Selasa, 24 April 2012

Cerita Cinta #4

Gading menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok taksi yang membawanya menuju bandara Soekarno-Hatta. Entah mengapa, rasa penat tiba-tiba menyergap tubuhnya, seakan diperas tenaganya habis-habisan.

Terbayang di benaknya berbagai peristiwa yang menghampiri kehidupannya beberapa waktu terakhir ini. Dari mulai desas desus rencana pertunangannya yang entah disetujuinya atau tidak. Bima yang bersikap impulsive dengan mencium bibirnya. Hingga kedatangan eyangnya beserta keluarga pakde Bernowo yang maju lebih awal dari rencana sebelumnya. Belum lagi urusan desain interior dari klien yang berkali-kali revisi. Rasanya seperti ada ribuan mobil kecil berseliweran di dalam otak Gading. Menciptakan jalur tak tentu arah dan kegaduhan luar biasa.

Gading menghela nafas panjang. Mata besarnya menerawang jauh, menembus kaca jendela taksi yang menyajikan pemandangan biasa kota Jakarta, macet dan polusi.

“Ke terminal berapa, bu?”

Suara ramah pengemudi taksi menyadarkan Gading dari lamunan kosongnya.

“Oh, ke Terminal 2F, pak,”

“Mau jemput atau berangkat, bu?”

Kembali suara bersahabat sang sopir taksi menghentikan otak Gading untuk mengembara lebih jauh. Gading menatap ke arah spion dan matanya bertemu dengan tatapan ramah dari sang sopir yang beridentitas Efendi itu.

“Jemput pak, eyang dari Jogja,”

“Wah, seneng pastinya ya bu, ada kerabat yang berkunjung,”

Gading kembali menatap sekilas ke arah spion, dan tersenyum, yang ia tahu, pasti sangat hambar terlihat.

”Begitulah,”

Sang pengemudi taksi tersenyum mahfum, berdasar pengalamannya selama 10 tahun sebagai sopir taksi, dengan sekilas membaca gesturenya, penumpangnya kali ini sedang tidak ingin diganggu.

Pikiran Gading kembali mengembara. Kali ini terpusat pada pembicaraannya dengan bundanya saat ia akan sarapan pagi.

”Gading,”

“Dalem, bunda?”

Gading menatap ke arah bundanya yang sudah tampak rapi dalam balutan gaun hijau terusan bermotif mawar. Di belakangnya tampak Lembayung melintas menuju ruang tengah, juga telah rapi dengan balutan celana jeans rancangan desainer dan plaid shirt warna marun.

“Bunda mau pergi sama Mbayung?”

“Nah, makanya bunda mau bicara sama kamu. Eyang dan pakde Bernowo mempercepat kedatangan mereka ke Jakarta,”

“Kapan eyang datang, bunda?”

“Hari ini, jam 2,”

Nyaris saja Gading tersedak teh tarik hangat yang tengah disesapnya.

“Hari ini?”

“Iya, dan semalam eyang sudah wanti-wanti, supaya kamu ikut ke bandara, karena Pramudya juga akan ikut menjemput,”

Gading tercekat, rupanya eyangnya benar-benar serius dengan rencana perjodohan ini. Segigit kue lupis bercampur gula jawa yang legit terasa hambar dan mengganjal di tenggorokan.

“Tapi, jam 10 nanti Gading ada presentasi dengan ibu Yuna,”

“Ya sudah, pokoknya iso ora iso kudu iso, eyang putri sudah wanti-wanti, sampai telepon berkali-kali ke bunda. Ya wis, bunda mau jalan sama Lembayung beli beberapa keperluan catering, nanti ketemuan di bandara saja, terminal 2F ya,”

Gading hanya mampu mengangguk dan menjawab lirih, mengiringi langkah kaki bundanya yang beranjak meninggalkannya. Sementara di belakang bundanya, tampak Lembayung tersenyum jahil ke arahnya dengan pandangan mata yang membuat Gading kesal bukan kepalang pada gadis tinggi semampai itu.

