Senin, 12 Desember 2011

The Adventure of Sayuri Hayami #16

http://www.forestscene.com/Flowers/tree-pink-dogwood-flowers.JPG



Diam-diam Kazumi membelai lembut kepala gadis cilik yang kini sudah tertidur pulas. Setelah menghabiskan semangkuk sup miso hangat dan meminum ramuan dari Kiyomizu-ishi, dengan sedikit paksaan, akhirnya Sayuri kini terlelap. Perlahan Kazumi mengecup lembut kening Sayuri dengan perasaan saying yang demikian dalam.

Dengan senyum tersungging, Kazumi mengamati wajah Sayuri dan tiba-tiba hatinya berdesir. Gadis cilik periang ini benar-benar prototype ayahnya, Masumi Hayami.

Hidungnya yang bangir membentuk lurus khas garis aristokrat. Bibirnya yang mungil, yang jika tersenyum serupa sekali dengan garis bibir ayahnya kala tersenyum. Kelopak matanya yang tertutup menampakkan bulu mata tebal dan lentik, serupa dengan milik ayahnya hanya saja milik Sayuri berwarna hitam legam.

Mata Kazumi terpaku pada luka lebam dan gores di dahi kanan Sayuri. Ia membelainya, dengan sangat perlahan, khawatir akibat sentuhannya akan membuat Sayuri terbangun oleh rasa sakit.

Tiba-tiba, seperti sebuah film lama yang diputar di kepalanya. Kazumi melihat sosok Sayuri berubah menjadi sosok ayahnya.

Wajah mungil cantiknya berubah menjadi wajah tampan Masumi Hayami. Sosok Sayuri yang terbaring di atas futon berubah total menjadi sosok Masumi Hayami yang terbaring tak berdaya di sofa dengan badan babak belur disertai luka berdarah di dahi kanannya. Dan ia melihat dirinya sendiri tengah mencium sosok Masumi Hayami, bukan di pipi tapi di bibirnya.

Tubuh Kazumi bergetar hebat. Kenangan itu begitu kuat menyerangnya. Ia sungguh-sungguh tak mengerti dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.

= # =

“Buat apa kau menyesali peristiwa yang telah lewat, Masumi? Tak akan pernah ada gunanya kau sesali, karena dengan menyesal tidak akan merubah apapun yang telah terjadi di masa lalu,”

Masumi terpekur mendengar penuturan Takahiro. Apa yang dikatakan pria muda itu memang benar adanya, tak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi. Tapi hati kecilnya tak bisa mungkir, ia merasa bertanggung jawab atas segala yang dialami Sayuri dari sejak ia dilahirkan hingga saat ini.

“Mungkin memang benar, tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi…”

“Tapi?”

Masumi menatap Takahiro. Takahiro tersenyum.

“Aku merasa ada kata tapi yang masih menggantung walaupun tidak kau ucapkan, Masumi,”

Masumi mengalihkan pandangan matanya menembus kegelapan malam. Pikirannya mengembara jauh ke masa silam.

”KYAAA!!!”

”Kazumi?!?”

Secara bersamaan, Takahiro dan Masumi bergegas masuk ke dalam paviliun dan begitu sampai di dalam kamar Sayuri, mereka terperangah. Mereka mendapati Kazumi tengah memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di antaranya. Badannya bergetar hebat dan isak tangisnya terdengar samar-samar. Sementara Sayuri masih terlelap. Masumi bernafas lega, setidaknya sikap histeris Kazumi tidak berhubungan dengan keadaan Sayuri.

”Kazumi, ada apa?”

Takahiro mendekati Kazumi dan bersimpuh di hadapannya. Tangan besarnya membelai lembut pundak Kazumi. Sementara Kazumi masih menyembunyikan wajah di antara lututnya, sedu sedannya semakin dalam.

Masumi tertegun.

”Kazumi... Ada apa?”

Kembali Takahiro bertanya pada Kazumi, namun kali ini ia mendekap Kazumi dengan lembut. Tangannya memeluk dengan sikap penuh perlindungan. Bibirnya begitu dekat dengan kepala Kazumi, membisikkan kata-kata menenangkan. Hati Masumi semakin kecut melihat pemandangan itu. Ia berharap, dialah yang kini memeluk Kazumi, memberikan rasa aman dan membisikkan kata-kata buaian di telinga Kazumi.

Masumi tersentak.

Pandangan matanya bertemu dengan mata basah Kazumi yang kini telah mengangkat wajahnya. Terlihat kekosongan dan kesepian yang begitu dalam di sana.

”Tuan Hayami... Apakah memang kita terikat tali nasib di masa lalu?”

Masumi semakin terguncang.

’Apakah kau sudah ingat semuanya, Maya?’

”Apa maksud Anda, nona Okada?”

”Kazumi.... Ada apa?”

Kazumi menggelengkan kepalanya berkali-kali. Seakan berusaha mengenyahkan segala kebingungan yang kini berputar-putar di kepalanya. Kedua tangannya memegang kepalanya. Matanya terpejam erat dan ekspresinya menyiratkan kepiluan yang begitu dalam.

’Apakah mengingat masa lalu demikian menyakitkan bagimu?’

Masumi menatap lekat Kazumi yang masih terisak dalam pelukan Takahiro. Akhirnya Kazumi memandang ke arah Takahiro, pandangannya begitu memelas penuh permintaan tolong.

”Bawa aku ke rumah, Takahiro, tolong...”

Takahiro mengangguk, apapun yang kini berkecamuk di hatinya, berusaha keras ditahannya. Perlahan ia membantu Kazumi berdiri.

”Nona Okada...?”

Masumi hendak menyentuh lengan Kazumi, namun Takahiro menahan tangannya.

”Masumi, apapun yang kau ketahui tentang Kazumi di masa lalu, kumohon, untuk saat ini simpanlah untuk dirimu sendiri dahulu,”

Awalnya Masumi ingin menolak namun pandangan matanya bertemu dengan pandangan Takhiro yang begitu tenang tapi menyiratkan permintaan yang harus diluluskan. Masumi terdiam sejenak dan akhirnya ia pun mengangguk..

Dengan perasaan getir, Masumi mengantarkan Takahiro yang memapah Kazumi keluar dari paviliunnya. Hingga kedua pasangan itu masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, Masumi masih termangu menatap ke arah mereka berdua.

