Gading menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok taksi yang
membawanya menuju bandara Soekarno-Hatta. Entah mengapa, rasa penat tiba-tiba
menyergap tubuhnya, seakan diperas tenaganya habis-habisan.
Terbayang di benaknya berbagai peristiwa yang menghampiri kehidupannya
beberapa waktu terakhir ini. Dari mulai desas desus rencana pertunangannya yang
entah disetujuinya atau tidak. Bima yang bersikap impulsive dengan mencium
bibirnya. Hingga kedatangan eyangnya beserta keluarga pakde Bernowo yang maju
lebih awal dari rencana sebelumnya. Belum lagi urusan desain interior dari
klien yang berkali-kali revisi. Rasanya seperti ada ribuan mobil kecil
berseliweran di dalam otak Gading. Menciptakan jalur tak tentu arah dan
kegaduhan luar biasa.
Gading menghela nafas panjang. Mata besarnya menerawang
jauh, menembus kaca jendela taksi yang menyajikan pemandangan biasa kota Jakarta,
macet dan polusi.
“Ke terminal berapa, bu?”
Suara ramah pengemudi taksi menyadarkan Gading dari lamunan
kosongnya.
“Oh, ke Terminal 2F, pak,”
“Mau jemput atau berangkat, bu?”
Kembali suara bersahabat sang sopir taksi menghentikan otak
Gading untuk mengembara lebih jauh. Gading menatap ke arah spion dan matanya
bertemu dengan tatapan ramah dari sang sopir yang beridentitas Efendi itu.
“Jemput pak, eyang dari Jogja,”
“Wah, seneng pastinya ya bu, ada kerabat yang berkunjung,”
Gading kembali
menatap sekilas ke arah spion, dan tersenyum, yang ia tahu, pasti sangat hambar
terlihat.
”Begitulah,”
Sang pengemudi taksi
tersenyum mahfum, berdasar pengalamannya selama 10 tahun sebagai sopir taksi, dengan
sekilas membaca gesturenya, penumpangnya kali ini sedang tidak ingin diganggu.
Pikiran Gading
kembali mengembara. Kali ini terpusat pada pembicaraannya dengan bundanya saat
ia akan sarapan pagi.
”Gading,”
“Dalem, bunda?”
Gading menatap ke arah bundanya yang sudah tampak
rapi dalam balutan gaun hijau terusan bermotif mawar. Di belakangnya tampak
Lembayung melintas menuju ruang tengah, juga telah rapi dengan balutan celana
jeans rancangan desainer dan plaid shirt warna marun.
“Bunda mau pergi sama Mbayung?”
“Nah, makanya bunda mau bicara sama kamu. Eyang
dan pakde Bernowo mempercepat kedatangan mereka ke Jakarta,”
“Kapan eyang datang, bunda?”
“Hari ini, jam 2,”
Nyaris saja Gading tersedak teh tarik hangat yang
tengah disesapnya.
“Hari ini?”
“Iya, dan semalam eyang sudah wanti-wanti, supaya
kamu ikut ke bandara, karena Pramudya juga akan ikut menjemput,”
Gading tercekat, rupanya eyangnya benar-benar
serius dengan rencana perjodohan ini. Segigit kue lupis bercampur gula jawa
yang legit terasa hambar dan mengganjal di tenggorokan.
“Tapi, jam 10 nanti Gading ada presentasi dengan
ibu Yuna,”
“Ya sudah, pokoknya iso ora iso kudu iso, eyang
putri sudah wanti-wanti, sampai telepon berkali-kali ke bunda. Ya wis, bunda
mau jalan sama Lembayung beli beberapa keperluan catering, nanti ketemuan di
bandara saja, terminal 2F ya,”
Gading hanya mampu mengangguk dan menjawab lirih,
mengiringi langkah kaki bundanya yang beranjak meninggalkannya. Sementara di
belakang bundanya, tampak Lembayung tersenyum jahil ke arahnya dengan pandangan
mata yang membuat Gading kesal bukan kepalang pada gadis tinggi semampai itu.
Suara derum mesin
berkekuatan 193hp menelusup ke dalam taksi, menyentak lamunan Gading. Ia begitu familiar
dengan suara tarikan motor besar itu. Hanya satu orang yang dikenalnya begitu
khas dalam mengemudikan kendaraan.