Suara derum mesin berkekuatan 193hp menelusup ke dalam taksi, menyentak lamunan Gading. Ia begitu familiar dengan suara tarikan motor besar itu. Hanya satu orang yang dikenalnya begitu khas dalam mengemudikan kendaraan.

’Bima!’

Segera saja kepalanya yang bermahkotakan rambut ikal mayang berputar, mencari arah suara. Benar saja, tepat di sebelah kiri, motor besar berplat nomor B1MA melintas, membelah kepadatan lalu lintas dengan lincahnya dan berhenti tepat di depan taksi Gading, sama-sama menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

Untuk sesaat Gading terpaku. Matanya menatap lurus ke arah punggung lebar yang tampak membungkuk di atas jok motor. Sosok Bima tampak begitu gagah dan maskulin, duduk di atas jok motor besarnya seakan kstaria Pandawa yang duduk di atas pelana kuda perangnya. Apalagi jika orang bisa melihat menembus kaca helm full face yang menutupi wajah tampannya. Tak pelak, semua akan menyetujui, bahwa Bima adalah sosok gagah dan luar biasa tampan.

Tak bisa dicegah, jantung Gading berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya berdebar tak menentu. Perlahan namun pasti, gambaran sosok Bima yang sangat dikenalnya tercetak jelas dalam layar benaknya. Posturnya. Cara berjalannya. Gaya bicaranya. Senyumnya yang terkesan sinis. Dan pandangan tajam matanya yang seakan mampu menyihir siapapun untuk tunduk di bawah tatapannya.

Refleks, Gading meraih smart phone miliknya, berniat menelpon sosok yang berhenti tak sampai sepuluh meter di depan taksi yang ditumpanginya. Ia tahu, kebiasaan Bima selalu mengenakan head set di balik helm full face yang melindungi kepalanya, sehingga dia selalu siap dihubungi oleh para relasi setiap saat.

Namun, seketika gerakan jari lentik Gading terhenti, matanya terpaku pada foto profile Bima yang terpampang pada layar smart phone, menatap lurus ke arahnya dengan mata elangnya. Tak pelak, kenangan akan malam itu membayang dalam ingatan Gading. Malam dimana Bima bersikap begitu berbeda kepadanya, dan mencium bibirnya demikian lembut dan intim. Perasaan Gading jadi tak menentu. Alih-alih merasa muak seperti reaksi awalnya, ia justru merindukan momen itu kembali. Dan ketika Gading masih asyik dalam ketermanguannya, lampu lalu lintas telah menyala hijau, membawa Bima memacu motor besarnya, tanpa menyadari bahwa seorang Gading berada begitu dekat dengan dirinya.


= # =
Langkah kakinya yang berbalut sepatu Dior for Homme mengkilat, mantap di antara ramainya orang di terminal kedatangan domestik. Wajah tampan berhias bibir dengan garis yang begitu angkuh tampak serius seolah tak peduli pada tatapan penasaran setiap orang yang berpapasan dengannya. Posturnya yang proporsional berbalut setelan kerja trendy serta potongan gaya khas pria metroseksual Jakarta yang mapan, mampu mencuri perhatian siapapun.

Ia tak peduli semua itu. Matanya yang tertutup kacamata hitam keluaran Police mencari-cari di antara sekian banyak orang yang keluar dari arrival lounge terminal 2F. Ia pun mempercepat langkah ketika mendapati yang dicarinya. Rombongan kecil yang tampak saling bertukar peluk dan cium, tanda pertemuan mereka.

”Eyang Hastuti, Bapak, Ibu, sugeng rawuh,”

Perhatian rombongan kecil itu segera terpecah oleh kehadirannya. Semua anggota rombongan kecil itu tersenyum sumringah menyambut kedatangaannya, tak terkecuali Lembayung. Namun alis gadis ayu itu sedikit mengerenyit ketika melihat sosok laki-laki dandy ini, ia merasa seperti pernah bertemu dengan lelaki ini di sebuah tempat. Hanya dia lupa dan akhirnya memilih untuk mengacuhkan ingatan samar-samarnya.

”Iki Pramudya toh? Biyuh-biyuh... Piye kabarmu cah bagus?”