”Hijiri, apakah yang kita perlukan sudah lengkap semua?”

”Sudah pak, semua sudah siap,”

Hijiri muncul dari kegelapan, dan kemudian menemani atasannya itu, duduk di teras menikmati suasana malam yang terasa ganjil.

= # =

”Kazumi, ada apa? Ada apa dengan Kazumi, Takahiro?”

Baik Kazumi maupun Takahiro hanya terdiam tak menjawab. Sementara kedua orangtua Kazumi bingung melihat keadaan putrinya. Kazumi memang sudah lebih tenang, isak tangisnya telah terhenti namun wajahnya masih menampakkan perasaan terguncang hebat.

“Takahiro, ada apa ini?”

Takahiro menatap calon ayah mertuanya, namun kemudian kembali menunduk. Ia sendiri tak berani memastikan apa yang telah dialami Kazumi saat berada di paviliun yang ditinggali keluaraga Hayami. Namun mengingat perbincangannya dengan Kiyomizu-ishi sore sebelumnya, membuatnya menarik kesimpulan yang tak ingin diyakini oleh hatinya sendiri.

“Ma’af ayah, saya sendiri juga tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Kazumi,”

“Kazumi? Ada apa?”

Kazumi terdiam di atas zabuton, tangannya tergenggam gelisah di atas pangkuannya. Wajahnya tampak semakin pias.

“Takahiro, bisakah kita meminta Kiyomizu-ishi, untuk menentukan hari baik tercepat di bulan ini untuk pernikahan kita?”

Ketiga pasang mata di dalam ruangan itu terbelalak menatap tak mengerti ke arah Kazumi yang masih tertunduk diam.

“Kazumi, apa maksudmu? Apakah kau ingin mempercepat pernikahanmu dengan Takahiro?”

Kazumi mengangkat wajahnya, tampak tekad bulat terpancar dari matanya yang berkaca-kaca. Semenatar ayah dan ibu angkat saling bertukar pandang tak mengerti.

“Kazumi....”

Takahiro termangu, entah mengapa ia merasa, tekad Kazumi tidaklah sebulat yang terlihat.

= # =

“Aku pulang dulu, Kazumi,”

Takahiro menatap tanpa makna pada Kazumi yang berdiri di ambang pintu. Parasnya begitu sendu, seakan kabut kesedihan menutupi wajah manisnya.

“Kau tidak apa-apa?”

Tanpa sadar, Kazumi sedikit menarik diri ketika tangan Takahiro terulur hendak membelai pipinya. Sejenak Takahiro termenung, hatinya tercekat sesaat, namun segera ia tersenyum. Perlahan namun pasti, jiwanya yang begitu pemurah memahami apa yang tengah dialami Kazumi. Ia pun menghela nafas.

“Baiklah jika kau baik-baik saja. Aku pulang dulu ya,” untuk kesekian kalinya Takahiro kembali pamit pada Kazumi dengan menyisakan perasaan khawatir dalam hatinya.

Tiba-tiba Takahiro menyadari sesuatu, pandangan Kazumi terpaku. Menatap jauh ke balik punggungnya. Ia pun memutar kepalanya dan terlihatlah sudah. Jauh disana, di kegelapan teras paviliun tampak siluet seseorang duduk terdiam dengan sinar kecil menyala, menatap jauh ke arah gelapnya malam. Takahiro sangat tahu siapa sosok itu.

Masumi Hayami.

Pria tampan bersahaja itu kembali menatap ke arah Kazumi.

“Kau memikirkan dia, Kazumi?”

Kazumi tersentak, tak menduga jika dirinya tak ubahnya buku yang terbuka lebar, begitu mudah dibaca oleh Takahiro.

“Takahiro.....”

Dalam siraman cahaya temaram lampu, wajah tampan bersahaja Takahiro kembali tersenyum menenangkan pada Kazumi yang menengadah ke arahnya dengan perasaan bersalah.

“Tidak apa-apa, Kazumi, satu yang perlu kau tahu, aku menyanyangi apa adanya dirimu,”

“Takahiro...”

Kazumi memejamkan matanya ketika perlahan Takahiro mengecup keningnya. Tanpa terasa sebutir airmata mengalir, melewati pipi Kazumi.

“Sudah... Jangan menangis, masuklah dan beristirahatlah,”

Kazumi mengangguk setelah Takahiro mengusap airmatanya yang jatuh. Ia menggigit bibirnya, sekuat tenaga, berusaha menahan rasa sedih yang tiba-tiba menyergap hatinya.

“Terima kasih, Takahiro... Terima kasih...”

Kazumi memeluk Takahiro, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria tunangannya itu.

Sementara itu, mata tajam Masumi menyipit menyaksikan dua sejoli itu. Membuatnya semakin kuat menghisap rokok yang tengah berada di belahan bibirnya, berharap asap nikotin yang tercipta mampu menghilangkan perasaan sesak yang menyergap relung hatinya.

= # =

Suara merdu burung bul bul yang hinggap di dahan dogwood berbunga pink membuat Masumi terjaga dari tidurnya yang gelisah. Berbagai mimpi panjang berkejar-kejaran, berlomba satu sama lain naik menuju permukaan alam bawah sadarnya, membentuk kisah aneh dan penuh ironi. Begitu mencekam.

Masumi mengerjapkan matanya, berusaha mengingat segala mimpi gelisahnya, namun seiring kesadarannya kembali, mimpi-mimpi itupun ikut menguap. Tak satupun yang mampu diingatnya meskipun masih ada perasaan tak nyaman tinggal di hatinya.

”Pagi ayah!”

Sesosok tubuh kecil dengan lincah melompat ke arahnya dan mendarat tepat di atas dadanya.

”Hgh! Pa..gi.. juga Sa..yu.. ri...” dengan menahan berat badan Sayuri yang tiba-tiba menimpanya, Masumi menjawab salam anak semata wayangnya.

”Sudah sehat nih, anak ayah?”

”Masih agak sakit sih ayah, tapi Sayuri mau bangun aja ah... Bangun yuk ayah! Kita jalan-jalan ke rumah Kiyomizu-ishi, melihat kolam koi,”

’Eh?’

