Minggu, 11 Desember 2011

Cerita Cinta #3

Suara merdu alunan saxophone Dave Koz mengalun lembut di seluruh ruangan apartemen berpemandangan 180 derajat itu. Beberapa tamu tampak asyik ngobrol di dekat meja berdesain minimalis dengan berbagai hidangan tersaji. Sementara sebagian lagi tampak sedang bermain bilyard di sudut ruangan.

Bima tersenyum senang, para stafnya tampak begitu menikmati syukuran kecil yang diadakannya.

“Asyik bener?”

Bima menepuk lembut bahu gadis semampai yang tengah duduk di sofa dan duduk di sebelahnya, ikut menikmati aksi Hugh Jackman di layar plasma tv berukuran 50 inchi. Sang gadis tersenyum membalas sapaan Bima.

“Iya nih mas, Hugh Jackman gitu lho! He’s really hot!!”

“Lebih sexy mana sama Stefan, pacar bule kamu itu?”

”Sembarangan! Jelas lebih sexy Stefan dong! Dan satu lagi mas, Stefan itu bukan pacar bule aku, tapi calon suami!”

“Ha? Serius?”

”Ya iyalah mas, lagian Stefan juga udah menghadap bunda kok dan dalam waktu dekat orangtuanya juga akan datang ke Indonesia, so siap-siap aja nanti jadi best man yah,”

”Weh! Udah serius bener toh?”

“Yeeeee, gimana sih? Ya serius lah mas,”

“Berarti nanti kamu pindah ke Irlandia dong, ikut Stefan? Cari jodoh kok jauh amat sih, Mbayung?”

“Mending begitu, jauh tapi langsung jadi, daripada mbak Gading, deket juga ga jadi-jadi,”

Kali ini Lembayung mengerling jahil ke arah Bima yang buru-buru meneguk punch nenas miliknya.

“Apaan sih?”

“Lho, bener kan mas? Saking lambatnya, sampai eyang uti mau datang jauh-jauh dari Jogja buat bawa jodoh, khusus buat mbak Gading. Parah kan?”

‘Dijodohkan?’

Bima tersentak mendengar penuturan Lembayung. Seketika terbersit perasaan tak rela di hatinya. Mata elang Bima segera berpaling ke arah Gading yang tampak mengobrol santai dengan Anton dan Sasi. Sesekali terlihat Gading tertawa kecil menanggapi gurauan Anton yang memang terkenal suka joking.

“Serius?”

“Apanya mas?” sahut Lembayung dengan pandangan tak mengerti.

”Perjodohan Gading?”

”Belum pasti sih mas, cuma kalau melihat gelagat eyang putri yang mau jauh-jauh datang bersama keluarga pakde Bernowo, pasti ada apa-apanya. Apalagi pakai acara nyebut-nyebut nama mas Pramudya segala,”

‘Pramudya? Itukah nama calon suami Gading?’

Desir kecemburuan menggeliat dalam hati Bima. Seketika jiwanya menjadi gelisah. Bima menghela nafas, berusaha memasukan oksigen lebih banyak ke dalam dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Lembayung semakin tak mengerti dengan sikap Bima.

”Emangnya kenapa, mas?”

Bima masih terpaku. Mata tajamnya masih lekat mengamati gerak gerik Gading. Sekali lagi Gading tertawa dan entah hanya karena ilusi tata cahaya atau memang imajinasi Bima yang sedang mengawang, malam ini Gading tampak begitu bercahaya.

”Woi! Mas! Kenapa sih?”

Bima tersentak. Tepukan keras Lembayung di pundaknya memutuskan keasyikan Bima mengamati Gading.

”Ha? Oh nggak, nggak apa-apa, cuman heran aja, di jaman secanggih ini masih aja yang namanya perjodohan,”

Tanpa menunggu respon Lembayung, Bima beranjak mendekat ke arah Gading. Meninggalkan Lembayung yang melongo dengan sikap Bima.

”Hai bos! Thanks yah party-nya,” Anton menyambut kehadiran Bima dengan senyum penuh penghargaan di wajahnya.

“Iya nih pak Bima, makasih banyak udah ngundang kita kesini. Apartemennya keren!” tak ketinggalan dengan Sasi, sekretarisnya, ikut menyampaikan ucapan terima kasih.

“Sama-sama, makasih juga buat kerja keras kalian,” Bima tersenyum pada dua tangan kanannya itu.

”Eh, Sasi, kita ke sana yuk, tadi Yoga kan mau ngomongin soal proyek Liberasi Corp.”

”Oh iya,  kami kesana dulu ya pak Bima, mbak Gading, mari. Janji ya, nanti kapan-kapan mbak Gading harus mau jadi talent kalau ada corporate yang mau hired mbak,”

Gading tertawa pelan menanggapi Sasi.

”Wah, ga janji deh mbak Sasi, kalau mau hired talent, adik aku aja, dia sudah biasa jadi model, tuh dia disana,”

Merasa ada yang memanggil Lembayung menoleh dan  melambai ke arah Gading kemudian kembali memusatkan perhatian ke layar plasma setelah grup kecil mengobrol Gading balas tersenyum ke arahnya.

“Tapi layak dicoba lho mbak Gading, bener kan pak Bima?”

Bima tersenyum dan mengangguk membuat Gading mendelik menanggapi responnya. Anton dan Sasi pun meninggalkan mereka berdua dengan gelak tawa yang masih terdengar di atmosfer.