’Bima!’
Segera saja
kepalanya yang bermahkotakan rambut ikal mayang berputar, mencari arah suara.
Benar saja, tepat di sebelah kiri, motor besar berplat nomor B1MA melintas,
membelah kepadatan lalu lintas dengan lincahnya dan berhenti tepat di depan
taksi Gading, sama-sama menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.
Untuk sesaat
Gading terpaku. Matanya menatap lurus ke arah punggung lebar yang tampak
membungkuk di atas jok motor. Sosok Bima tampak begitu gagah dan maskulin,
duduk di atas jok motor besarnya seakan kstaria Pandawa yang duduk di atas
pelana kuda perangnya. Apalagi jika orang bisa melihat menembus kaca helm full
face yang menutupi wajah tampannya. Tak pelak, semua akan menyetujui, bahwa
Bima adalah sosok gagah dan luar biasa tampan.
Tak bisa dicegah,
jantung Gading berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya berdebar tak
menentu. Perlahan namun pasti, gambaran sosok Bima yang sangat dikenalnya
tercetak jelas dalam layar benaknya. Posturnya. Cara berjalannya. Gaya
bicaranya. Senyumnya yang terkesan sinis. Dan pandangan tajam matanya yang
seakan mampu menyihir siapapun untuk tunduk di bawah tatapannya.
Refleks, Gading
meraih smart phone miliknya, berniat menelpon sosok yang berhenti tak sampai
sepuluh meter di depan taksi yang ditumpanginya. Ia tahu, kebiasaan Bima selalu
mengenakan head set di balik helm full face yang melindungi kepalanya, sehingga
dia selalu siap dihubungi oleh para relasi setiap saat.
Namun, seketika
gerakan jari lentik Gading terhenti, matanya terpaku pada foto profile Bima
yang terpampang pada layar smart phone, menatap lurus ke arahnya dengan mata
elangnya. Tak pelak, kenangan akan malam itu membayang dalam ingatan Gading.
Malam dimana Bima bersikap begitu berbeda kepadanya, dan mencium bibirnya
demikian lembut dan intim. Perasaan Gading jadi tak menentu. Alih-alih merasa
muak seperti reaksi awalnya, ia justru merindukan momen itu kembali. Dan ketika
Gading masih asyik dalam ketermanguannya, lampu lalu lintas telah menyala
hijau, membawa Bima memacu motor besarnya, tanpa menyadari bahwa seorang Gading
berada begitu dekat dengan dirinya.
= # =
Langkah kakinya
yang berbalut sepatu Dior for Homme mengkilat, mantap di antara ramainya orang
di terminal kedatangan domestik. Wajah tampan berhias bibir dengan garis yang
begitu angkuh tampak serius seolah tak peduli pada tatapan penasaran setiap
orang yang berpapasan dengannya. Posturnya yang proporsional berbalut setelan
kerja trendy serta potongan gaya khas pria metroseksual Jakarta yang mapan,
mampu mencuri perhatian siapapun.
Ia tak peduli
semua itu. Matanya yang tertutup kacamata hitam keluaran Police mencari-cari di
antara sekian banyak orang yang keluar dari arrival lounge terminal 2F. Ia pun
mempercepat langkah ketika mendapati yang dicarinya. Rombongan kecil yang
tampak saling bertukar peluk dan cium, tanda pertemuan mereka.
”Eyang Hastuti,
Bapak, Ibu, sugeng rawuh,”
Perhatian
rombongan kecil itu segera terpecah oleh kehadirannya. Semua anggota rombongan
kecil itu tersenyum sumringah menyambut kedatangaannya, tak terkecuali
Lembayung. Namun alis gadis ayu itu sedikit mengerenyit ketika melihat sosok laki-laki
dandy ini, ia merasa seperti pernah bertemu dengan lelaki ini di sebuah tempat.
Hanya dia lupa dan akhirnya memilih untuk mengacuhkan ingatan samar-samarnya.
”Iki Pramudya
toh? Biyuh-biyuh... Piye kabarmu cah bagus?”
Terdengar suara
anggun eyang Hastuti menyapa sang pria, yang tak lain adalah Pramudya. Pria
tampan itu tersenyum, melepas kacamata hitamnya dan tersenyum semakin lebar.