Masumi menautkan kedua alisnya hingga bertemu, hatinya bingung, bagaimana bisa Sayuri mengetahui jika di kediaman Kiyomizu-ishi terdapat kolam koi, sementara gadis cilik itu baru bertemu tabib desa Momiji itu kemarin, itupun dalam kondisi setengah sadar.

”Memangnya Sayuri tahu dimana rumah Kiyomizu-ishi berada?”

”Tahu,” sahut Sayuri disertai anggukan yang kuat, berusaha menegaskan pada ayahnya bahwa ia memang tahu.

”Tahu darimana?”

”Mimpi,”

Seketika gelak tawa Masumi pecah mendengar jawaban spontan Sayuri membuat Sayuri langsung cemberut. Menyadari perubahan raut wajah  Sayuri, Masumi pun berusaha keras menahan tawa dan setengah mati memasang mimik serius. Namun usahanya tak sepenuhnya berhasil, raut geli masih saja terpampang di wajahnya yang tampan, membuat Sayuri kian menggondok dan semakin melipat wajah cantiknya.

”Ma’af... Ma’af... Ayah minta ma’af...,”

”Ayah jelek ah!”

Sayuri kini merajuk. Ia duduk membelakangi ayahnya, sementara wajahnya benar-benar menyiratkan kekesalan hatinya, terlihat dari betapa panjang kerucut yang di bentuk bibir mungilnya.

”Ya deh... Ayah jelek... Tapi, ayah dima’afkan ya...?”

Masumi berusaha mengambil hati Sayuri yang masih saja merajuk. Bahkan gadis cilik itupun beringsut menjauhi ayahnya yang menyentuh pundak mungilnya.

”Sayuri... Ayolah... Ayah minta ma’af... Ya...?”

”Ayah selalu begitu! Selalu mentertawakan Sayuri! Sayuri tidak suka!”

Masumi menghela nafas, karakter Sayuri yang keras dan berperasaan halus, membuatnya harus pandai-pandai mengambil hati.

”Anak ayah yang cantik, ayah yang jelek ini meminta ma’af... Apakah dima’afkan?”

Sayuri masih tak bergeming, ia masih saja membelakangi ayahnya dan tak mau memandang sedikitpun ke arah Masumi.

”Sayuriiiii....”

Mendengar suara ayahnya yang terdengar aneh, Sayuri menoleh. Begitu matanya yang bening menatap ke arah ayahnya...

”Ayaaaaaaaaaaaaahhhhhh hahahahahahahahahahahahahahahahaha!!!”

Tawa Sayuri yang renyah memecah keheningan ruang paviliun yang mereka tempati. Begitu gelinya Sayuri hingga ia terpingkal-pingkal dan terguling dari duduknya.

Masumi membuat ekspresi konyol hingga wajah tampannya tampak sangat lucu dan menggelikan. Kedua bola matanya dijulingkan, dengan ibu jari tangan kirinya menarik ujung hidungnya ke atas. Sementara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya menarik kedua kelopak matanya ke bawah dan lidahnya menjulur keluar.

Masumi tahu, wajahnya pasti sangat berantakan, tapi piggie face tak pernah gagal membuat tawa Sayuri kembali. Dan demi tawa Sayuri, biarpun wajahnya menjadi sejelek monster pun, Masumi rela.

”Jadi, sudah dima’afkan nih, ayahnya?”

Masumi mengerling jenaka ke arah Sayuri yang masih tertawa geli. Dan gadis cilik ayu itu menghambur ke arah Masumi yang telah merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan erat anak semata wayangnya.

”Sayuri sayang ayah,”

Hati Masumi terharu. Ungkapan perasaan sayang yang polos dari Sayuri begitu menyentuh hatinya. Mengingatkannya, ada hal yang amat sangat berharga yang menjadi miliknya, Sayuri Hayami.

”Ayah juga sayang, Sayuri... Sayang sekali...”

= # =

Langkah kaki mereka begitu ringan menapaki jalan berbatu. Sesekali kaki kecil Sayuri menyaruk embun yang tertinggal di pucuk rerumputan yang tumbuh di sepanjang tepian jalan.

”Sayuri, hati-hati, nanti jatuh,”

”Iya ayah,”

Masumi memperhatikan Sayuri yang melompat-lompat kecil di depannya. Tak nampak jika tanda sakit ataupun trauma dari gadis cilik itu, padahal kemarin ia nyaris saja kehilangan nyawanya akibat terjatuh dari tebig yang cukup tinggi dan terseret arus sungai. Entah kekuatan dari mana yang ada di dalam tubuh mungil Sayuri, namun gadis kecil itu benar-benar tampak biasa saja.

”Paman Maeda! Selamat pagi!”

Suara riang Sayuri menyadarkan Masumi dari ketermenungannya memandangi polah anak semata wayangnya. Benar saja, Takahiro telah muncul dari balik tikungan yang hendak mereka lalui, dengan wajah begitu segar dan senyum yang menenangkan.

”Pagi juga, Sayuri-chan, Masumi. Kok sudah berjalan-jalan? Memangnya sudah sehat?”

Takahiro mengangkat tinggi-tinggi Sayuri hingga gadis cilik itu terpekik kegirangan. Diam-diam Masumi menatap tajam ke arah Takahiro dan Sayuri, namun mereka berdua tak menyadarinya.

”Masih sedikit sakit sih paman, tapi Sayuri ingin jalan-jalan. Kan sebentar lagi sudah selesai liburannya, sayang kalau hanya dihabiskan sisa waktunya dengan tidur-tiduran,”

”Wah! Jangan terlalu memaksakan diri, anak pintar, nanti jadi tambah sakit lho,”

”Biar saja! Sayuri sih pengennya sakit pas waktu masuk sekolah, jadi waktu liburnya bisa nambah,”

Sayuri mengerling jahil ke arah ayahnya yang mendelik mendengar penuturannya. Sementara Takahiro tertawa ringan mendengar ketangkasan Sayuri berbicara.

”Kalau mau jadi anak baik tidak boleh bersikap seperti itu Sayuri, itu sama saja dengan berlaku curang. Lagipula Sayuri memang benar-benar ingin sakit?”

Sayuri menatap ke arah Takahiro dan mengerutkan hidungnya sambil menggeleng kuat-kuat, membuat wajahnya semakin tampak menggemaskan.