”Puas?”

”Lah, kok jadi sewot sih? Kan bukan aku yang mengusulkan kamu untuk jadi talent?”

”Hm, dasar kamu itu ya!”

Bima tergelak pelan, rasanya begitu menyenangkan melihat wajah Gading yang sedikit bersemu merah. Membuatnya terlihat begitu menarik dan menggemaskan.

’Eh! Apaan sih kamu ini Bim?!?’

Logika Bima memperingatkan hati kecilnya yang mulai mengembara.

”Anyway, thanks ya, dah mau repot mempersiapkan syukuran kecil ini,”

“It’s ok Bim, lagipula sudah kewajiban aku lagi, kan kamu pesen catering sama bunda aku,”

“Jadi cuma karena kewajiban aja neh?”

”Maksudnya?”

Bima tersenyum penuh misteri, membuat Gading mengerutkan keningnya.

”Eh, keluar ke balkon yuk! Kalau malam gini pemandangannya keren lho! Tinggal pilih, mau melihat kerlip lampu kota atau melihat bintang, sama-sama indah,”

Tanpa menunggu  persetujuan Gading, Bima menarik tangannya menuju pintu kaca yang memisahkan bagian dalam apartemen dengan balkon.

Benar saja, begitu mereka sampai di balkon, mata Gading membulat, terpesona oleh pemandangan yang terhampar di hadapannya. Malam ini begitu cerah. Titik-titik sinar lampu yang bersinar di bawah serupa hamparan lautan cahaya yang berkelip. Sementara hamparan langit ungu tua kehitaman begitu mewah dengan taburan bintang. Kedua bertemu di horison, membuat harmoni tersendiri akan keindahan alam yang sejati dan kefanaan dunia.

”Bagus kan?”

”Iya... Indah sekali....,” sahut Gading lirih.

Tanpa sadar Gading mengeratkan pegangan tangannya ke pagar balkon, bibirnya sedikit terbuka oleh rasa kagum dan hembusan angin malam perlahan mengibarkan beberapa helaian rambut hitam ikal yang terlepas dari ikatannya.

Bima tertegun, matanya kembali terpaku pada gadis semampai yang kini berdiri tepat di sampingnya. Gading begitu cantik malam ini. Tidak berpakaian modis tapi begitu pas dengan gayanya sendiri. Tidak bermake-up mutakhir, tapi begitu ayu dengan polesan sederhana yang sesuai.

Dan matanya, dalam bingkaian bulu mata yang tebal dan lentik, begitu berseri seakan mematulkan cahaya bintang.

Ia teringat apa yang disampaikan Lembayung padanya tadi. Gading akan dijodohkan. 

Hati Bima tergetar.

Perlahan Bima menggeser posisinya merapat lebih dekat ke arah Gading. Gadis itu masih tak bergeming. Agaknya ia benar-benar tersihir oleh keindahan suasana malam.

Entah apa yang menggerakannya, tiba-tiba dengan berani tangan Bima menggenggam tangan Gading yang memegang erat pagar besi balkon. Bertumpu pada pagar balkon, Bima bergerak semakin dekat. Perlahan ia membungkukkan badan, wajahnya semakin dekat pada wajah Gading yang terkesiap.

Dan terjadilah.

Tanpa bisa dicegah, Bima mengecup bibir Gading. Bukan sekedar sebuah kecupan ringan, tapi kecupan yang begitu dalam.

Kecupan seorang kekasih.

Dan segalanya seakan lenyap bagi Bima. Suara rendah percakapan para tamu, alunan saxophone, semuanya hilang. Yang dia sadari hanya Gading. Gading seorang.

PLAK!!!!

Sengatan di pipinya menyadarkan Bima. Bima tertegun menatap Gading yang kini memerah mukanya dengan nafas memburu. Tangannya yang habis menampar Bima, masih menggantung di udara. Wajahnya begitu pias oleh keterkejutan yang tak terhingga.

Bima pun tak kalah terkejutnya. Ia tak habis pikir, kenapa ia sampai lepas kendali. Pipinya terasa panas, namun ia tak berani mengelusnya. Ia benar-benar tak menyangka reaksi Gading akan seperti itu. Namun apa daya, menyesal pun sudah tak ada gunanya. Semua sudah terjadi.

”Aku pulang,”

”Gading...”

Reflek Bima meraih lengan Gading, menahannya untuk tidak pergi.

”Lepaskan tanganku, Bima! Kalau kau masih menghargaiku sebagai sahabatmu, tolong biarkan aku pulang sekarang,”

”Gading...”

Bima menatap punggung Gading yang kini membelakanginya. Dari gesturenya, Bima tahu, Gading marah, atau tepatnya murka. Akhirnya, dengan pasrah Bima melepaskan pegangan tangannya.

Begitu Bima melepaskan tangannya, setengah berlari Gading kembali masuk ke ruangan, bergerak terus hingga berhenti tepat di samping sofa tempat Lembayung asyik menonton film. Beberapa tamu tampak mulai bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi.

“Mbayung, mbak pulang duluan, ada urusan, tolong kamu urus semuanya,”

Tanpa menunggu jawaban Lembayung, Gading bergegas menuju ruang depan apartemen, meninggalkan Lembayung yang kembali melongo dengan keanehan sikap kedua orang terdekatnya itu.

