Minggu, 11 Desember 2011

The Angel Voice

Seorang diva papan atas, Ai Lein, yang berhati dingin dan egois namun memiliki kualitas suara yang begitu menghipnotis bagi siapapun yang mendengarkan ia menyanyi. Sikapnya yang begitu keras seringkali menyulitkan Angie selaku managernya yang merupakan saudara kembar identik Ai Lein.
Hingga suatu saat, karena begitu banyak dendam yang dialamatkan kepada Ai Lein, Angie menjadi korban perkosaan hingga mengalami trauma dan depresi berat.
Bagaimana Ai Lein mengungkap kejahatan yang menimpa saudari kembarnya?
Bersama Dash, sang produser yang telah lama menaruh hati padanya, Ai Lein berjuang membantu Angie menata hidup, menghilangkan rasa trauma dan berjuang keras mengendalikan semua karier menyanyi profesionalnya dengan tangannya sendiri.

inspired by film "Mendadak Dangdut"

= # =

Brak!

Pintu studio terbuka lebar setelah menimbulkan suara benturan keras di dinding. Beberapa staf studio tampak terkejut, namun begitu melihat siapa yang berada di balik keributan itu, mereka kembali bekerja. Walau dalam hati mereka sedang menghitung, kira-kira dalam berapa detik lagi Ai Lein, sang diva akan meledak.

”Angie! Apa-apaan ini?!?”

Benar saja, tak sampai lima detik, suara angkuh dan dingin Ai Lein membahana di ruangan itu. Diam-diam kasak kusuk di ruangan mulai terdengar. Topiknya tak lain adalah betapa berbedanya karakter kedua saudara kembar identik itu.

Angie mengangkat wajahnya dari organizer yang tengah dibacanya. Matanya yang berwarna coklat chesnut tampak menatap prihatin dari balik kacamata berbingkai kulit penyu miliknya pada saudari kembarnya itu.

”Ada apa Ai? Kamu bisa lebih tenang sedikit kan?”

Angie menatap Ai Lein yang meledak-ledak dengan senyuman penuh pengertian.

”Hah?!? Gimana gue bisa tenang, Angie? Berapa kali gue bilang sama lo, gue ga sudi pake baju rancangan si sampah itu!”

Angie menghela nafas, perselisihan antara Roman sang perancang busana dengan Ai Lein memang sudah menjadi rahasia umum. Ai Lein begitu membenci Roman, sebaliknya juga dengan Roman. Tapi mereka berdua juga tahu, hanya Roman yang mampu menampilkan wardrobe sesuai dengan kepribadian dan image Ai Lein dan hanya Ai Lein yang mampu mempresentasikan hasil karya Roman menjadi sebuah masterpiece.

Angie menghela nafas. Menghadapi Ai Lein yang tengah kesal sudah menjadi makanannya sehari-hari.

“Ok, trus kamu punya desainer alternatif?”

“Lho? Kenapa nanya gue? Itu kan tugas lo! Lo manager gue, lo dapet duit dari gue!”

Lagi-lagi, kata-kata itu terlontar lagi dari bibir cantik Ai Lein dan Angie hanya bisa kembali menghela nafas.

“Sudahlah Ai Lein, walau seberat apa permusuhanmu dengan Roman, yang pasti selama ini kita sudah membuat sebuah hubungan yang saling menguntungkan kan?”

“Oh! Jadi, gue pake aja tuh baju dari si sampah buat konser gue bulan depan? Gitu, maksud lo? What a crab, hah!”

“Ai Lein!” Angie berseru memperingatkan.

“Ada apa?”

Ai Lein memutar bola matanya yang berwarna coklat hazelnut. Salah satu yang tidak ingin ditemuinya hari ini adalah orang yang memiliki suara berat yang kini berdiri di ambang pintu studio.

“Begini Dash, Ai Lein komplain, dia tidak mau memakai rancangan Roman untuk konser tunggalnya bulan depan,”

“What a spoiled artist are you? Kenapa selalu masalah itu-itu lagi, Ai Lein?”

Mata indah Ai Lein menyipit. Dari sekian banyak orang yang paling tidak ia sukai, Dash, yang merupakan produsernya, menempati urutan pertama, sejajar dengan Roman. Dan orang yang sangat tidak disukainya itu kini menatap ke arahnya dengan pandangan tajam menusuk.