”Nah, begitu baru anak pintar. Ngomong-ngomong, memangnya kapan kalian akan mengakhiri masa liburan kalian di desa kami?”

”Rencana kami akhir minggu ini, Takahiro,”

Kali ini Masumi yang menjawab. Tanpa ia sadari, suaranya sedikit bernada sarkasme, membuat Takhiro sedikit mengerutkan kening, tak mengerti dengan perubahan sikap Masumi.

”Yaaaaahh... Ayah... Cepat sekali....”

Sayuri memprotes ucapan ayahnya.

”Iya Masumi, buru-buru sekali? Setidaknya tinggallah sedikit lebih lama agar bisa menghadiri pernikahan kami,”

Perasaan dingin merambati hati Masumi, membuatnya diam-diam mengepalkan jari jemarinya dengan begitu kuat.

”Wah! Paman menikah? Dengan nona Okada bukan?”

”Benar Sayuri-chan, kami akan segera menikah, dan jika kau bersedia tinggal untuk menghadiri pernikahan kami, kau bisa menjadi pendamping pengantin untuk Kazumi, bagaimana?”

”Benarkah?”

Binar bahagia terpancar dari mata kanak-kanak Sayuri, penuh pengharapan dan rasa penasaran.

”Tapi... Apakah nona Okada tidak keberatan jika Sayuri menjadi pendamping pengantin untuknya?”

”Coba saja kau tanyakan sendiri pada orangnya, itu dia,”

Baik Sayuri maupun Masumi mengikuti arah telunjuk Takahiro yang menunjuk jauh di belakang punggung mereka. Di sana, tampak Kazumi tengah berjalan dengan membawa sebuah bungkusan yang cukup besar di tangannya.

”Nona Okada!”

”Sayuri!”

Tanpa bisa dicegah Masumi, Sayuri berlari menghambur ke arah Kazumi, tidak memperdulikan suara ayahnya yang penuh nada peringatan.

”Selamat pagi, Sayuri-chan... Tuan Hayami...”

”Selamat pagi, nona Okada,”

Ada sedikit kekakuan ketika Kazumi menyapa Masumi, begitu pula dengan Masumi ketika menjawab salam Kazumi. Rupanya peristiwa semalam masih meninggalkan kecanggungan, baik bagi Masumi maupun Kazumi.

”Nona Okada, benarkah akan segera menikah dengan paman Maeda?”

”Sayuri!”

”Benar Sayuri-chan, kenapa? Kalian masih ada di sini kan saat upacara pernikahan kami?”

”Iya!”

”Tidak!”

Secara bersamaan Sayuri dan Masumi menjawab pertanyaan Kazumi, membuat Kazumi dan Takahiro berpandangan tidak mengerti dengan sikap mereka berdua.

”Ayah, apaan sih? Libur Sayuri kan masih lama... Atau kalau tidak, Sayuri ditinggal saja deh disini, nanti selesai pesta pernikahan nona Okada dan paman Maeda, baru Sayuri dijemput. Lagian ayah kan sudah janji akan menemani Sayuri liburan kemanapun Sayuri minta,”

Masumi jadi serba salah. Ia sudah kepalang janji pada Sayuri, namun berlibur demi menyaksikan pernikahan Maya dengan orang lain? Itu sama saja dengan dipaksakan menusukan ribuan belati ke tubuhnya sendiri.

Belum apa-apa Masumi sudah mampu membayangkan rasa sakit yang meremas hatinya.

”Sayuri...”

Suara Masumi penuh peringatan dibarengi dengan pandangan mata yang begitu tajam ke arah Sayuri. Tapi, gadis cilik itu malah melengos dan kembali memusatkan perhatian pada pasangan Kazumi da Takahiro yang kini sudah berdiri berdampingan.

”Nona Okada, kata paman Maeda, Sayuri boleh jadi pengiring pengantin untuk nona Okada. Boleh tidak?”

”Sayuri...”

Kembali suara Masumi terdengar, kali ini tekanan nadanya semakin jelas.

”Tidak apa-apa tuan Hayami... Sayuri-chan, aku akan senang sekali jika memang kau bersedia menjadi pengiring pengantin untukku, tapi kau harus mendapat ijin dulu dari ayahmu, ya? Sementara itu, aku akan meminta bibi Akane untuk menyiapkan kimono khusus untukmu,”

”Benarkah?”

Mata bening Sayuri membulat, nyata sekali ia begitu senang dengan apa yang disampaikan Kazumi. Namun di sisi lain, Masumi diam-diam menggeretakkan rahangnya, hatinya kesal sekali pada putri kecilnya itu.

”Benar, Cantik, tapi kau harus berjanji padaku, kau harus menurut pada ayah ya?”

”Baik, nona Okada, aku janji!”

”Bagus, itu baru anak jempolan,”

Sayuri tersenyum senang mendengar pujian Kazumi, namun saat ia melihat ke arah ayahnya, ia tahu, ada sesuatu yang mengganggu hati ayahnya. Tanpa bisa dicegah, nyali Sayuri langsung menciut.

”Nah, Sayuri-chan, Masumi, kami permisi dulu, ada beberapa hal yang harus kami persiapkan berkenaan dengan pernikahan kami. Ingat Sayuri, kamu harus menurut pada ayah, ya?”

”Baik paman Maeda,” sahut Sayuri lirih membuat Takahiro mengerutkan kening, heran dengan perubahan sikap Sayuri yang tiba-tiba. Dan ketika diam-diam Takhiro melirik ke arah Masumi, seketika ia tersadar, aura lelaki tampan itu tampak begitu gelap tertangkap Takahiro.

”Kami permisi, Masumi, Sayuri-chan,”

Masumi hanya diam dan tersenyum kaku pada Kazumi dan Takahiro.

= # =

“Tidak boleh,” suara Masumi datar saja namun menyiratkan ketegasan yang tidak mau dibantah. Mereka kembali menyambung perdebatan soal boleh tidaknya Sayuri menjadi pengiring pengantin bagi Kazumi.

”Ayaaahhhhh... Boleh ya...? Ya...? Please...?”