”Pangestu, eyang
Hastuti. Eyang? Sehat?”
Pramudya meraih
tangan eyang Hastuti dan menciumnya takdzim, layaknya eyangnya sendiri, membuat
wanita sepuh itu tersenyum senang. Setelahnya ia mencium pipi ayah ibunya, yang
tersenyum senang dan bangga melihat putra kesayangan mereka.
”Anakmu pancen
bagus tenan Bernowo, Lastri. Biarpun sudah melanglang buana dan jadi warga metropolitan, masih menjaga sopan
santun Jawa,” di akhir kalimatnya, sang eyang putri melirik tajam ke arah Lembayung.
Membuat gadis berpawakan semampai itu diam-diam mengeluh dalam hati, belum
apa-apa eyang putrinya sudah mengkritiknya di depan umum.
”Bulik Mirna,“
Pramudya kemudian
menyalami bunda Lembayung, mencium tangannya. Dan ketika pandangan beralih ke sebelah ibu Mirna.
”Ini...?”
”Ini Lembayung,
anak bulik yang bungsu,”
Terdengar suara
ibu Mirna menjawab tanya Pramudya. Lembayung pun tersenyum dan menjabat tangan
Pramudya yang terulur ke arahnya, berusaha ramah di bawah tatapan angkuh penuh
penilaian.
”Apa kabar, mas?”
”Baik, kamu
sekarang beda banget ya? Sampai pangling aku,”
Lembayung hanya
tersenyum menimpali pertanyaan Pramudya, entah mengapa ada sesuatu yang membuat
Lembayung enggan berbasa-basi dengan laki-laki ini. Terlepas dari rumor dia
akan dijodohkan dengan Gading kakaknya, Lembayung merasakan ada sesuatu yang
janggal dari sosok Pramudya. Namun, Lembayung berusaha mengabaikannya,
berkesimpulan itu semua hanyalah memang rasa tidak suka yang sudah dirasakannya
terhadap Pramudya sejak ia masih kanak-kanak. Lembayung cepat-cepat melepaskan
jabatan tangan Pramudya yang terasa lebih erat dari seharusnya. Sementara
Pramudya menyunggingkan senyum samar, menyadari keengganan Lembayung.
”Oh ya, kalau
tidak salah, masih ada putri bulik satu lagi kan? Dik Gading?”
”Gading? Tadi dia
masih ada presentasi ke klien, katanya habis presentasi dia akan langsung
meluncur ke mari,” terang ibu Mirna.
”Ora sabar ketemu
Gading toh Pram?” kali ini ibu Lastri, ibunya sendiri bertanya dengan intonasi
sedikit menggoda kepada Pramudya yang tersenyum salah tingkah menanggapi
pertanyaan ibunya.
”Hahahahahaha,
wis tho bu, lagi ketemu kok yo wis digojeki toh? Piye kabarmu le? Sehat?”
”Pangestu, pak,”
Pramudya mengangguk dan tersenyum penuh rasa terima kasih pada ayahnya yang
telah menyelamatkannya dari godaan ibunya.
Dan tak berapa
lama pun mereka semua asyik dalam perbincangan seputar kehidupan Pramudya
selama ini, sesekali menanyakan tentang Lembayung namun eyang Hastuti selalu
berhasil membelokkan pembicaraan untuk terfokus kembali pada cerita kehidupan
Pramudya. Diam-diam Lembayung mencibir setiap melihat tingkah polah Pramudya
yang dirasakannya berlebihan, sedikit mendekati seorang penjilat yang berusaha
menyenangkan orang lain untuk meraih apa yang diinginkannya. Makin mengentalkan
perasaan tidak suka di masa kanak-kanaknya terhadap sosok Pramudya yang begitu
membanggakan status priyayinya.
”Ah, itu Gading!”
Semua kepala yang
asyik berbincang menoleh ke arah yang di lihat ibu Mirna. Tampak Gading tengah
turun dari taksi dan berjalan menuju arah mereka dengan senyum tersungging. Pandangan
mata Pramudya yang penuh penilaian menatap lekat ke arah Gading yang beranjak
semakin dekat.
”Eyang, pakdhe,
budhe,” silih berganti Gading menyalami dan mencium tangan masing-masing tamu
yang sengaja mereka jemput. Khusus untuk eyangnya, tak lupa Gading mencium
kedua belah pipinya.