Ai Lein merasa jengah. Ia mendengus gusar.

Tanpa berkata-kata lagi, Ai Lein membalikkan badan dan berlalu dari hadapan Dash dan Angie. Detak sepatu bootnya terdengar begitu keras seiring hentakan kemarahan yang meluap di hatinya.

“Ai Lein, tunggu!”

“Sudah, Angie, biarkan. Tidak selamanya kau harus membujuk Ai Lein,”

“Tapi Dash…”

“Biarkan saja, lagipula Ai Lein sudah dewasa, dia pasti tahu konsekuensinya jika harus mengganti perancang busananya dalam waktu tak kurang dari sebulan,”

Angie memandang ke arah perginya Ai Lein. Masih terlihat kelebat jubah motif leopard milik Ai Lien, sesaat sebelum dia berbelok di ujung lorong.

Adik kembarnya itu selalu begitu, meledak-ledak dengan caranya sendiri dan sinis menghadapi apa yang tidak disukainya. Beruntung ia memiliki karunia suara yang begitu indah dan wajah dengan kecantikan yang begitu eksotik. Segala sikapnya yang buruk akan segera terlupakan begitu ia menyanyi.

“Bagaimana semua persiapan konser Ai Lein, Angie?”

Suara Dash yang dalam membangunkan Angie dari renungan singkatnya. Dan tak butuh waktu lama untuk membuatnya terlibat diskusi serius mengenai persiapan konser tunggal "The Angel Voice" Ai Lein bersama Dash.

= # =

Derum mesin bertenaga ribuan horsepower begitu memacu adrenalinnya. Wajahnya yang cantik tampak menyeramkan dengan kilatan kemarahan di mata hazelnutnya.

’Spoiled hah?!? Ok, gue bakal tunjukin ke lo, Dash! Apa arti dari kata spoiled itu!’

Ai Lein selalu begitu, setiap kali ia merasa gusar akan sesuatu dan  tidak ada yang bisa dijadikan ”korban” kemarahannya, maka ia akan membawa Mercedes Benz kesayangannya memacu kemampuan terbaiknya.

Seperti kali ini, ia begitu kesal pada Angie yang masih saja memakai Roman sebagai perancang busana untuk konsernya bulan depan. Belum lagi kata-kata Dash yang terasa menusuk hatinya.

Perlahan namun pasti ia terus memacu dan meningkatkan kecepatan mobil mewah keluaran negeri asal Hitler itu. Tangannya mencengkeram erat roda kemudi bersiap menginjak pedal gas lebih dalam lagi.

Alunan piano gubahan Maksim Mrvica dari gadget miliknya menyadarkannya. Perlahan ia melirik ke panel jam digital di dashboard berinterior mewah itu.

15:09

Ai Lein tahu, itu pasti Angie yang menghubunginya.

”Ya Angie?”

Ai Lein berbicara melalui head set yang terpasang di telinganya.

”Kau dimana, Ai Lein? Pukul 16:00 kau harus sudah sampai di Paladium State,”

Terdengar suara Angie yang lembut bertanya padanya. Ai Lein bisa membayangkan ekspresi teduh Angie. Ia pun menghela nafas.

”Gue tahu, gue ga akan telat,”

Tanpa menunggu jawaban Angie, Ai Lein pun menutup saluran teleponnya. Perlahan ia mulai melambatkan laju kendaraannya. Sudah cukup untuk hari ini. Setidaknya perasaannya sudah  sedikit tenang. Ai Lein memutar roda kemudi, mengambil jalan berbelok untuk kembali ke pusat kota, menuju Paladium State.

= # =

Semua mata yang ada di Paladium State begitu terpaku pada sosok Ai Lein yang tengah menyanyi. Ini hanya sesi latihan, untuk melihat tingkatan akustik Paladium State, namun bagi semua yang hadir saat itu seakan tengah menyaksikan sebuah private concert dari sang diva, Ai Lein. Hanya dengan diiringi alunan grand piano, Ai Lein membawakan lagu hits miliknya yang pernah selama beberapa bulan berada di posisi puncak beberapa tangga lagu stasiun radio dan televisi baik lokal maupun internasional. Bahkan beberapa staf wanita dari event organizer penyelenggara tampak mengusap air mata yang tanpa sadar membasahi pipi mereka.