Terdengar suara anggun eyang Hastuti menyapa sang pria, yang tak lain adalah Pramudya. Pria tampan itu tersenyum, melepas kacamata hitamnya dan tersenyum semakin lebar.

”Pangestu, eyang Hastuti. Eyang? Sehat?”

Pramudya meraih tangan eyang Hastuti dan menciumnya takdzim, layaknya eyangnya sendiri, membuat wanita sepuh itu tersenyum senang. Setelahnya ia mencium pipi ayah ibunya, yang tersenyum senang dan bangga melihat putra kesayangan mereka.

”Anakmu pancen bagus tenan Bernowo, Lastri. Biarpun sudah melanglang buana dan  jadi warga metropolitan, masih menjaga sopan santun Jawa,” di akhir kalimatnya, sang eyang putri melirik tajam ke arah Lembayung. Membuat gadis berpawakan semampai itu diam-diam mengeluh dalam hati, belum apa-apa eyang putrinya sudah mengkritiknya di depan umum.

”Bulik Mirna,“

Pramudya kemudian menyalami bunda Lembayung, mencium tangannya. Dan ketika pandangan beralih ke sebelah ibu Mirna.

”Ini...?”

”Ini Lembayung, anak bulik yang bungsu,”

Terdengar suara ibu Mirna menjawab tanya Pramudya. Lembayung pun tersenyum dan menjabat tangan Pramudya yang terulur ke arahnya, berusaha ramah di bawah tatapan angkuh penuh penilaian.

”Apa kabar, mas?”

”Baik, kamu sekarang beda banget ya? Sampai pangling aku,”

Lembayung hanya tersenyum menimpali pertanyaan Pramudya, entah mengapa ada sesuatu yang membuat Lembayung enggan berbasa-basi dengan laki-laki ini. Terlepas dari rumor dia akan dijodohkan dengan Gading kakaknya, Lembayung merasakan ada sesuatu yang janggal dari sosok Pramudya. Namun, Lembayung berusaha mengabaikannya, berkesimpulan itu semua hanyalah memang rasa tidak suka yang sudah dirasakannya terhadap Pramudya sejak ia masih kanak-kanak. Lembayung cepat-cepat melepaskan jabatan tangan Pramudya yang terasa lebih erat dari seharusnya. Sementara Pramudya menyunggingkan senyum samar, menyadari keengganan Lembayung.

”Oh ya, kalau tidak salah, masih ada putri bulik satu lagi kan? Dik Gading?”

”Gading? Tadi dia masih ada presentasi ke klien, katanya habis presentasi dia akan langsung meluncur ke mari,” terang ibu Mirna.

”Ora sabar ketemu Gading toh Pram?” kali ini ibu Lastri, ibunya sendiri bertanya dengan intonasi sedikit menggoda kepada Pramudya yang tersenyum salah tingkah menanggapi pertanyaan ibunya.

”Hahahahahaha, wis tho bu, lagi ketemu kok yo wis digojeki toh? Piye kabarmu le? Sehat?”

”Pangestu, pak,” Pramudya mengangguk dan tersenyum penuh rasa terima kasih pada ayahnya yang telah menyelamatkannya dari godaan ibunya.

Dan tak berapa lama pun mereka semua asyik dalam perbincangan seputar kehidupan Pramudya selama ini, sesekali menanyakan tentang Lembayung namun eyang Hastuti selalu berhasil membelokkan pembicaraan untuk terfokus kembali pada cerita kehidupan Pramudya. Diam-diam Lembayung mencibir setiap melihat tingkah polah Pramudya yang dirasakannya berlebihan, sedikit mendekati seorang penjilat yang berusaha menyenangkan orang lain untuk meraih apa yang diinginkannya. Makin mengentalkan perasaan tidak suka di masa kanak-kanaknya terhadap sosok Pramudya yang begitu membanggakan status priyayinya.

”Ah, itu Gading!”

Semua kepala yang asyik berbincang menoleh ke arah yang di lihat ibu Mirna. Tampak Gading tengah turun dari taksi dan berjalan menuju arah mereka dengan senyum tersungging. Pandangan mata Pramudya yang penuh penilaian menatap lekat ke arah Gading yang beranjak semakin dekat.