”Kowe iki tekan
ngendi toh, nduk ayu? Mosok sampe Pramudya mesti nunggu kowe? Eyang sudah
khawatir kamu memang sengaja tidak datang jemput eyang,”
Teguran halus
eyang putrinya mengingatkan Gading, bahwa selain pakdhe Bernowo dan budhe
Lastri, ada seorang lagi yang harus ia temui, yaitu Raden Pramudya Adi Laksono.
”Ngapunten eyang,
dalem tadi ada presentasi dengan klien yang tidak bisa ditinggalkan,”
”Yo wis, ora opo-opo
cah ayu, kuwi lho, Pramudya,”
Gading pun
berpaling ke arah pria yang sedari tadi memandangnya lekat. Mengamati dirinya
dari ujung kaki hingga ujung kepala, seakan-akan Gading seperti barang antik
yang perlu ditaksir seberapa besar nilainya untuk dilempar di pasar lelang.
Bagi eyang Hastuti, tatapan Pramudya dianggapnya sebagai rasa ketertarikan yang
besar terhadap Gading, sementara di mata Lembayung dan Gading, tatapan Pramudya
lebih mengarah ke sikap melecehkan jika tidak bisa dikatakan sebagai sikap
kurang ajar.
Demi sopan
santun, Gading tersenyum dan mengulurkan tangan pada Pramudya.
”Mas Pram, apa
kabar?”
”Dik Gading,
berubah sekali ya? Aku pangling lho... Lebih-lebih melihat Lembayung,“
”Biasa saja mas,
justru saya lihat mas Pram yang banyak berubah,“
Apa yang
dikatakan Gading adalah benar adanya. Dulu, di mata Gading remaja Pram tampak
bersahaja sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa dari kota Jogja walau ada
bibit-bibit keangkuhan akibat status kepriyayiannya, namun justru hal itulah
yang sempat membuat Gading merasakan kehangatan cinta remaja pada seorang
Pramudya.
Kini semua begitu
berbeda. Pramudya yang bersahaja sudah bertransformasi menjadi lelaki metroseksual
khas ibukota dengan segala macam atributnya. Bahkan, keangkuhannya terasa makin
kental dibalut sikap manis basa-basi khas Pramudya.
Gading menghela
nafas perlahan. Dipandanginya sosok Pramudya yang begitu rapi dan trendy. Diam-diam
ia mencoba menggali perasaan cinta lama yang dulu pernah tumbuh dalam hatinya
untuk Pramudya, dan Gading meyakini perasaan cinta masa remaja nya itu sudah
menguap. Berganti dengan perasaan cinta dewasa terhadap seseorang. Gading
tersentak akan kesadaran yang tiba-tiba muncul dari pemikirannya sesaat.
Benarkah ia mencintai seseorang? Bima kah orangnya?
”Bener lho dik
Gading, sekarang tampak lebih dewasa dan apa ya... Georgoeus tepatnya,”
’Gading, you looks
georgeous!’
Gading tertegun. Goergeous, kata-kata yang begitu akrab
ditelinganya. Namun hanya satu orang yang sering mengatakan begitu padanya.
Bima.
“Gading? Ono opo nduk?”
Gading tersentak, tanpa sadar ingatannya terbawa pada
sesosok pria yang begitu dekat dengannya, yang begitu wajar mengucapkan betapa
menawannya dirinya. Sungguh berbeda jauh dengan sosok yang kini tepat berada di
hadapannya.
“Dik Gading? Ada
masalah?”
“Oh, tidak mas
Pram, tidak apa-apa… Ma’af, tadi saya teringat pekerjaan,”
“Oh kirain ada apa,” kembali senyum ala iklan pasta gigi
mengembang di wajah aristokrat Pramudya.
“Nah, ini
sekarang enaknya bagaimana? Kalian jadi mampir ke tempat Mirna toh?”
Terdengar suara
eyang Hastuti memecah perhatian, membuat Lembayung dan Gading refleks saling
berpandangan penuh isyarat.
”Iya lho mbakyu
Lastri, monggo pinarak ke gubuk saya,” bu Mirna pun menimpali, membuat
Lembayung dan Gading kembali saling berpandangan. Gading dengan sorot mata
keberatan, Lembayung dengan sorot mata menggoda pada kakaknya.