Angie tersenyum bangga.

‘Inilah Ai Lein, adikku’ bisiknya dalam hati.

“Ai Lein selalu memukau, fantastik!”

Angie tersenyum pada Dash yang memandang lekat ke arah Ai Lein.

”Kau masih juga belum menyatakan perasaanmu padanya, Dash?”

Dash terdiam. Pertanyaan Angie membuat hatinya berdetak.

Bagi orang kebanyakan, hubungan Dash dan Ai Lein tampak begitu tegang, penuh perselisihan dan pertikaian khas antara produser dan penyanyi. Namun itu hanya di permukaan saja bagi Dash. Jauh di lubuk hati Dash, Ai Lein memiliki tempat khusus. Dan hanya Angie yang tahu akan hal itu. Berbeda 180 derajat dengan Ai Lein. Ai Lein teramat sangat tidak menyukai Dash, kalau tidak bisa dikatakan sebagai benci.

”Kau tahu sendiri kan Ang, Ai Lein begitu keras hati dan egois,”

Angie tersenyum. Dalam hatinya ia merasa bahagia, Ai Lein yang begitu keras kepala dan sangat menyulitkan bagi orang-orang yang bekerja dengannya, ternyata ada yang mencintai sedemikian dalam. Dan di mata Angie, Dash memang orang yang tepat untuk Ai Lein.

”Aku tahu, suatu saat kau akan mampu memenangkan hatinya, Dash. Aku percaya itu,”

Dash tercekat.

Kepercayaan yang begitu besar dari Angie, saudara kembar indentik Ai Lein yang hanya berbeda waktu lahir 5 menit dari Ai Lein begitu berarti baginya.

”Andai saja Ai Lein seperti dirimu, Angie,”

Angie kembali tersenyum, mata chesnutnya menatap lekat ke arah Ai Lein yang kini menyanyikan lagu keduanya.

“Jika, Ai Lein seperti aku, mungkin kau tidak akan mencintainya Dash. Bukankah sikap keras kepala Ai Lein yang memikatmu? Bukankah segala keangkuhan Ai Lein yang memukau hatimu?”

Bibir maskulin Dash terangkat, membentuk lengkungan sebuah senyum yang mampu membuat wanita manapun bertekuk lutut.

“Bukan hanya itu Ang, bukan hanya itu...,”

Angie kembali tersenyum setuju. Mereka berdua paham apa yang dimaksud Dash.

Pandangan mereka kembali terarah kepada Ai Lein. Sosok Ai Lein, yang glamour dan terkesan pemberontak tampak begitu menguasai panggung berukuran raksasa itu. Suaranya yang merdu, jernih dan bening begitu mempesona. Menelusup ke gendang telinga setiap yang mendengarnya dan dengan tanpa disadari merasuk ke dalam hati. Membangkitkan berbagai macam emosi. Membuat khayalan seakan menjelma nyata. Begitu indah.

= # =

Angie terbangun dari tidurnya, mengerjapkan mata dan meraih jam digital di meja samping tempat tidurnya.

Pukul 01:59 AM.

Samar-samar denting piano masih terdengar dari studio pribadi Ai Lein. Dan memang suara itu yang membangunkan Angie.

Perlahan Angie bangun dari tempat tidurnya, mengenakan jubah kamar dan beranjak keluar kamar. Langkah kakinya yang bersandal bulu membawanya menuruni tangga dan sampai di depan pintu studio yang sedikit terbuka. Alunan piano terdengar begitu sedih dan menyanyat.

Angie tersentuh.

“Ai?”

Perlahan Angie membuka pintu dan memasuki ruangan studio. Dan apa yang terpampang di hadapannya begitu mengiris hatinya.

Ai Lein, duduk di depan Steinway grand piano, memainkan nada-nada sendu dengan wajah berurai airmata. Bibirnya terkatup namun Angie dapat mendengar Ai Lien humming, mengikuti suara denting piano ketika ia menekan tustnya.

“Ai Lein...”

Ai Lein mengakhiri permainan pianonya dan terdiam terpekur. Airmatanya masih mengalir di pipi mulusnya. Menganak sungai seakan tak mau berhenti.

“Ai Lein...”

Kali ini Angie telah berada di belakang Ai Lein dan memeluk saudari kembarnya itu.

