengikuti peran dan alur cerita yang sudah ditetapkan pada diri kita masing-masing,”

Masumi tercenung.

Ucapan Takahiro yang tenang mengalir dan penuh filosofi seakan menyiram hati dan pikirannya. Menyadarkannya bahwa segalanya sudah mempunyai arah dan waktunya sendiri.

”Jika aku menanyakan sesuatu, apakah kau akan marah?”

Takahiro mengangkat sebelah alis tebalnya dan tersenyum pada Masumi.

”Marah? Mengapa aku harus marah, Masumi? Haruskah aku marah?”

Masumi tercenung mendengar jawaban Takahiro.

”Apapun yang dipertanyakan ataupun disampaikan oleh siapapun, baik itu kebenaran atau kebohongan, aku tidak memiliki hak apapun untuk marah,”

Masumi menghela nafas dan kembali menatap lekat ke arah Takahiro yang masih menunggu apa yang akan diucapkan Masumi berikutnya.

”Tunggu sebentar,”

Masumi bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam paviliun, meninggalkan Takahiro di teras. Ketika ia kembali keluar, ditangannya telah ada sebuah amplop besar dan tebal, menilik segel yang masih belum dibuka, Takhiro menduga, apapun yang ada di dalam amplop itu, pastilah hal yang sangat penting.

”Aku harap kau bisa membantuku, Takahiro,”

Sejenak Takahiro menatap Masumi, tak mengerti dengan apa yang disampaikannya.

”Aku... Kami... sedang mencari seseorang yang hilang betahun-tahun yang lalu,”

Takahiro mengerenyitkan alisnya, menangkap perubahan subyek yang dikatakan Masumi.

”Siapakah itu?”

”Seorang artis,”

”Artis?”

”Bukan sekedar artis biasa, Takahiro, namun seorang artis yang sangat luar biasa yang memegang hak eksklusif juga sekaligus pemeran utama sandiwara legendaris Bidadari Merah,”

”Bidadari Merah?”

”Benar Takahiro, Bidadari Merah. Sebuah mahakarya agung dalam bidang drama, dan seseorang itulah yang mewarisi segala hal tentang drama itu,”

”Lantas?”

”Semua tanda mengarah pada tunanganmu, nona Okada,”

Mata Takahiro membulat.

”Kazumi? Bagaimana bisa?”

”Itulah yang aku... kami... ingin tahu, Takahiro,”

Lagi-lagi, Takahiro menangkap perubahan subyek yang dilakukan cepat oleh Masumi. Namun Takahiro diam saja. Benaknya kini membayangkan sosok Kazumi yang manis. Memang, tak bisa dipungkiri oleh Takahiro, ada yang tak biasa pada tunangannya itu. Selain ingatannya yang hilang dan belum kembali sejak enam tahum yang silam, Kazumi terkadang menjelma menjadi sosok lain. Khususnya saat ia sedang berinteraksi dengan anak-anak binaannya. Setiap Kazumi bercerita, ia seakan mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam ceritanya secara nyata melalui dirinya. Belum lagi semenjak kehadiran anak beranak Hayami, sikap Kazumi semakin hari semakin tampak aneh. Seperti ada tirai yang pelan-pelan tersibak namun selalu kembali tertutup.

”Seandainya memang Kazumi adalah orang yang kau cari, apa yang akan kau lakukan Masumi?”

Masumi memandang penuh perhitungan
ke arah Takahiro, mencoba menebak-nebak apa yang tengah dipikirkan pria itu ketika melontarkan pertanyaan mengenai Kazumi kepadanya. Namun ekspresi Takahiro benar-benar tak terbaca. Begitu tenang dan bersahaja. Membuat Masumi berspekulasi tak menentu akan perasaannya.

”Aku… Kami… akan membawanya ke
Tokyo, Takahiro, untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah lama tertunda. Bagaimanapun, kami di Daito, terutama aku masih tetap berharap, Bidadari Merah dapat ditampilkan kembali,”

Takahiro tersenyum, begitu tenang namun efeknya membuat Masumi merasakan getaran yang tak dimengertinya merambati tulang belakangnya.


”Apakah benar hanya itu? Tidak ada yang lain?”


Masumi tersentak. Kalimat bersayap Takahiro mengagetkannya.


”Apa maksudmu, Takahiro?”


”Kau tahu dengan pasti apa yang aku maksudkan, Masumi,”

“Tidak Takahiro, aku tak mengerti yang kau maksudkan, Takahiro,” tampik Masumi dengan cepat, membuat Takahiro tersenyum samar.

Mau tak mau perasaan tak nyaman mengusik hati Masumi melihat reaksi Takahiro. Memunculkan perasaan kesal di relung hati Masumi. Takahiro menghela nafas panjang menyadari reaksi dan perubahan sikap Masumi. Dan Takahiro tak ingin meningkatkan ketegangan antara dirinya dan Masumi. Mengingat Masumi adalah tamu di desanya dan juga undangan khusus di upacara pernikahannya.

”Apa yang bisa aku bantu, Masumi?”

Masumi mendesah, kegusarannya perlahan menguap melihat sikap Takahiro melunak.

”Ma’afkan aku jika aku merepotkanmu di saat-saat terpenting dalam hidupmu. Pada awalnya aku juga tidak mempercayainya, setelah sekian lama pencarian tak kunjung mendapat titik terang hingga sampai di Desa Momiji ini. Kali ini, aku... kami... meyakini bahwa sudah sedekat ini dengan pencarian kami. Kami hanya perlu mengklarifikasi segala data yang kami punya dengan fakta di lapangan. Dan saat ini, orang terdekat yang sekiranya bisa membantu kami adalah dirimu, Takahiro. Sebagai tunangan nona Okada, dirimu merupakan akses terdekat bagi kami untuk mengetahui riwayat hidup nona Okada. Aku mohon, bantu kami, Takahiro,”

Takahiro tersentak ketika melihat Masumi memohon padanya hingga memposisikan dirinya sedemikian rupa. Bersujud di hadapan Takahiro.

”Masumi, kau tak perlu begini...”

”Aku mohon bantu kami, Takahiro,“

Takahiro bingung harus bagaimana menghadapi sikap Masumi. Tak bisa dipungkiri, ada perasaan terancam ketika mengetahui bahwa kemungkinan Masumi Hayami mengetahui atau bahkan mempunyai hubungan khusus dengan masa lalu Kazumi. Takahiro memandangi laki-laki beranak satu yang masih bersujud di hadapannya, menakar dan menimbang, keputusan apa kiranya yang bisa ia ambil.

”Masumi, bangkitlah... Ku mohon...”

Akhirnya Direktur Daito itu bangun dari sujudnya, dan menatap lekat ke arah Takahiro. Sinar wajahnya begitu teguh membuat Takahiro kelu. Menurut Takahiro, pria ini lebih membutuhkan pertolongan untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaannya daripada untuk menemukan seorang artis seperti yang disampaikannya. Ataukah justru artis yang hilang itu justru turut membawa pergi sebagian kebahagiaannya?

”Masumi, aku tak bisa menjanjikan bantuan apapun, tapi aku akan coba lakukan apa yang aku bisa,”

Masumi tahu, untuk saat ini, itu harga mati dari Takahiro. Walau tanpa emosi yang meledak-ledak, tapi Takahiro sudah menarik garis batas sejauh mana yang boleh dilewati Masumi. Dan Masumi, sang negosiator ulung, sangat tahu, kapan waktu menarik diri dan diam bertahan, kapan waktu maju, merangsek hingga tercapai segala kepentingan yang diperjuangkannya. 

to be continued