Senin, 02 Januari 2012

Wings of Guardians #2

The Guardians, Perkumpulan rahasia yang telah terbentuk sejak turun temurun dari ribuan tahun yang lalu. Beranggotakan manusia-manusia dengan berbagai macam kemampuan istimewa. Dari semula tujuan mereka hanya satu. Melindungi orang-orang pilihan Sang Pencipta, yang tidak menyadari kemampuan besar mereka dalam menentukan nasib dunia. Agar mereka tidak jatuh ke tangan pihak yang jahat, Sang Pembantai, yang tak segan-segan melakukan hal-hal keji yang di luar batas bayangan manusia.

= # =

Matanya berputar liar penuh antisipasi. Dadanya berdegup kencang menandai detak jantungnya yang tak beraturan oleh adrenalin. Ia berusaha sedapat mungkin menyembunyikan dirinya di balik kegelapan bayang-bayang karang terjal. Berharap setengah putus asa para pemburunya tidak menemukannya.

’Tuhan! Tolong aku!’

Hati kecilnya menjerit memohon pertolongan pada siapapun, pada apapun.

Sementara, anak laki-laki kecil yang berada dalam pelukannya tak kalah mengigilnya dengan dirinya.

“Kakak….,”

“Sstt… Diam yah! Kamu diam saja, kalau tidak mereka nanti akan menemukan kita,”

Wajah polos tanpa dosa itu menatap penuh ketakutan ke arahnya. Sementara dia sendiri tersenyum di atas bibirnya yang bergetar hebat. Berusaha menyembunyikannya ketakutannya sendiri atas siapa atau apa yang kini memburu mereka.

Rasa takut semakin merajai hatinya, ketika salah satu pemburunya perlahan namun pasti mulai mendekati tempat persembunyiannya. Kilauan mata tombak yang tajam semakin menciutkan nyalinya. Ambrosia kembali mengintip dari balik kegelapan bayangan. Beruntung, salah satu pemburunya yang tadi mulai mendekati persembunyian mereka, berbalik arah.

Ambrosia menghela nafas, hatinya sedikit merasa lega. Ia tetap diam meringkuk di sudut gelap bersama Kene, anak asuhnya dalam dekapannya.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, ini hari pertamanya menjadi pengasuh bagi Kene, seorang anak laki-laki kecil berusia 4.5 tahun. Ketika pertama kali bertemu Kene, Ambrosia merasakan kedekatan istimewa dengan bocah tampan itu. Kene begitu cerdas dan pandangan tajamnya menyiratkan bahwa dia anak yang istimewa. Dan saat Ambrosia berbincang dengan Kene, ia merasa seakan ada cahaya terang yang melingkupi mereka berdua. Itulah awal cerita hingga Ambrosia bersedia menjadi pengasuh sementara bagi Kene. Selain ia membutuhkan sesuatu untuk dilakukannya di waktu senggang, orangtua Kene juga begitu baik dan mempercayainya.

Hingga tiba hari ini. Hari pertamanya sebagai pengasuh Kene.

Awalnya semua biasa saja, mereka bermain dan belajar, sebagaimana pengasuh dan anak asuh, namun segalanya berubah ketika Kene meminta untuk ditemani di tepi pantai. Padahal hari sudah menjelang senja dan Ambrosia berencana untuk pulang ke rumah, namun Kene memaksa.

Dan akhirnya terdamparlah mereka di sini. Di sela-sela terjalnya batu karang dan riuhnya debur ombak, berusaha menyembunyikan diri dari entah siapa yang mengejar-ngejar mereka. Beruntung, pantai yang di dekat kediaman Kene merupakan pantai dengan begitu banyak batu karang disertai gua dan ceruk-ceruk kecil di sepanjang garis pantai, sangat tepat sebagai lokasi bersembunyi.

Tiba-tiba, Ambrosia merasakan seseorang merebut Kene dari dekapannya dan mengehentak tangannya kuat, menariknya masuk lebih dalam ke dalam ceruk. Ia berteriak keras, namun sentakan lembut di pangkal lehernya membuatnya kehilangan suaranya. Sekeras apapun ia berusaha mengeluarkan suara dari tenggorokannya, namun suaranya hanya bergaung di kepalanya. Tak keluar lantang seperti biasanya.

Ambrosia menatap nanar kepada sosok yang kini berjalan mengendap-endap sembari terus menggenggam erat pergelangan tangannya. Anehnya, Kene tampak tenang dan nyaman berada dalam dekapan sosok itu. Ambrosia penasaran setengah mati, sebenarnya siapa sosok yang tengah membawa mereka berdua ini.

Entah berapa lama mereka berjalan mengendap-endap di balik bayangan, sampai akhirnya ternyata kini mereka telah sampai di pagar belakang kediaman rumah Kene. Rupanya, sosok yang membawa mereka begitu paham dengan kondisi pantai bahkan tahu dimana tempat Kene tinggal. Ambrosia masih sangat penasaran dengan sosok tinggi berbaju gelap itu.