”Mbak Gading, tunggu!”

”Gading, tunggu!”

Secara bersamaan Lembayung dan Bima berseru memanggil Gading, hingga menarik perhatian para tamu. Namun Gading seakan tak mau dengar. Dia tak mau berhenti, bahkan terus membuka pintu, bergegas keluar dari apartemen pent house itu. Dan sebelum Lembayung berdiri menyusul Gading, Bima telah melesat mendahuluinya. Membuka pintu dan menutupnya kembali dengan suara yang begitu keras hingga mengagetkan seluruh tamu, tak terkecuali Lembayung.

Seakan dikomando, seluruh pandangan mata tamu beralih pada Lembayung, dan Lembayung hanya tersenyum pasrah sambil mengangkat bahu, mengisyaratkan ia tidak tahu menahu tentang apa yang tengah tengah terjadi di antara tuan rumah dan kakaknya.

’Kenapa sih mereka berdua itu?’

Sambil masih terus bertanya-tanya dalam hati, Lembayung menekan tombol panggil cepat di ponselnya.

’Mbak, angkat dong, please!’

Hingga suara mail voice berkumandang, Gading tak juga mengangkat ponselnya. Lembayung mencobanya sekali lagi. Namun sia-sia, lagi-lagi suara merdu mail voice dari operator selular yang menjawab panggilan teleponnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menekan tombol panggilan cepat yang lain.

Tak sampai dering ketiga, panggilannya telah mendapat respon.

”Bunda, ini Mbayung,”

Lembayung terdiam sejenak, menyimak lawan bicaranya.

”Semua ok bunda, tapi sepertinya yang nggak ok mbak Gading sama mas Bima. Lembayung gak tahu ada apa, tapi yang pasti Lembayung ditinggal pulang sama mbak Gading,”

Kembali Lembayung diam menyimak.

”Baik bunda, nanti biar Lembayung yang nangani disini, terima kasih bunda,”

Lembayung menutup sambungan teleponnya dan termangu diam. Dalam benaknya berkecamuk berbagai pemikiran.

’Jangan-jangan...?’

Wajah cantiknya terkesiap, menyadari apa yang baru saja terlintas di pikirannya tentang Gading dan Bima.

= # =

”Gading, tunggu!”

Bima terus berlari mengejar Gading yang bergegas menuju lift pribadi yang menghubungkan lantai apartemennya dengan basement tempat private parking.

”Gading!”

Beruntung, Bima masih sempat mengejar Gading dan ikut masuk ke dalam lift.

”Kamu mau apa Bima?”

Bima tercekat. Suara Gading begitu dingin dan menusuk.

“Gading, please, dengerin aku dulu,”

Gading tetap diam. Pandangan matanya lurus menatap pintu lift yang menutup. Ia benar-benar tidak mau menatap ke arah Bima.

“Gading...”

Gading menepis tangan Bima, dan gerakan kecil itu cukup menyadarkan Bima, Gading benar-benar marah.

“Kalu mau ngomong, ngomong aja, ga usah pegang-pegang,”

Bima menghela nafas.

”Aku minta ma’af, Gading, aku tak bermaksud...,”

”Sudahlah Bim, aku sedang tidak ingin  bicara panjang lebar. Yang pasti aku kecewa, aku ga nyangka kamu tega-teganya berbuat seperti itu. Aku sahabatmu, Bim, aku bukan salah satu piala kemenanganmu. Camkan itu!”

Suara Gading dingin dan datar walau sedikit bergetar, namun begitu menusuk perasaan Bima. Bima tahu, Gading sedang berupaya keras mengontrol rasa marahnya. Begitu kuatnya ia menahan kemarahan, hingga Bima bisa melihat tubuhnya gemetar. Mungkin akan lebih baik bagi Bima jika Gading memaki-makinya atau berteriak keras meluapkan kemarahannya.

Tapi ini?

”Gading...”

Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai tujuan membuat ucapan Bima terputus.

”Permisi, aku mau lewat,”

Gading membuang pandangannya, ia benar-benar menghindari kontak mata dengan Bima yang kini berdiri menjulang, menghalangi jalan keluar.

”Gading...”

Dan terlihatlah sudah.

Ketika Gading mendongak, menatap lurus ke dalam mata Bima. Luka di mata yang memantulkan cahaya bintang itu begitu nyata.

Bima tertegun.

Ia yang menorehkan luka itu. Mengkhianati rasa kepercayaan antar sahabat.

”Aku mau pulang, Bima... Tolong...”

Bima terdiam tak berdaya. Ia tak bisa memaksa Gading untuk mendengarkan penjelasannya. Lagipula ia pun tak tahu apa yang harus dijelaskannya pada Gading.

Akhirnya ia bergeser, memberikan ruang pada Gading untuk keluar dari lift. Dan saat Gading akan melewatinya, Bima mengucapakan sesuatu yang begitu mengagetkan Gading.

”Asal kau tahu Gading, aku minta ma’af atas apa yang aku lakukan padamu, tapi aku tak menyesal telah melakukannya,”

Langkah Gading terhenti sesaat tepat disamping Bima. Ia menghela nafas dan berpaling ke arah Bima.

”Karena memang begitulah dirimu, Bima, never stop playing with woman’s heart,”

Desir dingin merambati tengkuk Bima ketika melihat senyum Gading yang begitu sinis. Bukan ini yang diharapkannya dari Gading, tapi suka tidak suka, inilah yang harus ia telan. Dan setelah mengucapakan kaliamt datar yang ebgitu dingin, Gading berlalu meninggalkan Bima termangu sendiri dalam perasaan tak menentu.