’Rasain lo mbak’
Gading mendelik
tak kentara pada Lembayung yang tersenyum jahil.
”Jeng Mirna ini bisa
saja lho budhe Hastuti, sudah sukses jadi juragan catering kok ya masih bilang
punyanya gubuk toh. Ya sudah tentu kami pasti mau mampir, apalagi sebentar lagi
kita jadi keluarga kan,”
Gading tersedak
nafasnya sendiri mendengar ucapan budhe Lastri. Meski dia sudah menduga-duga ,
namun tak urung hatinya kaget juga. Tanpa sadar Gading melirik ke arah Pramudya,
entah karena pengaruh cuaca yang begitu terik atau apa, tampak sedikit merona
pipinya mendengar apa yang dikatakan ibunya.
Sementara itu,
eyang Hastuti hanya tersenyum simpul melihat reaksi Gading dan Pramudya. Di
mata tuanya, belaiu beranggapan, reaksi Gading dan Pramudya tak ubahnya seperti
sepasang kekasih yang malu-malu akan perjodohannya.
”Ya sudah, kalau
begitu, awakmu sama Bernowo ikut aku di mobil Mirna dan Lembayung, biar
barang-barang kalian masuk mobil Pramudya. Oh ya Gading, kamu temani Pram yo,
sebagai penunjuk jalan. Titip Gading ya Pram,”
”Sendiko, eyang,”
Belum sempat
Gading menjawab melontarkan keberatannya atas pengaturan akomodasi yang
dilakukan eyangnya, semua orang sudah sibuk sendiri-sendiri dengan barang
bawaan mereka. Bahkan ketika ia melihat ke arah Lembayung untuk meminta
pertolongan, adik kesayangannya itu bersikap pura-pura tidak tahu. Sungguh
situasai yang sangat menyebalkan bagi Gading.
Tanpa sadar ia
menghembuskan nafas, belum ada satu jam eyang putrinya tiba di Jakarta, tapi
sudah mampu mengendalikan semua orang.
”Dik Gading, aku
ambil mobil dulu ya,”
”Oh, iya mas,
silahkan,” terbata-bata Gading menjawab Pramudya yang beranjak pamit ke arah
area parkir untuk mengambil mobil.
”Good luck ya,
mbak!”
Sebuah tepukan di
bahunya, diiringi aroma parfum khas Lembayung membuat Gading refleks mencibir
pada wajah bermake-up simple itu.
”Awas kamu ya!”
desisnya. Dan Lembayung pun tertawa renyah menanggapi ancaman geram Gading,
sambil menghindari cubitan kakaknya.
”Kabarmu piye,
cah ayu?”
Suara lembut eyang
putrinya menyadarkan Gading dari rasa kesal yang tengah melandanya akibat
kelakuan Lembayung.
”Oh eyang. Baik
eyang. Eyang bagaimana? Pasti capek terbang dari Jogja ke Jakarta,”
”Ya begini ini
lah eyangmu ini, maklum sudah tua. Ngomong-ngomong, piye Pramudya? Tambah gagah
dan bagus toh?”
Gading memandang
lurus ke arah eyangnya yang menatap ke arahnya penuh harap akan jawaban yang
memuaskan. Ia tahu, eyangnya berharap ia terkesan pada Pramudya. Jika saja ia
bertemu dengan Pramudya 10 tahun yang
lalu, ia pasti akan menjawab spontan bahwa Pramudya adalah pria paling top di
antara pria yang pernah ditemuinya. Mungkin perjodohan yang direncanakan eyangnya
juga didasarkan pada perasaan cinta monyet mereka berdua di waktu yang silam.
Namun, kini
semuanya sudah jauh berbeda. Perasaan kagumnya pada Pramudya menguap seiring
berjalannya waktu. Ditambah lagi perubahan pada diri Pramudya yang dirasa
Gading tidak akan disukainya. Bukan hanya Pramudya yang jauh berubah di mata
Gading, tapi Gading sendiri merasakan, dirinya juga sangat jauh berubah.
Perubahan yang sangat mendasar, tidak dipungkiri olehnya, hatinya telah tercuri.
Dan bukan Pramudya pencurinya.