Sepanjang perjalanan yang mereka lalui hanya melewati tempat gelap di balik lindungan bayangan, sehingga Ambrosia tidak sempat melihat wajah sosok itu. Yang ia tahu, sosok itu tinggi proporsional dan tentunya orang yang sangat fit. Karena meski berjalan mengendap-endap dengan menggendong Kene dan tetap menggenggam tangannya, tak terdengar deru nafas kelelahan darinya. Padahal jarak yang mereka tempuh dari bibir pantai hingga menuju pagar belakang rumah kediaman Kene, bukanlah jarak yang dekat. Belum lagi harus melewati terjalnya batu karang, demi menempuh jalan tanpa terlihat oleh siapapun.

”Nah, Kene, kau sudah sampai rumah, jangan keluar lagi ya setelah ini,”

Ambrosia terperanjat mendengar suara dalam penuh kharisma dari sosok itu menyebut nama Kene dengan begitu akrab. Dalam bayangan Ambrosia, dengan suara yang begitu khas lelaki tentu sosok itu memiliki tatapan tajam dan wajah yang amat sangat tampan.

”Terima kasih, paman,”

Kene pun tampak begitu terpesona dengan sosok yang masih membelakangi Ambrosia. Ambrosia ingin bertanya, tapi kemudian ia ingat, suaranya hilang. Entah apa yang sudah dilakukan sosok tinggi di hadapannya itu terhadap lehernya.

“Nah kau...”

Keduanya sama-sama terpaku saat sosok tinggi itu mebalikkan badan menghadap ke arah Ambrosia. Baik Ambrosia maupun pria itu begitu terpana melihat kehadiran satu sama lain.

’Ya ampun! Tampan sekali!’

Mulut Ambrosia ternganga melihat wajah sosok itu, sungguh jauh lebih tampan dari yang dibayangkan Ambrosia saat ia mendengar suaranya. Matanya dengan sorot dalam dan tajam menatap Ambrosia, berbingkai alis mata lebat. Hidung yang tinggi dan lurus, begitu pas dengan garis bibir tegas dan maskulin. Tulang pipinya menyiratkan ketampanan khas seorang lelaki. Sementara tubuhnya begitu atletis dengan torso yang tercetak jelas dalam balutan kaus turtle neck berwarna hitam. Tingginya yang menjulang begitu proporsional dan gagah membuat siapapun akan merasa aman jika berada di dekatnya.

”Andriana...?”

Ambrosia mengerutkan alisnya, mendengar pria itu menyebutnya Andriana. Sekali lagi ia ingin bertanya, namun lagi-lagi, suaranya belum juga keluar.

”Ah, ma’af,”

Sosok maskulin itu pun kembali menyentak lembut pangkal lehernya, segera saja perasaan hangat melingkupi tenggorokan Ambrosia, seakan ada cairan naik perlahan membasahai kerongkongannya. Ambrosia berdehem dan ternyata suaranya telah kembali.

”Anda siapa? Kenapa Anda membantu kami? Apakah Anda tahu siapa yang memburu kami tadi?”

’Bahkan suaranya pun mirip dengan Andriana,’ batin Aiden mendesah resah.

”Paman ini namanya Aiden, kak. Dia adalah pelindungku setelah kakak Andriana tidak ada,”

Ambrosia tidak mengerti dengan apa yang disampaikan Kene padanya.

”Jadi, kau sudah kenal dengan... orang ini?”

Kene mengangguk tegas mengiyakan pertanyaan Ambrosia.

”Iya, dulu di setiap malam purnama, kakak Andriana selalu datang dalam mimpi ku untuk menjaga aku, tapi sejak beberapa waktu lalu, paman Aiden yang menggantikannya,”

Ambrosia semakin bingung dan wajahnya mejadi aneh karena rasa bingungnya itu.

’Andriana, mungkinkah dia saudara kembarmu seperti yang pernah disampaikan Ondien kepadaku?’ kembali batin Aiden mendesah. Kerinduannya akan kehadiran Andriana tiba-tiba terasa begitu kuat mengigit nuraninya ketika ia melihat sosok Ambrosia berdiri di hadapannya.

”Kene, sudah, nanti kakak...”

”Ambrosia, namanya Ambrosia, paman Aiden,” sergah Kene menjawab kalimat Aiden yang menggantung ragu.

”Ya, kakak Ambrosia jadi bingung. Biar lain waktu paman Aiden yang jelaskan pada kakak Ambrosia ya?” Aiden tersenyum pada bocah laki-laki yang kini mengangguk kuat-kuat.

”Nah, Ambrosia, perkenalkan, aku Aiden. Nanti kita akan lebih sering bertemu lagi satu sama lain. Sekarang, ajaklah Kene masuk, pada bulan mati seperti ini di luar terlalu berbahaya bagi Kene dan dirimu,”

Seakan ada tangan magis yang menghela punggungnya, Ambrosia hanya mampu mengangguk dan kemudian membuka pagar kayu setinggi 150 cm bercat putih itu. Seiring langkahnya bersama Kene memasuki pagar yang terbuka, kelebat angin terasa menerpa punggungnya.