”Eyang, pakdhe, budhe,” silih berganti Gading menyalami dan mencium tangan masing-masing tamu yang sengaja mereka jemput. Khusus untuk eyangnya, tak lupa Gading mencium kedua belah pipinya.

”Kowe iki tekan ngendi toh, nduk ayu? Mosok sampe Pramudya mesti nunggu kowe? Eyang sudah khawatir kamu memang sengaja tidak datang jemput eyang,”

Teguran halus eyang putrinya mengingatkan Gading, bahwa selain pakdhe Bernowo dan budhe Lastri, ada seorang lagi yang harus ia temui, yaitu Raden Pramudya Adi Laksono.

”Ngapunten eyang, dalem tadi ada presentasi dengan klien yang tidak bisa ditinggalkan,”

”Yo wis, ora opo-opo cah ayu, kuwi lho, Pramudya,”

Gading pun berpaling ke arah pria yang sedari tadi memandangnya lekat. Mengamati dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala, seakan-akan Gading seperti barang antik yang perlu ditaksir seberapa besar nilainya untuk dilempar di pasar lelang. Bagi eyang Hastuti, tatapan Pramudya dianggapnya sebagai rasa ketertarikan yang besar terhadap Gading, sementara di mata Lembayung dan Gading, tatapan Pramudya lebih mengarah ke sikap melecehkan jika tidak bisa dikatakan sebagai sikap kurang ajar.

Demi sopan santun, Gading tersenyum dan mengulurkan tangan pada Pramudya.

”Mas Pram, apa kabar?”

”Dik Gading, berubah sekali ya? Aku pangling lho... Lebih-lebih melihat Lembayung,“

”Biasa saja mas, justru saya lihat mas Pram yang banyak berubah,“

Apa yang dikatakan Gading adalah benar adanya. Dulu, di mata Gading remaja Pram tampak bersahaja sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa dari kota Jogja walau ada bibit-bibit keangkuhan akibat status kepriyayiannya, namun justru hal itulah yang sempat membuat Gading merasakan kehangatan cinta remaja pada seorang Pramudya.

Kini semua begitu berbeda. Pramudya yang bersahaja sudah bertransformasi menjadi lelaki metroseksual khas ibukota dengan segala macam atributnya. Bahkan, keangkuhannya terasa makin kental dibalut sikap manis basa-basi khas Pramudya.

Gading menghela nafas perlahan. Dipandanginya sosok Pramudya yang begitu rapi dan trendy. Diam-diam ia mencoba menggali perasaan cinta lama yang dulu pernah tumbuh dalam hatinya untuk Pramudya, dan Gading meyakini perasaan cinta masa remaja nya itu sudah menguap. Berganti dengan perasaan cinta dewasa terhadap seseorang. Gading tersentak akan kesadaran yang tiba-tiba muncul dari pemikirannya sesaat. Benarkah ia mencintai seseorang? Bima kah orangnya?

”Bener lho dik Gading, sekarang tampak lebih dewasa dan apa ya... Georgoeus tepatnya,”

’Gading, you looks georgeous!’

Gading tertegun. Goergeous, kata-kata yang begitu akrab ditelinganya. Namun hanya satu orang yang sering mengatakan begitu padanya. Bima.

“Gading? Ono opo nduk?”

Gading tersentak, tanpa sadar ingatannya terbawa pada sesosok pria yang begitu dekat dengannya, yang begitu wajar mengucapkan betapa menawannya dirinya. Sungguh berbeda jauh dengan sosok yang kini tepat berada di hadapannya.

“Dik Gading? Ada masalah?”

“Oh, tidak mas Pram, tidak apa-apa… Ma’af, tadi saya teringat pekerjaan,”

“Oh kirain ada apa,” kembali senyum ala iklan pasta gigi mengembang di wajah aristokrat Pramudya.

“Nah, ini sekarang enaknya bagaimana? Kalian jadi mampir ke tempat Mirna toh?”

Terdengar suara eyang Hastuti memecah perhatian, membuat Lembayung dan Gading refleks saling berpandangan penuh isyarat.