Wajah cantik Sayuri menghiba menatap ke arah Masumi yang masih tak bergeming. Setengah putus asa ia mengharap ayahnya akan berubah pikiran. Namun dengan hanya melihat sekilas wajah ayahnya, Sayuri tahu, ayahnya tidak akan mengijinkannya.


”Sayuri janji deh, kalau ayah mengabulkan permintaan Sayuri ini, Sayuri tidak akan nakal lagi. Atau, Sayuri akan memandikan sendiri Caesar selama tiga bulan berturut-turut,”


Sayuri merubah taktik. Ia tahu, ayahnya selalu mengingatkan dirinya untuk merawat golden retriever hadiah ulang tahunnya dan ia berharap dengan berjanji memandikan anjing itu ia akan memperoleh ijin Masumi.


”Tidak Sayuri, ayah sudah memutuskan,”


”Kenapa sih ayah?”


Isak tangis mulai terdengar dari suara Sayuri yang kecewa. Air mata pun mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya kesal setengah mati.


”Sayuri
kan sudah berjanji pada nona Okada, ayah... Dan nenek Akane pun sudah membuatkan kimono khusus untuk Sayuri... Boleh ya ayah...? Sayuri mohon...?”

”Tidak Sayuri!”


Kali ini suara Masumi meninggi, ia mulai kehilangan kesabarannya. Dimatanya kini Sayuri bagai seorang anak manja yang sangat nakal. Hati geram bukan kepalang, dan ia mulai menyesali liburan di Desa Momiji ini.


”Tapi ayah…”


”Tidak ada TAPI Sayuri! Sekali ayah bilang tidak berarti memang tidak!”


”Ayah jahat!!!”


Masumi tersentak mendengar reaksi spontan Sayuri. Baru kali ini anak semata wayangnya itu begitu keras kepala dan sulit dibujuk. Hijiri yang muncul tiba-tiba karena mendengar teriakan Sayuri, terkejut ketika Sayuri serta merta menghambur ke arahnya dan memeluk lututnya erat-erat.


”Paman Hijiriiii..... huuuu... huuuu... huuu...”


Sayuri menyembunyikan wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Pupus sudah harapannya untuk mengenakan kimono cantik dengan hiasan bunga peony di rambutnya. Dan yang lebih membuatnya sedih, ia harus membatalkan janji yang sudah diucapkannya pada Kazumi untuk menjadi pengiring pengantin bagi Kazumi dan Takahiro. Hatinya kecewa sekali. Ia tak mengerti, kenapa ayahnya begitu keras hati.


”Sayuri....”


Sayuri menepis tangan ayahnya yang menyentuh kepalanya membuat Masumi terjengit.
Ada perasaan dingin merambati hati Masumi mendapat penolakan Sayuri.



Sedu sedan Sayuri terdengar begitu memilukan membuat Masumi didera perasaan bersalah. Hijiri yang berusaha menyeimbangkan diri, perlahan menyentuh pundak nona kecilnya. Namun, dengan wajah masih disembunyikan di antara lutut Hijiri, Sayuri menggeleng keras, membuat Hijiri hanya mampu menghela nafas dan menatap prihatin ke arah Masumi.

Untuk beberapa saat, kedua lelaki dewasa itu terdiam canggung.

“Nona Sayuri…,”

Tangis Sayuri masih terdengar, tapi guncangan di bahunya sudah jauh berkurang, menandakan gadis cilik itu sudah mulai tenang.

“Nona kecil…,”

Akhirnya Hijiri bisa membebaskan dekapan erat Sayuri di kakinya dan berlutut, mensejajarkan posisinya dengan Sayuri, mencari mata Sayuri yang masih bersimbah airmata.

“Nona…,” bujuk Hijiri sambil menatap lekat mata besar kanak-kanak yang bersimbah airmata.

“Kita pulang ke Tokyo ya…,”

”Tidak mau!!!”

Dan sebelum sempat diantisipasi oleh kedua pria dewasa itu, Sayuri telah melesat keluar ruangan.

”Sayuri!!”

”Nona!!”

Baik Hijiri maupun Masumi, sama-sama bergegas mengejar gadis cilik itu, namun sayang, Sayuri sudah menghilang dari jangkauan pandang mereka. Tanpa banyak bicara, keduanya bertukar pandang, berkomunikasi tanpa kata, hingga Hijiri dan Masumi sama-sama mengangguk dan keduanya berpencar menuju tempat-tempat yang mungkin menjadi tujuan Sayuri.

= # =

Kaki mungilnya mengayun-ayun, berkecipak di permukaan air sungai yang mengalir tenang. Sesekali tangan mungilnya yang gempal melemparkan rumput yang dicerabutnya di sampingnya. Wajah cantiknya cemberut, hatinya kesal setengah mati.

Tiba-tiba mata beningnya tertarik akan sebuah obyek. Seekor katak tengah duduk mencangkung di sebuah batu kecil, tak jauh dari tempatnya. Mereka berdua saling berpandang, seakan saling menaksir, kira-kira makhluk apa yang tengah mereka temui.

Sayuri dengan penuh rasa ingin tahu, beringsut perlahan mendekati katak itu, sementara sang katak masih menatap seakan penasaran, apa yang dilakukan manusia kecil ini pada dirinya. Namun, belum sempat Sayuri sampai ke tempat si katak, binatang amphibi itu telah melompat menghindar dan menghilang di balik semak tumbuhan air yang tumbuh di sepanjang aliran sungai.

Sayuri mendengus, kesal hatinya yang perlahan mulai menguap, kini hadir lagi, memunculkan kerucut kecil di bibirnya yang merah.

”Sedang kesal ya?”

Sayuri tersentak.

Rambut ikalnya bergoyang mengikuti gerakan kepalanya menoleh menuju arah suara laki-laki dewasa yang bertanya padanya. Dan ketika Sayuri melihat pada siapa yang menyapanya, matanya menatapnya lekat.

”Paman siapa?”