Ia tahu kepedihan yang dirasakan Ai Lein. Ia paham betul apa yang tengah berkecamuk di hati Ai Lien. Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam dalam posisi yang sama. Hingga akhirnya Ai Lein melepaskan lengan Angie dan berdiri dari tempat duduknya.

“Gue mau tidur dulu,”

Angie tercekat. Ia tahu saat ini hati Ai Lein tengah bersedih namun ia tak pernah berbagi kesedihannya dengan Angie. Sudah sejak lama sejak peristiwa itu, Ai Lein berubah drastis dan menutup hati. Dengan perasaan gundah, Angie menatap punggung Ai Lein yang segera hilang di balik pintu.

“Ai Lein...”

= # =

Alunan lagu new rilis dari album Ai Lein yang terbaru mengalun di meeting room The Royal King hotel ditingkahi dengung percakapan yang mengambang di udara. Beberapa kali kilatan blitz berpendaran, menandakan para kuli tinta tengah mengambil gambar untuk di pasang di media massa tempat mereka bekerja. Puluhan kamera televisi tampak berdiri, siap mengambil gambar.

Angie menatap kerumunan para wartawan dari berbagai media massa dari balik pintu. Senyumnya mengembang puas. Ruangan meeting hotel yang di sewa untuk konferensi pers pelaksaan konser Ai Lein penuh sesak, bahkan tak sedikit dari para wartawan itu berdiri. Animo para pencari berita begitu besar. Ini memang bukan diva biasa, tapi Ai Lein, seorang diva bersuara malaikat.

“Ai, semua sudah siap,”

Angie menyentuh pundak Ai Lein yang tengah duduk terpekur memandangi lantai. Tanpa berkata-kata, Ai Lein berdiri merapikan gaun pas badan bermotif abstrak dengan paduan warna seburat lembayung. Ia pun berjalan mengikuti Angie yang telah terlebih dahulu berdiri. Begitu mereka memasuki ruangan konferensi pers, segera saja kilatan blitz berpendaran. Deru suara roll kamera berdengung ditingkahi bisik-bisik para pencari berita.

Dash mengangkat tangannya begitu mereka duduk di tempat masing-masing, dan segera saja ruangan sunyi, hanya gemerisik suara kertas dan alat perekam serta kilatan blitz yang terdengar.

“Selamat siang semuanya, terima kasih telah bersedia hadir di acara konferensi pers konser “The Angel Voice” Ai Lein,”

Senyum Dash mengembang penuh wibawa, matanya yang tajam menyapu lautan wajah-wajah penasaran para pencari berita. Hatinya mendesah puas. Seperti biasa konser Ai Lein tak pernah sepi dari berita. Popularitas dan kebesaran nama Ai Lein memang tak diragukan lagi. Bahkan hanya dengan hembusan isu kecil mengenai kegiatan Ai Lein, seluruh awak berita dari berbagai media informasi akan berlomba-lomba mengkonfirmasi ke perusahaan musik dan publishing yang dikelolanya.

Dan untuk setengah jam ke depan, baik Dash maupun Angie, sibuk menjelaskan mengenai persiapan konser Ai Lein yang akan digelar minggu depan, sementara, Ai Lein lebih banyak diam, matanya menerawang jauh, seakan jiwa dan pikiran tengah tidak berada di ruangan itu. Diam-diam Dash mengamati sikap tubuh Ai Lein, mata elangnya sesekali mencuri pandang ke arah Ai Lein yang duduk tepat di sebelahnya.

Sesekali Ai Lein tersadar dari lamunannya dan menjawab diplomatis pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

Diam-diam Dash mengetik sebuah pesan di gadgetnya. Tak lama, wajah penuh tanya Angie disertai angkatan alis kanannya yang khas tertangkap pandangan Dash yang menengok diam-diam melewati punggung Ai Lein. Getaran gadget Dash mengalihkan kembali pandangannya pada alat komunikasi canggih yang kini berada dalam genggamannya.

’Memangnya kenapa? Ai Lein menawan kan?’

Dash menghela nafas membaca balasan pesan yang dikirimkannya pada Angie. Kembali ia mengetikkan balasan pada Angie. Sementara, konferensi pers masih berlangsung. Kali ini perhatian pencari warta tertuju pada Leon, komposer yang menangani tata musik. Kembali Dash menekuri gadgetnya.