Ambrosia membalikkan badan. Ternyata Aiden telah pergi, meninggalkan sejuta tanya di hati Ambrosia.


= # =

Aiden menatap sosok Ambrosia dan Kene menghilang di balik pagar putih. Hatinya masih berdegup kencang mengingat perjumpaan dengan Ambrosia. Ia masih setengah percaya setengah tidak bahwa itu adalah Ambrosia bukan mendiang Andriana.

Pekik elang dan geraman macan kumbang menyadarkan Aiden bahwa ia tidak sendiri.

”Iya Storm, Thor, ia bukan Andriana, tapi mirip sekali ya? Aku sampai berpikir, itu tadi Andriana yang bangkit dari abu kematiannya,”

Kembali Storm berpekik dan Thor menggeram, seakan mengiyakan ucapan Aiden.

Mereka bertiga masih bertengger di dahan pohon, lekat menatap ke arah pagar putih yang melingkari kediaman Kene. Bersikap waspada dan berjaga-jaga terhadap munculnya kejutan-kejutan yang tidak diinginkan. Dan mereka masih di sana untuk beberapa lama, diam mengamati hingga lampu-lampu utama kediaman Kene di matikan, menyisakan pendar lembut lampu taman yang masih menyala.

”Ayo Thor, Storm, malam ini cukup sudah tugas kita,”

Aiden menggamit tengkuk Thor dan membelai lembut sayap Storm, mengajak kedua hewan itu berlalu dari tempat penjagaan mereka. Sejenak Aiden berpaling, memandang jauh, berusaha menembus kegelapan malam dengan mata hitam batubaranya, berharap bisa melihat sosok Ambrosia, untuk sedikit mengenang Andriana.

= # =

Ia terus berlari, makin kencang untuk memperlebar jarak antara dirinya dan sekelompok orang tak dikenal berjubah hitam yang mengejar dirinya. Hatinya berdegup kencang penuh rasa ketakutan. Peluh membanjiri punggung dan dahinya. Nafasnya tersengal-sengal. Tenaganya sudah hampir habis dan rasanya ia tak sanggup berlari lagi. Hatinya setengah putus asa mencari celah untuk bersembunyi demi menghirup sejenak nafas.

”Tidak!”

Sebuah tangan menangkap dirinya hingga membuatnya terjerembab. Ia telah tertangkap. Seperti seekor kelinci yang terperangkap dalam kungkungan segerombolan serigala pemburu yang kepalaran.

Ia merasakan sebuah tangan kasar membekap mulutnya yang berteriak memberontak. Sementara tangan yang lain menelikung tangannya ke belakang punggungnya, menimbulkan rasa nyeri akibat sendi yang terpuntir paksa. Kakinya yang menendang-nendang kalut pun menjadi tak berdaya karena di tindih tubuh berat dan bau. Tak lama sebuah ikatan menyakitkan terasa membelenggu pergelangan kakinya, membuatnya meringis kesakitan.

”Bawa dia!”

Suara kasar, mirip geraman terdengar dari sosok berjubah hitam. Dia mencoba berontak, namun ia sungguh tak berdaya. Matanya nanar mencari-cari obyek penglihatan dan hatinya tercekat mendapati mata hitam kelam dengan bagian yang seharusnya putih tampak merah sepekat darah segar, dan mata itu menatapnya tajam. Seakan hendak memotong dirinya dengan tajamnya sorot mata yang dilontarkannya. Merasai ketakutan yang dipancarkan dari sorot matanya, makhluk itu pun meyeringai lebar, menampakkan gigi-gigi tajam hitam dan bau yang sangat menyengat. Ia pun menjerit dalam diamnya.

Ia tersentak.

Lagi-lagi mimpi itu menghantui tidurnya. Semenjak kejadian yang melibatkannya bersama Kene di lepas pantai, seringkali mimpi buruk itu hadir di setiap tidurnya. Hatinya masih berdegup kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata. Seakan-akan merupakan bagian kejadian di kehidupan yang ingin dilupakannya. Ambrosia terduduk dari tidurnya. Menutup wajahnya dan berusaha mengusir bayangan buruk akan mimpi yang baru dialaminya.

--> to be continued

2 komentar:

  1. lho koq udah habis ya ?#$#%%??
    persaan baru baca...piiisss sis

    BalasHapus
  2. Kyaaaaa....!!! Yg aku tunggu - tunggu dengan sangaattt...!!! Bagus...bagus...!!! Ambrosia spt nama salah 1 tumbuhan dlm legenda Yunani yg katanya bisa buat manusia punya eternal life kan? Kalo bener Ambrosia & Andrianna twin sister, gimana ceritanya kok Ambrosia kayaknya rada gak ngeh tuh sama Aiden? *rini*

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-