Pria asing itu hanya tersenyum samar penuh misteri. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, namun  langkah kakinya terus saja beranjak mendekati Sayuri yang mengamati dengan seksama sosok asing berkemeja jeans itu. Tanpa bisa dicegah, hati Sayuri mengkerut kecut ketika menatap mata pria itu. Ada sesuatu pada sosok pria ini yang mengusik perasaan aman dalam hati kanak-kanak Sayuri. Insting kanak-kanak Sayuri bisa merasakan sinar mata yang terpancar dari pria itu terasa begitu dingin dan kejam

Sang pria, bukannya tidak menyadari perasaan takut yang terpancar dari sorot mata Sayuri, kembali mengulas senyum penuh misteri. Wajahnya sebenarnya tampan, tapi sayangnya ternoda oleh sebuah luka parut panjang di sepanjang garis pipi kanannya..

”Kenapa? Takut?”

Sayuri menggeleng sambil mundur selangkah, menghindari si pria yang melangkah mendekatinya dan menepis tangan si pria yang berusaha membelai pipi pucatnya.

”Tidak! Sayuri tidak takut!”

Suara Sayuri begitu lantang, namun getar suara dan gemetar di jemari tangannya yang terkepal tak bisa berbohong, hatinya setengah mati ketakutan. Dan lelaki itupun tersenyum sinis atau tepatnya menyeringai, semakin memperjelas aura kekejaman dari wajahnya.

”Kamu memang anak Masumi Hayami, tidak hanya wajahmu yang mirip, bahkan keangkuhannya pun diwariskannya padamu!”

Sayuri menjerit saat laki-laki itu berhasil menangkap pergelangan tangannya. Terbersit penyesalan di hati Sayuri, mengapa ia tadi begitu jauh menyusuri tepian sungai, hingga mendekati bibir hutan. Hatinya berdoa dan memohon dengan keras semoga saja ada seseorang yang tak sengaja  lewat sehingga ia bisa meminta pertolongan. Airmata ketakutan mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi Sayuri berusaha keras menahannya. Ia tak ingin memperlihatkan perasaan takut saat ia berada di tangan pria asing ini. Ia meronta sekuat yang ia bisa, namun apalah daya seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Dalam kekuasaan seorang lelaki dewasa yang menurut Sayuri lebih besar dari ayahnya ini, perlawanan Sayuri tak lebih sekedar permainan baginya.

Ketika tangan kuat laki-laki itu mencengkeram tangan mungil Sayuri, tiba-tiba pandangan matanya yang bengis terpaku pada benda yang menyilaukan di dada Sayuri. Matanya menyipit demi memperjelas pandangannya akan sebentuk liontin berdesain khusus yang terikat pada seuntai rantai kecil di leher Sayuri. Dan seketika, rona kemarahan semakin kental terbaca di raut wajah pria bertubuh tinggi itu.

”Darimana kau dapatkan kalung ini?” tanyanya sambil mencengkeram erat kedua belah pipi Sayuri dengan satu tangannya yang besar membuat Sayuri semakin menciut ketakutan. Matanya membelalak dengan pupil mata mengecil, menyiratkan kengerian tak terhingga dalam hati kecilnya.

”Nona?!? Hei! Siapa kau?!?”

Hijiri yang tiba-tiba muncul dari balik lebatnya rumpun bambu air mengagetkan mereka berdua.

”Paman Hijiri! Tolong aku!!”

Sontak Sayuri berteriak demi mengenali suara Hijiri.

”Sialan!!”

Laki-laki itu segera melepaskan tangan Sayuri, mendorong gadis kecil itu hingga terjungkal di rerumputan dan melesat menghindar di kelebatan hutan. Semuanya terjadi demikian cepat.

”Tunggu!!”

Hijiri mengejar sang pria, menerobos rimbunnya semak berduri tempat lawannya menghilang, namun sayang, agaknya laki-laki itu lebih mengenal daerah itu, sehingga dalam sekejap saja ia pun hilang dari pandangan Hijiri. Dengan geram Hijiri menyudahi pengejarannya dan bergegas kembali menuju tempat Sayuri yang duduk bergelung. Tangis penuh ketakutan terdengar lirih dari bibirnya yang gemetar. Sementara tubuhnya menggigil begitu hebat layaknya orang yang tengah kedinginan.

”Nona? Nona kecil? Nona tidak apa-apa?”

Hijiri merangkul Sayuri dalam dekapannya, mengayunnya perlahan, berusaha menenangkannya. Hatinya menyesal setengah mati.

Hampir saja.

Andai saja ia terlambat sepersekian waktu, entah apa yang akan terjadi pada nona kecil kesayangannya ini. Matanya kembali beredar di sekeliling, menajamkan pandangan berusaha menangkap gerakan yang mencurigakan.

“Nona...?”

Hijiri berbisik lembut di telinga Sayuri, memanggilnya perlahan.

“Ayah... Sayuri mau ayah...”

Getar dalam suara Sayuri belum sepenuhnya reda, membuat Hijiri menggertakkan rahangnya, meluapkan kekesalannya pada lelaki yang sudah meninggalkan trauma pada Sayuri.

”Mari paman antar ke ayah...”

Hijiri pun bangkit dan menggendong Sayuri, melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama desa.

Sementara itu, dari balik besarnya pohon pinus hutan, sepasang mata penuh kebencian mengamati mereka berdua.

= # =

”Begitulah kejadiannya, tuan, sekali lagi saya mohon ma’af atas kelengahan saya”

Suara Hijiri yang biasanya tenang sedikit bergetar oleh emosi, antara amarah dan rasa bersalah.

”Kau tahu siapa pelakunya?” suara Eisuke yang gusar memotong pembicaraan Hijiri.

”Saya tahu tuan, tapi saya perlu menyelidiki lebih dalam lagi untuk lebih meyakinkan pengetahuan saya,”

”Lakukan!”

”Baik tuan,”

”Dan tidak ada kejadian seperti ini lagi, Hijiri!” tukas Eisuke mengakhiri sambungan telepon jarak jauhnya. Dalam imajinasi Eisuke, ia bisa melihat Hijiri yang tertunduk takdzim mendengar semua perkataannya atau lebih tepatnya semua perintahnya. Eisuke menghembuskan nafas demikian keras, seakan hendak menghempaskan kemarahan yang meluap dalam hatinya.

”Mereka semakin berani melintasi garis batas, Asa,”

”Tuan...”

Asa memperhatikan penuh keprihatinan pada Eisuke yang menggeram penuh kemarahan selepas mendapat laporan Hijiri mengenai apa yang dialami Sayuri.