’That’s Ai Lein, Dash J she pick her clothes by high taste of her. As you wish, Dash J

Dash kembali menengok ke Angie dan mendapati gadis berkacamata itu menyeringai ke arahnya. Mata tajam Dash menyipit, namun Angie hanya mengendikkan bahunya. Dash menghela nafas. Protesnya pada Angie mengenai baju yang dikenakan Ai Lein hari ini akan sia-sia saja.

Kembali diam-diam Dash mengamati Ai Lein. Tubuh Ai Lein yang indah terbungkus begitu sexy namun anggun dalam balutan bahan jatuh berwarna lembayung. Tampak menggoda sekaligus rapuh. Benar-benar karakter yang sesuai dengan lagu yang melatari konferensi pers hari ini. Roman, dengan kerjasama profesionalnya yang aneh bersama Ai Lein, selalu mampu menampilkan keajaiban di setiap penampilan Ai Lein. Dan itu semakin menambah besar perasaan Dash terhadap Ai Lein. Perasaan yang sepertinya tak akan pernah bisa dia ungkapkan pada Ai Lein, mengingat betapa buruknya hubungan personal mereka selama ini.

Lima belas menit kemudian, konferensi pers dinyatakan berakhir diiringi dengan desah penuh rasa kecewa dari para pemburu berita, menyatakan betapa sempitnya waktu yang diberikan pada mereka untuk melakukan sesi tanya jawab. Namun tak sedikit yang menyeringai puas, karena dengan begitu mereka dapat berlomba menawarkan wawancara eksklusif pada sang diva yang terkenal pelit berbicara itu.

Ai Lein pun beranjak dari tempat duduknya, namun tingginya hak sepatu yang dikenakannya membuat keseimbangannya goyah.

“Akh!”

Belum sempat Ai Lein berpegangan pada punggung kursi, sebuah tangan kokoh menyangga tubuhnya, menyelamatkannya dari rasa sakit akibat jatuh terjerembab. Ai Lein menatap ke atas, dan tertangkap oleh mata coklat hazelnut-nya pandangan tajam mata milik Dash.

Ai Lein tercekat.

Untuk sekilas, hanya sekilas, ia dapat melihat sinar yang begitu berbeda di mata sehitam batubara itu. Dan tanpa Ai Lein sadari, telah menggetarkan relung hatinya terdalam.

“Dash...”

“Hati-hati, jangan sampai kau batal naik panggung hanya karena sebuah kecelakaan konyol,”

Ai Lein menyipitkan matanya, dan bergegas membebaskan diri dari pegangan Dash. Tanpa banyak bicara ia pun berlalu dengan meninggalkan jejak suara sepatu yang berdetak di atas lantai marmer.

”Kau jahil sekali, Dash,”

Dash menoleh ke arah suara yang berbisik di dekatnya, dan Angie tersenyum penuh penilaian pada Dash, membuat Dash tersenyum segan pada saudara kembar Ai Lein itu.

Sementara, di sebuah sudut yang tak terlihat, sepasang mata berkilat penuh amarah, menatap ke depan, tempat meja konferensi pers berada.

”Aku akan menghancurkanmu Ai Lein! Aku akan menghancurkanmu!”

Seiring desisan dari bibir yang merapat , tangannya yang bercat kuku marun meremas flyer pertunjukan Ai Lein hingga sama sekali tak berbentuk.



--> to be continued


5 komentar:

  1. peristiwa apa yg membuat ai lein ga mau berbagi dg angie? jadi penasaran.

    BalasHapus
  2. masih banyak rahasia yah sis..?
    wokeh ditunggu lanjutannyaa,,

    BalasHapus
  3. setiap cerita selalu ada rahasia,
    jadi membuat qu terlena*hadeeehhh
    ayo buruan di aupdate ya sis

    BalasHapus
  4. Menarik! Ngebaca prolog-nya bikin mikir apa ntar2 bakal ada kejadian cinta segitiga ya antara ai lein, dash and angie?! terutama setelah kejadian pemerkosaan angie *kejauhan ya gua mikirnya?! hehehe...maaffff* -flo-

    BalasHapus
  5. lanjut sista,,,jangan lama2 updatenya ya,, :)
    Mutia na rival

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-