= # =

Detak jam membangunkan Gading dari tidurnya yang gelisah. Dengan mata masih berat dan kepala sedikit pening karena tidur yang tak lelap sekilas ia melirik jam dinding. Ternyata baru jam setengah satu lewat lima menit, rupanya tidurnya yang tak tenang membuat waktu terasa jadi lebih panjang dari biasanya. Dan kini, setelah kesadaran mulai masuk di kepalanya, mata Gading nyalang menatap langit-langit kamarnya. Perlahan otaknya memutar segala kejadian yang terjadi sebelum ia dengan langkah berat masuk ke dalam kamarnya tanpa memperdulikan pertanyaan bundanya yang terheran-heran oleh kedatangannya.

Dan kembali, peristiwa itu terbayang jelas di benaknya.

Bima mengecup bibirnya.

Bukan, bukan mengecup, tepatnya mencium bibirnya. Ciuman yang walaupun singkat namun begitu dalam. Ia merasa dikhianati oleh ciuman Bima, bagi Gading, kepercayaannya pada Bima sebagai seorang sahabat telah dinodai oleh sikap impulsif Bima.

Gading mendesah resah. Mau tidak mau, sekarang dia jadi memikirkan ciuman singkat Bima. Jujur, baru kali ini Gading merasakan ciuman intim namun begitu lembut dan terasa memabukkan. Seumur hidupnya ia baru pacaran sebanyak dua kali, dan tak pernah ada yang memberikan ciuman sedemikian intim seperti yang dilakukan Bima kepadanya.

’Tapi, kenapa harus Bima?’ batinnya bertanya gundah

Kedekatan yang terjalin antar mereka selama ini dikarenakan orangtua mereka bersahabat. Perasaan sayang yang timbul di antara mereka, bagi Gading juga tak lebih dari perasaan sayang persaudaraan. Ia tidak memiliki kakak laki-laki, dan ayahnya telah meninggal semenjak Gading duduk di bangku sekolah menengah pertama, maka kehadiran sosok Bima terasa begitu pas mengisi kekosongan akan figur laki-laki di kehidupannya dan Lembayung. Toh, selama ini Bima juga bersikap sama, baik pada Gading maupun Lembayung.

Namun, malam tadi, dari sejak Gading memasuki pintu apartemen Bima bersama Lembayung, mbak Rini dan mas Hadi, Gading merasakan ada aura yang berbeda setiap kali Bima menatapnya. Tak jarang Gading menangkap basah Bima tengah mengamatinya dan segera memalingkan wajahnya begitu ia sadar Gading telah mengetahui apa yang dilakukannya.

Dan puncak keanehan tingkah laku Bima terjadi di teras balkon apartemennya. Tanpa ada peringatan sedikitpun, Bima menciumnya.

Mencium bibirnya!

Dan celakanya, seakan tersihir begitu saja, Gading sempat membiarkan dirinya terlena dalam ciuman singkat Bima. Namun segera kesadaran Gading berontak. Bagi Gading, Bima telah bertindak tidak hormat padanya. Di mata Gading, bisa jadi Bima menyamakannya dengan para gadis yang telah menjadi taklukannya. Dan pemikiran itu sangat mengganggu Gading, yang membuatnya bereaksi spontan, menanggapi ciuman Bima dengan sebuah tamparan keras. Reaksi yang begitu mengejutkan, bukan hanya bagi Bima, bahkan untuk Gading sendiri.

”Arrrghhh!!!”

Gading menelungkupkan badan dan membenamkan wajahnya di kelembutan bantal.

Namun ternyata tindakannya itu salah besar. Dengan mata tertutup bantal, rasa dan kenangan bibir Bima di atas bibirnya semakin jelas. Bahkan kini, aroma CK Eternity Aqua khas Bima samar-samar menyapa indera penciuman Gading.

Kembali Gading membalikkan tubuhnya, terlentang menatap ke langit-langit kamarnya, namun lagi-lagi, wajah Bima membayang di sana. Bukan dalam sosoknya yang jahil dan tengil seperti biasa, tapi dalam tatapan yang begitu sendu penuh perasan bersalah, persis sama saat terakhir kali Gading meninggalkannya.

”Iiihhhh!!! Be-te deh ah!“

Gading mengacak-acak rambutnya sendiri, membuat rambut ikal mayangnya semakin tak keruan beruraian di atas bantal. Sepertinya, dia tak akan bisa terlelap kembali.

Dan benar saja, hingga seluruh penghuni rumah terjaga untuk melakukan rutinitas kegiatan catering, mata Gading masih terbuka lebar. Pikirannya masih berserabutan kesana kemari tak tentu arah, namun yang pasti, inti di pemikiran Gading hanya satu, Bimasena Setyo Yudho.

= # =

Gading baru selesai ganti baju ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar diiringi suara Lembayung yang memanggil namanya.

”Masuk aja Mbayung, ga dikunci,”

Sejurus kemudian pegangan pintu berputar dan wajah Lembayung yang cantik menyembul dari balik bilah papan jati berukir itu.

”Ada apa, Mbayung?”

