Senin, 12 September 2011

Cerita Cinta #1

Langkah kakinya berjalan cepat-cepat di koridor kampus yang begitu ramai dengan mahasiswa yang baru bubar kelas. Sesekali suaranya yang renyah membalas sapaan teman-teman yang bertemu dengannya. Hari ini dia tengah terburu-buru, dia janji pada bundanya untuk segera tiba di rumah, karena di bulan-bulan seperti ini, usaha catering bundanya sedang ramai order.

“Gading! Gading! Tunggu!”

Seketika langkah kakinya terhenti demi mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya berseru memanggilnya. Dan benar saja, sosok yang sudah sangat dikenalnya itu berlari-lari kecil, menyelip di antara para mahasiswa yang tengah asyik mengobrol di koridor.

”Hai Bim!”

”Mau kemana sih? Buru-buru amat?”

Gading sebenarnya memiliki tinggi di atas gadis rata-rata, bahkan kalau Gading mau dia bisa berprofesi sebagai model, namun setiap ia berhadapan dengan Bima, tetap saja, dia harus mendongak untuk berbicara dengannya.

”Aku mau pulang, Bima, aku sudah janji untuk pulang cepat. Hari ini bunda mendapat order catering di tiga tempat dan dibutuhkan satu orang lagi untuk menanganinya karena Lembayung seminggu ini ada pemotretan di luar kota. Dan kebetulan hari ini aku hanya ada satu mata kuliah. Ada apa?”

”Ampun deh, Gading, kenapa sih kamu itu harus to the point gitu setiap kali bicara dengan ku? Basa basi dikit kenapa sih?”

”Basa basi denganmu? Ga ada gunanya Bim, kamu kan si jago gombal, jadi, kalau aku berbasa-basi denganmu sama saja dengan menaburkan garam di laut. Ada apa sih?”

Gading berkata sambil melihat ke arah jam tangan Swatch yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

”Sebenarnya aku mau ajak kamu pergi mencari hadiah,”

”Hadiah? Buat siapa lagi sekarang?”

”Ayolah Gading, jangan sinis begitu,”

”Ma’af Bim, aku ga bisa hari ini, benar-benar ga bisa, sori banget yah...”

Gading menampilkan wajah penyesalan yang lucu, membuat Bima yakin, gadis itu hanya main-main.

”Dan soal hadiah, kalau tipe cewek yang kamu incar seperti sebelum-sebelumnya, ya sudah pilihannya ada banyak. Bisa boneka, parfum, baju seksi dan yang paling aman, bunga. Kasih aja hadiah bunga, soal jenis bunganya apa, kamu bisa telepon aku, ok? Nah, sekarang aku benar-benar harus pergi sebelum bundaku mengutus seseorang menjemputku ke kampus. Bye, Bima,”

Dan Gading pun segera berlalu tanpa memperdulikan Bima yang masih terlongong melihat kepergiannya. Seakan tersadar dari lamunan, Bima segera berlari menyusul Gading yang kali ini sedang sibuk mencari-cari kunci mobil dari dalam tas Bodypack miliknya. Nyaris saja ia terserempet sepeda motor yang melintas jalan saat menyeberang menuju lapangan parkir.

”Gading, emang bunda ada order catering di mana aja sih?”

Gading menyahut sambil terus mengaduk tasnya mencari-cari kunci. Dan begitu ketemu, gadis itu segera membuka pintu dan duduk di bagian pengemudi.

”Aku juga belum tahu, tadi bunda cuma bilang, begitu aku selesai kuliah aku harus sudah sampai rumah sebelum jam 10 pagi ini, dan aku sudah janji untuk tepat waktu. So, kalau kamu tidak keberatan, aku mau pulang dulu sekarang, kalau kamu ada perlu sama aku, ntar malam aja deh, ya?”

”Aku ikut yah ke rumah kamu?”

”Emangnya kamu dah ga ada kelas lagi?”

Gading menatap ke arah Bima yang kini meletakkan kepala di atas kedua tangannya yang menyandar di jendela Jimny Jangkrik kuning miliknya. Sahabatnya ini memang berprofesi sebagai dosen honorer di kampusnya. Membuat Gading merasa kagum padanya, di sela-sela kesibukannya sebagai salah satu direktur muda di perusahaan event organizer yang sedang berkembang pesat, Bima masih menyempatkan diri untuk menyumbangkan pengetahuannya dengan menjadi dosen honorer yang honornya mungkin tidak sampai sepersepuluh dari penghasilannya sebagai direktur muda setiap bulannya.