”Iya lho mbakyu Lastri, monggo pinarak ke gubuk saya,” bu Mirna pun menimpali, membuat Lembayung dan Gading kembali saling berpandangan. Gading dengan sorot mata keberatan, Lembayung dengan sorot mata menggoda pada kakaknya.

’Rasain lo mbak’

Gading mendelik tak kentara pada Lembayung yang tersenyum jahil.

”Jeng Mirna ini bisa saja lho budhe Hastuti, sudah sukses jadi juragan catering kok ya masih bilang punyanya gubuk toh. Ya sudah tentu kami pasti mau mampir, apalagi sebentar lagi kita jadi keluarga kan,”

Gading tersedak nafasnya sendiri mendengar ucapan budhe Lastri. Meski dia sudah menduga-duga , namun tak urung hatinya kaget juga. Tanpa sadar Gading melirik ke arah Pramudya, entah karena pengaruh cuaca yang begitu terik atau apa, tampak sedikit merona pipinya mendengar apa yang dikatakan ibunya.

Sementara itu, eyang Hastuti hanya tersenyum simpul melihat reaksi Gading dan Pramudya. Di mata tuanya, belaiu beranggapan, reaksi Gading dan Pramudya tak ubahnya seperti sepasang kekasih yang malu-malu akan perjodohannya.

”Ya sudah, kalau begitu, awakmu sama Bernowo ikut aku di mobil Mirna dan Lembayung, biar barang-barang kalian masuk mobil Pramudya. Oh ya Gading, kamu temani Pram yo, sebagai penunjuk jalan. Titip Gading ya Pram,”

”Sendiko, eyang,”

Belum sempat Gading menjawab melontarkan keberatannya atas pengaturan akomodasi yang dilakukan eyangnya, semua orang sudah sibuk sendiri-sendiri dengan barang bawaan mereka. Bahkan ketika ia melihat ke arah Lembayung untuk meminta pertolongan, adik kesayangannya itu bersikap pura-pura tidak tahu. Sungguh situasai yang sangat menyebalkan bagi Gading.

Tanpa sadar ia menghembuskan nafas, belum ada satu jam eyang putrinya tiba di Jakarta, tapi sudah mampu mengendalikan semua orang.

”Dik Gading, aku ambil mobil dulu ya,”

”Oh, iya mas, silahkan,” terbata-bata Gading menjawab Pramudya yang beranjak pamit ke arah area parkir untuk mengambil mobil.

”Good luck ya, mbak!”

Sebuah tepukan di bahunya, diiringi aroma parfum khas Lembayung membuat Gading refleks mencibir pada wajah bermake-up simple itu.

”Awas kamu ya!” desisnya. Dan Lembayung pun tertawa renyah menanggapi ancaman geram Gading, sambil menghindari cubitan kakaknya.

”Kabarmu piye, cah ayu?”

Suara lembut eyang putrinya menyadarkan Gading dari rasa kesal yang tengah melandanya akibat kelakuan Lembayung.

”Oh eyang. Baik eyang. Eyang bagaimana? Pasti capek terbang dari Jogja ke Jakarta,”

”Ya begini ini lah eyangmu ini, maklum sudah tua. Ngomong-ngomong, piye Pramudya? Tambah gagah dan bagus toh?”

Gading memandang lurus ke arah eyangnya yang menatap ke arahnya penuh harap akan jawaban yang memuaskan. Ia tahu, eyangnya berharap ia terkesan pada Pramudya. Jika saja ia bertemu  dengan Pramudya 10 tahun yang lalu, ia pasti akan menjawab spontan bahwa Pramudya adalah pria paling top di antara pria yang pernah ditemuinya. Mungkin perjodohan yang direncanakan eyangnya juga didasarkan pada perasaan cinta monyet mereka berdua di waktu yang silam.

Namun, kini semuanya sudah jauh berbeda. Perasaan kagumnya pada Pramudya menguap seiring berjalannya waktu. Ditambah lagi perubahan pada diri Pramudya yang dirasa Gading tidak akan disukainya. Bukan hanya Pramudya yang jauh berubah di mata Gading, tapi Gading sendiri merasakan, dirinya juga sangat jauh berubah. Perubahan yang sangat mendasar, tidak dipungkiri olehnya, hatinya telah tercuri. Dan bukan Pramudya pencurinya.