Gading bertanya sambil meneruskan memoleskan pelembab di wajahnya yang ayu. Ekor matanya menangkap bayangan Lembayung yang beranjak duduk ke tempat tidurnya.

”Semalam, mbak Gading ga bisa tidur bukan?”

Gerakan tangan Gading yang memulas bedak sempat terhenti sejenak mendengar pertanyaan Lembayung. Pandangannya kali ini beralih pada bayangan Lembayung dari cermin. Adiknya itu kini duduk bersila di atas tempat tidurnya, balas menatap penuh selidik ke arahnya.

”Nggak tuh, aku tidur nyenyak, memangnya ada apa?”

Gading kembali memusatkan perhatian pada wajahnya sendiri, berusaha keras berkonsetrasi meratakan bedak di bawah tatapan tajam Lembayung. Dia tahu, pasti sebentar lagi Lembayung akan mengomentari kantung mata yang tampak samar menggantung di bawah matanya. Sebagai seorang model profesional, Lembayung sangat kritis dalam menilai penampilan seseorang.

Benar saja, begitu mendengar jawaban Gading, Lembayung segera melompat dengan kaki panjangnya mendekati Gading yang duduk di meja rias.

”Trus, mata panda ini dapatnya dari mana? Pastinya bukan karena ditonjok orang kan?”

Kali ini sambil membungkuk di belakang Gading, telunjuk tangannya yang berkuku rapi menunjuk ke kantung mata Gading yang tampak samar. Sementara seringai jahil tersungging di wajahnya yang cantik walau tanpa riasan.

”Apaan sih?”

Gading menepis tangan Lembayung dengan perasaan enggan. Dia tahu, percuma saja berkelit dari Lembayung, karena bagaimanapun, adiknya ini sangat tahu akan dirinya.

Sementara itu dengan senyum jahil masih terurai, Lembayung kembali duduk di tepi tempat tidur Gading dan memeluk guling bersarung warna peach. Matanya masih saja menyelidik ke arah kakak perempuan satu-satunya itu.

”Memangnya semalam mbak Gading ada masalah apa sih sama mas Bima?”

Deg!

Gading sudah tahu, niatan Lembayung masuk ke kamarnya pasti akan menanyakan hal itu, namun dia masih saja merasakan keterkejutan di hatinya ketika nama Bima disebut. Sikap Gading yang terdiam sejenak tak luput dari perhatian Lembayung yang masih saja menatap penuh rasa ingin tahu.

”Mbak Gading berantem ya sama mas Bima?”

Gading menghela nafas. Ia tahu, sampai mendapatkan jawaban, Lembayung tak akan berhenti untuk mencari tahu, apa yang telah terjadi antara dirinya dan Bima semalam. Apalagi dia telah terang-terangan meninggalkan Lembayung, yang notabene hanya membantunya untuk mengurusi catering di apartemen Bima. Dan pagi ini, dia harus menghadapi konsekuensinya. Di interogasi oleh adik semata wayangnya, Lembayung Ungu.

Gading masih terdiam, ia bimbang, haruskah menceritakan apa yang telah dilakukan Bima kepadanya ataukah...

”Kalau mbak Gading ga mau cerita sih ga apa-apa. Tapi, setidaknya aku butuh penjelasan, mbak. Kenapa, seorang Kemuning Gading, kakak perempuanku yang terkenal sangat bertanggung jawab, tiba-tiba dengan seenaknya pergi begitu saja di tengah acara yang menjadi tanggung jawabnya,”

Lembayung memasang wajah lucu sambil mengerling ke arah Gading dengan alis mata terangkat sebelah. Gading meletakkan sisir di meja rias dan menatap tajam ke arah Lembayung lewat bayangan di cermin.

”Jadi ceritanya, kamu keberatan neh menggantikan aku semalam?”

”Ya nggak juga sih mbak... Cuman, piye yo... Njanur gunung gitu lho mbak... Apalagi ini yang punya acara mas Bima, putranya mama Lis dan papa Irawan, yang mbak juga kenal baik alias sudah raket banget... Sebenarnya ada apa sih mbak?”

Kali ini Lembayung bersikap lebih serius, dia tahu, Gading sedang menghadapi sebuah permasalahan dengan Bima. Dan menanyakannya dengan sikap main-main hanya akan membuat Gading semakin gusar kepadanya.

Gading menengadahkan kepala dan memejamkan matanya kemudian ia menghembuskan nafas dengan keras, seakan ingin menghempaskan beban berat yang menghimpit hati dan pikirannya. Ia pun berbalik, duduk menghadap ke arah Lembayung yang masih menunggu jawaban darinya.

”Semalam, Bima mencium aku,”

Suara Gading datar saja, namun itu cukup untuk mebuat reaksi dahsyat baik di wajah Lembayung maupun di wajah Gading sendiri.

Lembayung melongo begitu mendengar apa yang di sampaikan Gading, bibirnya yang indah membulat sementara matanya semakin besar oleh sorot ketidakpercayaan. Sementara semburat merah menjalari wajah kuning langsat Gading hingga ke telinganya.

Dengan gerak perlahan jari Lembayung mengetuk pipinya dan menyiratkan tanya dimatanya, dan dijawab oleh Gading dengan gelengan kepala dan jari tangannya menyentuh pelan ke arah bibirnya sendiri.

”Oh My God!”

Lembayung menangkupkan kedua tangan menutupi hidung dan mulutnya. Mata bulatnya menatap ke arah Gading yang kini menekuri lantai.