”Nduk?”
Sentuhan lembut
tangan halus eyangnya, menyadarkan Gading.
”Yah, mas Pram
baik eyang, ganteng dan sepertinya juga sudah mapan,”
”Terus? Bukannya
dulu kalian sempat deket kan?”
”Itu kan dulu
eyang, jaman-jaman masih ingusan. Memangnya kenapa eyang?”
Eyangnya hanya
tersenyum singkat menanggapi pertanyaan Gading, dan seakan waktu tak berpihak
kepadanya, Kijang Innova milik Lembayung telah sampai, siap dinaiki rombongan
dari Jogja. Sementara di belakangnya, BMW hitam metalik keluaran terbaru
meluncur mulus dan berhenti tepat di belakang mobil Lembayung.
Melihat siapa
yang berada di balik kemudi mobil mewah itu, diam-diam Gading meringis. Ia
sudah menduga, seorang Pramudya tidak akan pernah tanggung-tanggung menunjukkan
siapa dirinya. Dulu saja, Pram selalu tampil rapi dan terlihat eksklusif,
apalagi sekarang, saat sepertinya dunia sudah berada dalam genggamannya.
Sungguh jauh berbeda dengan Bima. Lagi-lagi Gading meringis kecil. Tanpa
berniat membandingkan keduanya, namun tak bisa dicegah, alam bawah sadarnya
langsung membandingkan keduanya.
”Gading, kamu
sama Pramudya ya, budhe sama pakdhe nderekke eyangmu,”
”Iya Gading, biar
enak kamu ngobrolnya sama Pramudya, kan sudah lama tidak ketemu,”
Gading hanya
mengangguk pasrah menyaksikan seluruh rombongan masuk ke dalam mobil silver
stone itu.
”Mari, dik
Gading,”
Sejenak Gading
terpaku melihat sikap gentleman Pramudya. Lagi-lagi, mengingatkannya pada Bima,
namun pada situasi dan kondisi yang jauh berbeda.
Perlahan Gading
pun masuk ke dalam mobil berinterior lux itu dan duduk di jok dengan lapisan
kulit lembut.
Dentuman lembut
tanpa pintu tertutup menyadarkan Gading, Pramudya telah duduk di kursi
pengemudi dan dengan sigap mulai mengemudikan sedan mewah itu. Alunan musik
khas clubbing terdengar mengalun, entah aransemen DJ siapa, hanya saja Gading
merasa agak terganggu dengan genre musik yang didengarnya saat ini.
”Sudah lama
sekali ya dik Gading, kita tidak bertemu,”
Suara Pramudya
memecahkan balon lamunan Gading, membuatnya tersadar, bahwa saat ini ia tengah
bersama seorang Pramudya, sosok pria yang sudah 10 tahun ini tidak dijumpainya.
”Iya mas,”
”Berapa lama ya?
10 atau...?”
”Tak lebih dari
10 tahun, mas,”
”Wah, sudah lama
juga ya,”
Gading tersenyum
tipis menanggapi Pramudya. Entah mengapa, perasaan enggan semakin
menggedor-gedor hatinya. Tidak nyaman dan seperti ada yang salah dengan semua
ini.
= # =
Bima memacu motor
besarnya melintasi jalanan padat. Beruntung hari ini dia memutuskan untuk
mengendarai motor kesayangannya ini, sehingga dia bisa lebih cepat mencapai
berbagai tempat yang menjadi tujuannya.
Lalu lintas yang begitu padat, memaksa Bima memperlambat laju tekanan gas di tangan kanannya. Perlahan namun pasti ia meluncur membelah jalan bersama para pengendara motor yang lain. Dan akhirnya, baik para pengendara motor pun harus berhenti karena begitu banyaknya kendaraan yang ingin melintas. Ditambah lagi dengan adanya sebuah metromini yang memutar balik, membuat lalu lintas terhenti.
Lalu lintas yang begitu padat, memaksa Bima memperlambat laju tekanan gas di tangan kanannya. Perlahan namun pasti ia meluncur membelah jalan bersama para pengendara motor yang lain. Dan akhirnya, baik para pengendara motor pun harus berhenti karena begitu banyaknya kendaraan yang ingin melintas. Ditambah lagi dengan adanya sebuah metromini yang memutar balik, membuat lalu lintas terhenti.