”Nduk?”

Sentuhan lembut tangan halus eyangnya, menyadarkan Gading.

”Yah, mas Pram baik eyang, ganteng dan sepertinya juga sudah mapan,”

”Terus? Bukannya dulu kalian sempat deket  kan?”

”Itu kan dulu eyang, jaman-jaman masih ingusan. Memangnya kenapa eyang?”

Eyangnya hanya tersenyum singkat menanggapi pertanyaan Gading, dan seakan waktu tak berpihak kepadanya, Kijang Innova milik Lembayung telah sampai, siap dinaiki rombongan dari Jogja. Sementara di belakangnya, BMW hitam metalik keluaran terbaru meluncur mulus dan berhenti tepat di belakang mobil Lembayung.

Melihat siapa yang berada di balik kemudi mobil mewah itu, diam-diam Gading meringis. Ia sudah menduga, seorang Pramudya tidak akan pernah tanggung-tanggung menunjukkan siapa dirinya. Dulu saja, Pram selalu tampil rapi dan terlihat eksklusif, apalagi sekarang, saat sepertinya dunia sudah berada dalam genggamannya. Sungguh jauh berbeda dengan Bima. Lagi-lagi Gading meringis kecil. Tanpa berniat membandingkan keduanya, namun tak bisa dicegah, alam bawah sadarnya langsung membandingkan keduanya.

”Gading, kamu sama Pramudya ya, budhe sama pakdhe nderekke eyangmu,”

”Iya Gading, biar enak kamu ngobrolnya sama Pramudya, kan sudah lama tidak ketemu,”

Gading hanya mengangguk pasrah menyaksikan seluruh rombongan masuk ke dalam mobil silver stone itu.

”Mari, dik Gading,”

Sejenak Gading terpaku melihat sikap gentleman Pramudya. Lagi-lagi, mengingatkannya pada Bima, namun pada situasi dan kondisi yang jauh berbeda.

Perlahan Gading pun masuk ke dalam mobil berinterior lux itu dan duduk di jok dengan lapisan kulit lembut.

Dentuman lembut tanpa pintu tertutup menyadarkan Gading, Pramudya telah duduk di kursi pengemudi dan dengan sigap mulai mengemudikan sedan mewah itu. Alunan musik khas clubbing terdengar mengalun, entah aransemen DJ siapa, hanya saja Gading merasa agak terganggu dengan genre musik yang didengarnya saat ini.

”Sudah lama sekali ya dik Gading, kita tidak bertemu,”

Suara Pramudya memecahkan balon lamunan Gading, membuatnya tersadar, bahwa saat ini ia tengah bersama seorang Pramudya, sosok pria yang sudah 10 tahun ini tidak dijumpainya.

”Iya mas,”

”Berapa lama ya? 10 atau...?”

”Tak lebih dari 10 tahun, mas,”

”Wah, sudah lama juga ya,”

Gading tersenyum tipis menanggapi Pramudya. Entah mengapa, perasaan enggan semakin menggedor-gedor hatinya. Tidak nyaman dan seperti ada yang salah dengan semua ini.

= # =

Bima memacu motor besarnya melintasi jalanan padat. Beruntung hari ini dia memutuskan untuk mengendarai motor kesayangannya ini, sehingga dia bisa lebih cepat mencapai berbagai tempat yang menjadi tujuannya.

Lalu lintas yang begitu padat, memaksa Bima memperlambat laju tekanan gas di tangan kanannya. Perlahan namun pasti ia meluncur membelah jalan bersama para pengendara motor yang lain. Dan akhirnya, baik para pengendara motor pun harus berhenti karena begitu banyaknya kendaraan yang ingin melintas. Ditambah lagi dengan adanya sebuah metromini yang memutar balik, membuat lalu lintas terhenti.