”Jadi benar dugaanku, mbak...”

Gading mengangkat padangannya dari lantai dan memandang tak mengerti ke arah Lembayung yang masih menatap takjub ke arahnya.

”Mas Bima sebenarnya mencintai mbak Gading,”

Gading terpaku mendengar penuturan Lembayung.

”Ngaco!” seketika Gading menolak ucapan Lembayung.

”Lho! Beneran lagi mbak!”

”Kata siapa? Kamu ga usah mengada-ada deh! Bima itu emang dasarnya playboy, makanya ga bisa liat cewek nganggur dikit,”

”Wooo.. Wooo.. Sabar mbak, sabar... Nggak usah emosi gitu dong...,” tangan Lembayung membentuk gerakan seakan menahan sesuatu di depan dadanya demi melihat Gading menggebu-gebu.

”Dengerin ya mbak... Ini sepanjang sepengetahuanku selama aku kenal mas Bima, soal dia playboy itu kan cuma rumor di luaran, lha ini beneran lho!”

Reflek Lembayung menangkis cibiran Gading.

”Mbak Gading tahu ’kan, di lingkungan seperti apa aku bekerja,” Lembayung terdiam sesaat, menunggu reaksi Gading. Melihat Gading diam saja, Lembayung tersenyum.

”Nah, di kalangan sosialita ibukota, mas Bima ini  termasuk salah satu the most wanted bachelor. Tahu mbak kenapa dia dapat julukan itu?”

”Nggak, dan aku juga nggak mau tahu,” sahut Gading spontan.

”Yakin?”

Gading mendelik pada Lembayung yang menyeringai jahil ke arahnya. Ia tahu, percuma saja bersikap keberatan pada Lembayung, karena gadis bertinggi 173 cm itu tetap akan menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya, tak peduli Gading suka atau tidak.

”Karena, menurut gosip para ladies, secara hati, mas Bima itu cowok paling susah didekati,”

Gading melirik pada Lembayung yang kini berbaring tertelungkup di tempat tidurnya dengan dagu bertelekan pada guling.

”Dan gara-gara itu, aku kadang suka di’musuhi’ sama cewek-cewek yang mau dekati mas Bima kalau pas kami berada di sebuah acara yang sama. Mereka pikir aku ini pacar mas Bima, karena mas Bima nempelin aku juga,”

”Mau-maunya kamu digituin ama Bima,”

”Ya nggak apa-apa kan mbak, toh kami sama-sama diuntungkan hehehehehehe,”

Gading terdiam. Selama ini Bima memang begitu menjaga mereka berdua. Seringkali, bundanya menitipkan Lembayung pada Bima karena tak jarang mereka berdua berkecimpung dalam dunia yang sama. Sedikit banyak, Gading merasa berterima kasih pada Bima yang telah menjadi seorang kakak laki-laki yang baik bagi mereka berdua.

”Jadi mbak, aku akan merasa senang sekali kalau mas Bima yang jadi suami mbak Gading, daripada mas Pramudya yang udah kapan tahu deh kita ketemunya,”

”Ngawur kowe kuwi!”

”Lho, emangnya salah toh mbak? Nggak kan? Keluarga kita sudah kenal baik dengan keluarga mas Bima, malahan udah kayak keluarga sendiri. Mbak Gading juga sudah terbiasa dengan kehadiran mas Bima. Masa iya sih, ga ada sedikit pun perasaan di hati mbak Gading buat mas Bima?”

Lagi-lagi Gading terdiam. Mau tak mau, pertanyaan Lembayung membuatnya mengkaji ulang hubungan yang selama ini terjalin antara dirinya dan Bima. Walau usia terpaut tujuh tahun, namun hubungan mereka sebagai sahabat, membuat mereka merasa demikian nyaman satu sama lain. Tak jarang rasa kehilangan akan menghampiri Gading apabila Bima tidak menghubunginya begitu juga sebaliknya. Bahkan akhir-akhir ini, perasaan Gading mulai merasa tidak nyaman setiap mengetahui Bima tengah dekat dengan gadis lain. Dan itulah yang membuat Gading mencegah hatinya untuk tidak terlibat dalam kedekatannya dengan Bima. Bima adalah tipe laki-laki yang sangat dipuja wanita dan tampak begitu menikmati kondisinya.

”Bima buka tipe aku, Mbayung,”

Lembayung tergelak pelan.

”Aduh mbak Gading-ku sing ayu dhewe.... Memangnya mas Bima kurang apa sih mbak? Ganteng? So pasti! Gagah? Banget! Tajir? Walah, kalau yang itu ya ga usah ditanya lagi... Perhatian? Dengan merem semua orang juga bisa liat kalau mas Bima perhatian banget sama mbak Gading... Oh, aku tahu, karena terlalu banyak wanita yang ada di sekitar mas Bima ya?”

Gading diam tak bergeming mendengar teori yang disampaikan Lembayung. Sedikitnya hati kecil Gading membenarkan apa yang disampaikan Lembayung. Dia tak mau terluka dengan membiarkan hatinya terbuka untuk perasaan lebih dari sekedar persaudaraan terhadap Bima.

”Yah... Semua sekarang terserah mbak Gading, karena mbak Gading yang menjalani. Cuma ya itu tadi, aku lebih seneng kalau mbak Gading sama mas Bima...”