Bima menarik
nafas panjang, berusaha menyabarkan hati dengan kondisi lalu lintas Jakarta
yang selalu mampu membuat tekanan darah naik. Bima menggerakkan tubuhnya, meregangkan
otot-otot punggungnya, sedikit mengedarkan pandangannya ke kepadatan lalu
lintas di sekitarnya. Dan matanya menangkap sosok itu. Walaupun tersamarkan
oleh kaca film 70, mata tajam Bima mampu mengenali sosok itu hanya dalam sekali
lihat. Sosok yang selama beberapa hari terakhir ini menghiasi pikirannya.
’Gading!’
Bima mengamati
Gading yang tampak tengah tertawa bersama lawan bicaranya. Setengah mati Bima
berusaha melihat siapa yang duduk di balik kemudi BMW seri 335i itu, namun
sayang, jarak mereka yang terbatas dua mobil lainnya, membuat Bima kesulitan
melihat. Yang bisa Bima lihat, Gading bersama dengan seorang pria dan pria itu
bukan dirinya.
Rasa nyeri
berdenyut di dada Bima, membayangkan berbagai kemungkinan tentang siapa pria
yang kini duduk dan tertawa-tawa bersama Gading dalam sedan mewah hitam metalik
itu.
Hati Bima resah.
Mungkinkah pria
itu yang menjadi alasan Gading murka akan perlakuannya malam itu? Apakah
sekarang Gading sudah mempunyai kekasih dan dia dengan bodohnya tidak
mengetahuinya?
Suara klakson
yang begitu keras menyadarkan Bima. Rupanya kepadatan lalu lintas mulai terurai
dan bertepatan dengan persimpangan jalan, BMW hitam metalik itu berbelok ke
arah yang berlawanan arah dengan Bima. Tak memberi kesempatan sedikit pun bagi
Bima untuk melihat dengan jelas, siapa pria yang tengah bersama Gading.
--> to be continued
yaaah, kurang banyak mbak. Tambaaaaah.
BalasHapusMakin ga sabar baca lanjutannya, mdh2n Gading ga jd dijodohkan sm Pramudya.
Kuraaaaangggg....
BalasHapusGo Bima..go Bima..go...
Tq Feater Pen, TBC-nya jgn lama2 yah..^^
T.T kurannngggg banget mommie >.<
BalasHapuspadahal kita udah nunggu lamma banget innih gading bima
belum puassss
pengen scene gading bima setelah insiden kissu kissu ^_^
kurang...kurang...kurang banyak apdetny
BalasHapusini cuman satu tarikan nafas bacanya, asli kurang, aqaqaq
BalasHapusPlease Gading, don't be stupid...and don't take stupid step by avoiding Bima and accept that wedding arrangement :( Miris bener deh rasanya ngeliat sedekat apa jarak mrk pas stuck di traffic light tapi kayak ada tembok yg gak keliatan yg ngalangin mrk :( *rini*
BalasHapusWaaaa...!!! Ternyata sdh updateeee...!!! Thanks a lot feather pen :) Doohhh....Gading...!! Jgn cuma ngomong dalam hati donk ttg perasaan kamu. Say it to Bima,pleaseeee.....and say NO to pram!! *ikutan miris liatin Bima cuma bisa liat Gading dari jauh...hiks...* - rini -
BalasHapuslembayung gali ingatanmu, siapa pramudya sebenarnya...
BalasHapusgading jujurlah pada hatimu...
bima...tetep berjuang....!!!!
penasaran nie...
BalasHapusJgn menyerah bima dan gading
lanjut lg
ngebayangin penampilannya...sudah merasa sebel aja sama si pramudya
BalasHapusaroma penipu-nya sudah kecium....hehehe....
*tendang pramudya ke laut*
BalasHapus*tendang bima ke samping ku* wekekeke..
gimana kelanjutan kisah gading dan bima ya,,, ayo sis Feather pen,,,kapan mau di update?
BalasHapusMutia Na Rival
Kapan mau diupdate lagi nih?....lama gak liat pergerakan kangen sangat dengan gading dan bima nya :)
BalasHapushmmm,,,yg ini belum ada lanjutannya ya,,, kangen sama bima ;(
BalasHapusMutia na rival