Bima menarik nafas panjang, berusaha menyabarkan hati dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang selalu mampu membuat tekanan darah naik. Bima menggerakkan tubuhnya, meregangkan otot-otot punggungnya, sedikit mengedarkan pandangannya ke kepadatan lalu lintas di sekitarnya. Dan matanya menangkap sosok itu. Walaupun tersamarkan oleh kaca film 70, mata tajam Bima mampu mengenali sosok itu hanya dalam sekali lihat. Sosok yang selama beberapa hari terakhir ini menghiasi pikirannya.

’Gading!’

Bima mengamati Gading yang tampak tengah tertawa bersama lawan bicaranya. Setengah mati Bima berusaha melihat siapa yang duduk di balik kemudi BMW seri 335i itu, namun sayang, jarak mereka yang terbatas dua mobil lainnya, membuat Bima kesulitan melihat. Yang bisa Bima lihat, Gading bersama dengan seorang pria dan pria itu bukan dirinya.

Rasa nyeri berdenyut di dada Bima, membayangkan berbagai kemungkinan tentang siapa pria yang kini duduk dan tertawa-tawa bersama Gading dalam sedan mewah hitam metalik itu.

Hati Bima resah.

Mungkinkah pria itu yang menjadi alasan Gading murka akan perlakuannya malam itu? Apakah sekarang Gading sudah mempunyai kekasih dan dia dengan bodohnya tidak mengetahuinya?

Suara klakson yang begitu keras menyadarkan Bima. Rupanya kepadatan lalu lintas mulai terurai dan bertepatan dengan persimpangan jalan, BMW hitam metalik itu berbelok ke arah yang berlawanan arah dengan Bima. Tak memberi kesempatan sedikit pun bagi Bima untuk melihat dengan jelas, siapa pria yang tengah bersama Gading.

--> to be continued

14 komentar:

  1. yaaah, kurang banyak mbak. Tambaaaaah.
    Makin ga sabar baca lanjutannya, mdh2n Gading ga jd dijodohkan sm Pramudya.

    BalasHapus
  2. Kuraaaaangggg....
    Go Bima..go Bima..go...
    Tq Feater Pen, TBC-nya jgn lama2 yah..^^

    BalasHapus
  3. T.T kurannngggg banget mommie >.<
    padahal kita udah nunggu lamma banget innih gading bima
    belum puassss
    pengen scene gading bima setelah insiden kissu kissu ^_^

    BalasHapus
  4. kurang...kurang...kurang banyak apdetny

    BalasHapus
  5. ini cuman satu tarikan nafas bacanya, asli kurang, aqaqaq

    BalasHapus
  6. Please Gading, don't be stupid...and don't take stupid step by avoiding Bima and accept that wedding arrangement :( Miris bener deh rasanya ngeliat sedekat apa jarak mrk pas stuck di traffic light tapi kayak ada tembok yg gak keliatan yg ngalangin mrk :( *rini*

    BalasHapus
  7. Waaaa...!!! Ternyata sdh updateeee...!!! Thanks a lot feather pen :) Doohhh....Gading...!! Jgn cuma ngomong dalam hati donk ttg perasaan kamu. Say it to Bima,pleaseeee.....and say NO to pram!! *ikutan miris liatin Bima cuma bisa liat Gading dari jauh...hiks...* - rini -

    BalasHapus
  8. lembayung gali ingatanmu, siapa pramudya sebenarnya...
    gading jujurlah pada hatimu...
    bima...tetep berjuang....!!!!

    BalasHapus
  9. penasaran nie...
    Jgn menyerah bima dan gading

    lanjut lg

    BalasHapus
  10. ngebayangin penampilannya...sudah merasa sebel aja sama si pramudya
    aroma penipu-nya sudah kecium....hehehe....

    BalasHapus
  11. *tendang pramudya ke laut*

    *tendang bima ke samping ku* wekekeke..

    BalasHapus
  12. gimana kelanjutan kisah gading dan bima ya,,, ayo sis Feather pen,,,kapan mau di update?
    Mutia Na Rival

    BalasHapus
  13. Kapan mau diupdate lagi nih?....lama gak liat pergerakan kangen sangat dengan gading dan bima nya :)

    BalasHapus
  14. hmmm,,,yg ini belum ada lanjutannya ya,,, kangen sama bima ;(
    Mutia na rival

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-