“Agaknya kunjungan kami kemarin belum cukup, Asa,”

“Saya akan atur kunjungan berikutnya tuan,”

”Tidak perlu!”

Asa sedikit tersentak ketika Eisuke menetak keras lantai dengan tongkatnya.

”Kita sudah berbaik hati mengunjungi mereka, kini saatnya mereka memenuhi panggilan kita,”

”Baik tuan, akan saya persiapkan. Saya permisi,”

Dengan diiringi anggukan kepala Eisuke, Asa berlalu meninggalkan Eisuke. Suara burung bercericit, sibuk berebut buah buni di halaman, tak mampu meredam perasaan gusar sang jenderal. Tangan keriputnya yang belum kehilangan kekuatannya, mencengkeram erat kepala tongkat kesayangannya, seakan ingin membuat bulatan besi itu pecah berkeping-keping.

= # =

Wajah tampan Masumi mengeras. Rahangnya terkatup rapat dengan mata menyipit menahan kemarahan. Namun semua itu berbeda jauh dengan sikap tubuhnya yang mendekap Sayuri. Tubuh Masumi melentur dan berayun perlahan. Sebelah tangan besarnya medekap erat kepala Sayuri, sementara yang satu lagi menepuk pelan punggung Sayuri, berusaha menyampaikan perasaan aman dan terlindungi pada anak gadis kecilnya yang masih menangis tergugu.

Hati Masumi serasa terpilin melihat keadaan Sayuri. Nyata sekali anak semata wayangnya ini mengalami trauma yang melukai batin kanak-kanaknya. Bahkan tubuh kecilnya masih sedikit bergetar walau sudah sekian waktu berada dalam pelukan Masumi.

”Sayuri.... Sayang....”

Sayuri bergelung makin dalam di pelukan Masumi seakan ingin terus berlindung dalam dekapan ayahnya yang aman dan hangat. Wajah cantiknya disembunyikan makin erat di dada ayahnya. Airmata dan isak tangisnya pun tak kunjung reda.

Masumi tercekat.

Sebentuk penyesalan menyeruak dalam hatinya, serupa bola es besar yang menimbulkan perasaan dingin menyesakkan di dadanya. Andai saja ia mengalah pada gadis kecilnya dan mau sedikit saja berkorban, peristiwa menakutkan ini tentunya tidak akan terjadi. Toh, sudah sekian lama Masumi merasakan kegetiran, sedikit lagi menoreh luka baru dihatinya tak akan memberikan banyak perbedaan. Hanya demi melindungi hatinya sendiri, justru hampir mencelakakan pusat dunianya, Sayuri.

Masumi menatap ke arah Hijiri yang terpekur menatap ayah dan anak itu. Seakan sebuah telepati yang tersambung erat, Hijiri pun mengangguk, memahami apa yang diinginkan atasannya itu. Tanpa sepatah kata, Hijiri beranjak, berlalu untuk menunaikan tugas yang dibebankan di atas pundaknya.

= # =

Keduanya terdiam di keremangan senja, sementara Sayuri terlelap di dalam kamar setelah mendapat pertolongan dari Kiyomizu-ishi. Masumi menyesap rokoknya dan menyemburkan asapnya perlahan, membentuk awan asap yang segera hilang ditelan hangatnya malam musim panas.

”Kami akan menghadiri upacara pernikahan kalian, Takahiro,”

Takahiro menghela nafas, walau Masumi bersikap wajar, naluri Takahiro menangkap keengganan di suara dalam duda beranak satu itu.

”Terima kasih banyak, Masumi, kehadiran kalian sangat berarti bagi kami,”

Masumi tersenyum tipis di sela kepulan asap rokoknya. Entah ia harus merasa senang atau apa dengan jawaban Takahiro, yang pasti semua demi mengobati perasaan trauma Sayuri. Setidaknya dengan memenuhi undangan pernikahan Takhiro dan Kazumi, Masumi berharap akan bisa mengembalikan sedikit keceriaan Sayuri yang terenggut.

Diam-diam Takhiro memperhatikan lawan bicaranya. Untuk sejenak kedua hanya diam, larut dalam pikiran masing-masing. Suara kelelawar di kejauhan terdengar sayup, menandakan waktu berburu mereka telah tiba. Bulan separuh pun mulai muncul, menghiasi langit kelam musim panas dengan kelembutan sinarnya.

”Aku tahu kau pasti bertanya-tanya dalam hatimu,”

Akhirnya Masumi yang memecahkan kesunyian di antara mereka berdua.

”Siapa saja pasti akan bertanya-tanya, Masumi, tak terkecuali diriku,”

Masumi menatap lekat ke arah Takahiro. Menanti pria itu melanjutkan perkataannya.

”Namun aku yakin, semua sudah digariskan oleh langit. Buat apa aku bertanya-tanya dan mencari-cari jawaban, pada akhirnya jawabannya akan datang dengan sendirinya. Pada dasarnya kita ini hanya menjalankan roda kehidupan, mengikuti peran dan alur cerita yang sudah ditetapkan pada diri kita masing-masing,”

Masumi tercenung.

Ucapan Takahiro yang tenang mengalir dan penuh filosofi seakan menyiram hati dan pikirannya. Menyadarkannya bahwa segalanya sudah mempunyai arah dan waktunya sendiri.

”Jika aku menanyakan sesuatu, apakah kau akan marah?”

Takahiro mengangkat sebelah alis tebalnya dan tersenyum pada Masumi.

”Marah? Mengapa aku harus marah, Masumi? Haruskah aku marah?”

Masumi tercenung mendengar jawaban Takahiro.

”Apapun yang dipertanyakan ataupun disampaikan oleh siapapun, baik itu kebenaran atau kebohongan, aku tidak memiliki hak apapun untuk marah,”

Masumi menghela nafas dan kembali menatap lekat ke arah Takahiro yang masih menunggu apa yang akan diucapkan Masumi berikutnya.

”Tunggu sebentar,”

Masumi bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam paviliun, meninggalkan Takahiro di teras. Ketika ia kembali keluar, ditangannya telah ada sebuah amplop besar dan tebal, menilik segel yang masih belum dibuka, Takhiro menduga, apapun yang ada di dalam amplop itu, pastilah hal yang sangat penting.

”Aku harap kau bisa membantuku, Takahiro,”

Sejenak Takahiro menatap Masumi, tak mengerti dengan apa yang disampaikannya.