Gading tersenyum pada Lembayung yang sudah berdiri di dekat pintu, bersiap-siap keluar dari kamarnya.

”Oh ya mbak...”

”Ya?”

”Pasti rasanya melayang ya dicium mas Bima?”

”Lembayung!”

Dengan sigap Lembayung berkelit ke balik pintu membuat guling yang dilemparkan Gading mengenai bilah kayu jati coklat tua itu. Disertai tawa renyah Lembayung dari balik pintu, Gading mengamati wajahnya di cermin yang merona.

= # =

Bima melangkah menyusuri selasar bangunan asri itu. Suara sol karet Nike menimbulkan irama tersendiri seiring dengan ayunan kakinya. Dan senyumnya mengembang ketika melihat sosok anggun wanita paruh baya tengah sibuk menata rangkaian bunga aster di jambangan bunga.

”Pagi ma,”

Bima menyapa wanita yang tak lain adalah mamanya. Dan wanita anggun itu berbalik begitu mendengar suara putra kesayangannya, segera saja, senyum cerah menghiasi wajahnya yang berias elegan.

”Biyuh... biyuh... anak jokonya mama akhirnya pulang juga...”

Bima tersenyum geli mendengar sambutan mamanya, ia pun meraih tangan kanan mamanya, mencium lembut punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu kemudian menerima kecupan sayang di kedua belah pipinya.

”Ayo masuk, kamu sudah sarapan?”

”Sudah ma, tadi Bima sarapan ketoprak pak Min di ujung jalan sana,”

Bima menjawab pertanyaan ibunya sambil beriringan langkah memasuki ruang tamu yang berinterior elegan.

”Mas, ini lho, ada Bima,”

Gemerisik suara kertas menandakan papa Bima tengah meletakkan surat kabar bisnis terbaru yang tengah dibacanya. Tak berapa lama suara bariton berwibawa sang pemilik rumah menggema di ruang tengah yang besar.

“Piye kabarmu, boy?”

“Baik, pa,”

Bima menghampiri lelaki paruh baya yang masih nampak bugar dan melakukan ritual yang sama seperti yang ia lakukan ketika bertemu dengan ibunya serta menambahkan tinju kecil khas ayah dan anak disertai senyum penuh rasa sayang antara keduanya.

“Papa sehat? Papa kapan ada waktu? Bima pengen mancing nih pa,”

Mata tajam pria paruh baya itu menatap penuh selidik ke arah anak laki-lakinya yang kini duduk bersandar di sofa. Belaiu menyadari, ada hal yang ingin dibicarakan anak laki-lakinya ini. Sebagai pria dewasa. Pembicaraan antara laki-laki.

”Kamu pengen mancingnya kapan? Kalau papa sih setiap saat ada waktu,”

Inilah yang sangat dirindukan Bima dari kedua orangtuanya. Sedari ia kecil, sesibuk apapun kedua orangtuanya, mereka selalu ada waktu untuknya, selalu mendukung dirinya. Dan kini ia sangat butuh dukungan itu. Ia tak peduli dibilang cengeng atau apa, namun ia sangat perlu nasehat dari ayahnya, sebagai seorang laki-laki. Dan ia perlu pelukan penuh kasih sayang dari ibunya, untuk membantunya meredam perasaan ngilu dalam hatinya.

”Jeng, anakmu lanang pengen mancing sama aku, arep melu po ra?”

Kembali suara ayahnya bergema, bertanya pada istrinya yang kini telah duduk di sebelah Bima, menepuk penuh rasa sayang pada anak laki-laki sulungnya.

”Ayo, mau hari Minggu ini? Opo sesuk? Kan besok sudah hari Sabtu toh?”

Bima tersenyum simpul. Hatinya yang gundah seketika terasa hangat melihat kedua orangtuanya.

”Bima ikut saja apa kata mama dan papa. Oh ya ma, Bima nginap di sini ya,”

Ibunya tersenyum sumringah mendengar Bima akan menginap di rumahnya.

“Lha, mbok ya gitu... Masa ke rumah orangtuanya sendiri aja jarang-jarang, padahal kamu itu masih bujang. Lain cerita kalau kamu sudah punya keluarga kayak adik-adikmu itu. Yo wis, biar mama kasih tahu mbok Sum, kalau kamu juga mau nginap,”

“Memangnya Ranti sama Woro juga mau nginap ma?”

“Iya. Mereka sudah janjian mau kesini, tapi nunggu Nugroho pulang dari Singapura sama Agung balik dari Kalimantan. Kalau ga salah nanti malam mereka datangnya. Nanti biar sekalian kita ajak mereka mancing, iya toh mas?”

Lelaki paruh baya itu mengangguk dan tersenyum penuh kasih, mengiringi langkah istrinya yang mencari kepala rumah tangga kepercayaannya. Dan ketika mengalihkan pandangan pada Bima, mata tajam berpengalamannya menangkap kegundahan dalam jiwa anak laki-lakinya.

”Kamu kenapa, boy?”

Bima tersentak, bagaimanapun ia hampir tak pernah bisa menyembunyikan apapun dari kedua orangtuanya. Termasuk kali ini.

”Capek aja, pa...”

”Perempuan? Atau wanita?”

Bima tersenyum getir. Kiasan-kiasan yang sering digunakan ayahnya selalu mampu mewakili apa yang ada dalam pikirannya.

”Wanita, pa,”

”So, have you got the right woman, now?”