”Aku... Kami... sedang mencari seseorang yang hilang betahun-tahun yang lalu,”

Takahiro mengerenyitkan alisnya, menangkap perubahan subyek yang dikatakan Masumi.

”Siapakah itu?”

”Seorang artis,”

”Artis?”

”Bukan sekedar artis biasa, Takahiro, namun seorang artis yang sangat luar biasa yang memegang hak eksklusif juga sekaligus pemeran utama sandiwara legendaris Bidadari Merah,”

”Bidadari Merah?”

”Benar Takahiro, Bidadari Merah. Sebuah mahakarya agung dalam bidang drama, dan seseorang itulah yang mewarisi segala hal tentang drama itu,”

”Lantas?”

”Semua tanda mengarah pada tunanganmu, nona Okada,”

Mata Takahiro membulat.

”Kazumi? Bagaimana bisa?”

”Itulah yang aku... kami... ingin tahu, Takahiro,”

Lagi-lagi, Takahiro menangkap perubahan subyek yang dilakukan cepat oleh Masumi. Namun Takahiro diam saja. Benaknya kini membayangkan sosok Kazumi yang manis. Memang, tak bisa dipungkiri oleh Takahiro, ada yang tak biasa pada tunangannya itu. Selain ingatannya yang hilang dan belum kembali sejak enam tahum yang silam, Kazumi terkadang menjelma menjadi sosok lain. Khususnya saat ia sedang berinteraksi dengan anak-anak binaannya. Setiap Kazumi bercerita, ia seakan mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam ceritanya secara nyata melalui dirinya. Belum lagi semenjak kehadiran anak beranak Hayami, sikap Kazumi semakin hari semakin tampak aneh. Seperti ada tirai yang pelan-pelan tersibak namun selalu kembali tertutup.

”Seandainya memang Kazumi adalah orang yang kau cari, apa yang akan kau lakukan Masumi?”

Masumi memandang penuh perhitungan
ke arah Takahiro, mencoba menebak-nebak apa yang tengah dipikirkan pria itu ketika melontarkan pertanyaan mengenai Kazumi kepadanya. Namun ekspresi Takahiro benar-benar tak terbaca. Begitu tenang dan bersahaja. Membuat Masumi berspekulasi tak menentu akan perasaannya.

”Aku… Kami… akan membawanya ke
Tokyo, Takahiro, untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah lama tertunda. Bagaimanapun, kami di Daito, terutama aku masih tetap berharap, Bidadari Merah dapat ditampilkan kembali,”

Takahiro tersenyum, begitu tenang namun efeknya membuat Masumi merasakan getaran yang tak dimengertinya merambati tulang belakangnya.


”Apakah benar hanya itu? Tidak ada yang lain?”


Masumi tersentak. Kalimat bersayap Takahiro mengagetkannya.


”Apa maksudmu, Takahiro?”


”Kau tahu dengan pasti apa yang aku maksudkan, Masumi,”

“Tidak Takahiro, aku tak mengerti yang kau maksudkan, Takahiro,” tampik Masumi dengan cepat, membuat Takahiro tersenyum samar.

Mau tak mau perasaan tak nyaman mengusik hati Masumi melihat reaksi Takahiro. Memunculkan perasaan kesal di relung hati Masumi. Takahiro menghela nafas panjang menyadari reaksi dan perubahan sikap Masumi. Dan Takahiro tak ingin meningkatkan ketegangan antara dirinya dan Masumi. Mengingat Masumi adalah tamu di desanya dan juga undangan khusus di upacara pernikahannya.

”Apa yang bisa aku bantu, Masumi?”

Masumi mendesah, kegusarannya perlahan menguap melihat sikap Takahiro melunak.

”Ma’afkan aku jika aku merepotkanmu di saat-saat terpenting dalam hidupmu. Pada awalnya aku juga tidak mempercayainya, setelah sekian lama pencarian tak kunjung mendapat titik terang hingga sampai di Desa Momiji ini. Kali ini, aku... kami... meyakini bahwa sudah sedekat ini dengan pencarian kami. Kami hanya perlu mengklarifikasi segala data yang kami punya dengan fakta di lapangan. Dan saat ini, orang terdekat yang sekiranya bisa membantu kami adalah dirimu, Takahiro. Sebagai tunangan nona Okada, dirimu merupakan akses terdekat bagi kami untuk mengetahui riwayat hidup nona Okada. Aku mohon, bantu kami, Takahiro,”

Takahiro tersentak ketika melihat Masumi memohon padanya hingga memposisikan dirinya sedemikian rupa. Bersujud di hadapan Takahiro.

”Masumi, kau tak perlu begini...”

”Aku mohon bantu kami, Takahiro,“

Takahiro bingung harus bagaimana menghadapi sikap Masumi. Tak bisa dipungkiri, ada perasaan terancam ketika mengetahui bahwa kemungkinan Masumi Hayami mengetahui atau bahkan mempunyai hubungan khusus dengan masa lalu Kazumi. Takahiro memandangi laki-laki beranak satu yang masih bersujud di hadapannya, menakar dan menimbang, keputusan apa kiranya yang bisa ia ambil.

”Masumi, bangkitlah... Ku mohon...”

Akhirnya Direktur Daito itu bangun dari sujudnya, dan menatap lekat ke arah Takahiro. Sinar wajahnya begitu teguh membuat Takahiro kelu. Menurut Takahiro, pria ini lebih membutuhkan pertolongan untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaannya daripada untuk menemukan seorang artis seperti yang disampaikannya. Ataukah justru artis yang hilang itu justru turut membawa pergi sebagian kebahagiaannya?

”Masumi, aku tak bisa menjanjikan bantuan apapun, tapi aku akan coba lakukan apa yang aku bisa,”

Masumi tahu, untuk saat ini, itu harga mati dari Takahiro. Walau tanpa emosi yang meledak-ledak, tapi Takahiro sudah menarik garis batas sejauh mana yang boleh dilewati Masumi. Dan Masumi, sang negosiator ulung, sangat tahu, kapan waktu menarik diri dan diam bertahan, kapan waktu maju, merangsek hingga tercapai segala kepentingan yang diperjuangkannya. 

to be continued