Bima menghela nafas. Ayahnya memang tidak sesering menanyakan perihal pendamping hidupnya dibandingkan dengan ibunya, namun saat pertanyaan itu terlontar dari mulut lelaki role modelnya ini, Bima merasakan beban berat menindih hatinya.

“Begitulah pa, tapi…”

“Sudah ada yang punya?”

Bima memandang balik pada tatapan ayahnya yang menyelidik.

“Belum sih pa, lebih tepatnya hampir ada yang yang punya,”

Alis ayahnya terangkat tinggi, menandakan ketidakpahaman berkecamuk di benaknya.

“Lantas?”

Bima menghela nafas.

“Entahlah, pa… Bima bingung,”

Ayahnya kembali tersenyum mahfum dan menghela nafas.

“Kau tahu mamamu kan?”

Bima mengangguk namun menatap tak mengerti.

“Diajengnya papa itu, dulu perempuan yang sangat sulit ditaklukan. Selain orangnya sangat independen, keluarganya juga sangat sulit didekati. Tapi, coba kamu lihat sekarang,” senyum kebanggaan tersungging di wajah tampan berkarisma itu.

“Inget boy, jika kamu sudah melihat seorang perempuan sebagai wanita yang akan mengisi kehidupan masa depanmu, maka perjuangkan. Wanita yang tepat di hati kita, perlu dan harus kita perjuangkan,”

Bima termenung mendengar penuturan ayahnya. Ingatannya langsung melayang pada sosok Gading, sosok yang telah mengisi hati dan pikirannya akhir-akhir ini. Diam-diam hati Bima membenarkan perkataan ayahnya. Wanita tepat memang harus diperjuangkan. Gading wanita yang tepat baginya dan ia akan memperjuangkannya.

--> to be continued

18 komentar:

  1. kyaaaaaaa.... Gading, please listen to him. Give him a chance to explainnnn.... aaahhhhhhhhhh *nelangsa nih
    Thanks ya sista Feather Pen, I really can't wait for the next update. ^^

    BalasHapus
  2. haduuuuuh Bima makanya jangan langsung main cium dong.....jelasin dulu isi hatinya jelas aja gading marah.....anyway gading beneran nih gak seneng di cium Bima....ditanggung malam ini gak bakaln bisa tidur deh.....duh....mudah2an cepet baikan nnsaling sadar sama perasaan masing2 ya......

    BalasHapus
  3. If bima didn't take any step forward,both of them will never realize their feeling for each other...tapi persahabatan mereka bener2 dipertaruhkan nih!

    BalasHapus
  4. hadeeeh, emang kaget sih kl sahabat ternyata punya perasaan cinta. Jd reaksi gading sangat wajar. Mudah2n gading sadar kl Bima mencintai Gading dg tulus.

    BalasHapus
  5. langsung bilang donk bima
    i dont wanna play with ur heart
    i love u
    and its real
    huwaaaa....!!!

    *senangnya mereka kissu kissu*

    BalasHapus
  6. yahhh,,, kurang banyakkkk >.<
    tapi senang, akhirnya gading sadar kl dia juga menikmati ciuman singkat dan dalam dr bima

    gimana yah reaksi keduanya saat ktemu lagih..?
    hmmm penasarannn...

    BalasHapus
  7. dari sahabat jadi pacar why not gading ???

    BalasHapus
  8. Mudah2n Gading punya perasaan yang sama terhadap Bima. Kurang banyaaaak, lanjuuuuut....

    BalasHapus
  9. lanjot...say...makin seru ya bayangin suasana mereka pas ketemuan lg

    eva

    BalasHapus
  10. pinterrr mbayung
    dasar aja gading ga nyadar
    hehehehe....

    BalasHapus
  11. Thanks God ada Lembayung...!!! Horeeee....!!! Tolong ya mbayung...pikiran mbak gading-mu itu dibuka sedikit donk ttg sikap bima. Kalo perlu,jadi mak comblang aja sekalian :) hehehehehe.... * Flo *

    BalasHapus
  12. kuraaaaaannnnng, lagian Gading ya udqah sih klo emang Bima bener2 suka n cinta kenapa???, toh Bima selama ini orgnya bertanggung jawabkan, mana cakep mapan...nunggu apa lagi coba??? sekarang coba tanya ke diri sendiri dulu apa iya gading gak mungkin suka sama Bima?????ya sud klo gak mau Bimanya buat aku aja wklwkwkwkw

    BalasHapus
  13. kyaaaaaaaaaaa.......... kuranggggggggggggg... bangettttttttttttttttttt ^^
    ga sabar nunggu kelanjutannya.. makasih ya sis Feather Pen

    BalasHapus
  14. Setuju sama papa-nya Bima!! Ayo berjuaaannnngggggg......!!!!! * rini *

    BalasHapus
  15. sukkaaaaaa....
    fighting Bima....!!!!!!

    BalasHapus
  16. andai saya punya keluarga kyk bima...^_^
    ayo berjuang bim, berjuang demi kebahagian...hidup bima! !!...:-)

    BalasHapus
  17. semangat Bimaaaaa, selama janur kuning belum berkibar, perjuangkan Gadiiing.

    BalasHapus
  18. ayo bima semangaaatt,,,, menangkan hati gading jgn smp pramudya yg dptin gading,,, lanjut sistaaa,,,, :)
    Mutia na rival

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-