”Ada sih, gampanglah  soal kelas aku, tinggal kasih tugas, titip ma pak Jamil, suruh kumpulin di kelas minggu depan,”

”Kamu itu, selalu menggampangkan sesuatu, mentang-mentang papamu ketua yayasan disini,” Gading mencibir ke arah Bima yang nyengir mendengar sindirannya.

”Ga balik ke kantor?”

”Nggak, kan pameran dah kelar dari kemaren, jadi anak-anak bisa sedikit nyantai. Semua presentasi ke perusahaan-perusahaan juga baru jalan besok, jadi bisa dibilang aku free hari ini,”

”Trus, yang soal cari hadiah tadi?”

”Ehmmm,” Bima tampak berpikir sejenak

”Gampanglah kalau soal hadiah, toh, ulang tahun Chyntia juga masih besok malam,”

”Chyntia? Siapa lagi tuh?” mata Gading yang bulat sempat berputar sebelum memandang penuh selidik pada Bima yang menyeringai lebar, menampilkan senyum ala iklan pasta gigi terbaiknya.

”Anak Hukum semester 5, hehehehehe, habisnya dia lucu sih,” cepat-cepat Bima memberikan alasan, setengah membela diri saat melihat tatapan mencela dari mata Gading.

”Bima, Bima, kapan sih kamu berhenti main-main?”

”Sampai kamu mau jadi istri aku,” sahut Bima dengan santai, membuat Gading seketika mendelik mendengar jawabannya yang sekenanya.

”Halah, ngomong apa sih kamu! Ya udah, kalau kamu mau ikut ke rumah ayo aja, tapi jangan harap bisa ngobrol hahahihi sama kami yah, bunda bener-bener lagi high temper minggu-minggu ini, gabungan antara senewen dan senang dengan banjirnya order catering. Oh ya, kamu nyusul aja yah, waktuku bener-bener dah mepet kalau harus nungguin kamu bikin tugas pengganti kelas kosong buat para fans-mu itu,”

”Siap komandan! See you, there! Love you,”

Bima mengacak ringan poni Gading, yang dengan tangkas ditepis oleh Gading. Kebiasaan Bima mengacak poninya terkadang membuatnya jengah, karena dengan perlakuan Bima itu ia merasa diperlakukan seperti gadis kecil.

“Sembarangan! Love you too, my big bro! See you,”

Dan Gading pun mengendarai mobilnya meninggalkan Bima, diiringi senyum lebar di wajah Bima yang masih bisa dilihatnya dari kaca spion.

“Wah, belum berhasil juga nih kak Bima,”

Bima menoleh ke arah suara yang dikenalnya. Dan benar saja, Sandra, salah satu teman akrab Gading tampak tersenyum geli ke arah Bima. Tak terkecuali Hendi, kekasih Sandra yang ikut-ikutan nyengir penuh selidik ke arahnya.

“Hush! Apaan sih kalian itu? Apanya yang belum berhasil?”

”Alah... Kura-kura dalam perahu tuh...” cibiran menggoda tersembul dari bibir Sandra, membuat wajahnya yang ayu jadi tampak lucu.

”Apaan sih? Hey, kamu kalau macem-macem, aku kasih nilai D lho!”

”Yeeee, cinta bertepuk sebelah tangan kok kita yang jadi korban sih, iya ga Hen?”

Sandra menoleh mencari dukungan ke arah kekasihnya yang tersenyum segan ke arah Bima.

”Kamu itu apaan sih, San, aku ama Gading itu cuma bersahabat aja, kebetulan orangtua kami juga bersahabat, jadi ga ada yang aneh kan?”

”Oh, ga ada kak Bima, sangat tidak ada yang aneh, malah sangat wajar sekali,”

Kembali senyum penuh arti setengah menggoda muncul di wajah kedua sejoli itu, membuat Bima mau tak mau merasa sedikit kesal.

”Udah ah, aku mau ke TU dulu,”

Dan tanpa bisa dicegah, tawa geli Sandra dan Hendi pecah melihat reaksi Bima yang bergegas meninggalkan mereka sambil sebelumnya melontarkan pandangan galak yang mengakibatkan tawa Sandra dan Hendi semakin keras.

= # =

Deru BMW S 1000 RR menandakan bahwa Bima telah sampai di kediaman Gading. Dilihat sekilas, Bima telah tahu, kesibukan luar biasa sedang berlangsung di bangunan bagian samping rumah Gading yang merupakan pusat kegiatan usaha catering Melati, usaha yang dijalankan bunda Gading selama kurang lebih 15 tahun ini. Bima pun memarkir motor besarnya tepat di sebelah Jimny kuning milik Gading dan melangkah masuk ke pintu rumah yang terbuka lebar. Beberapa karyawan yang hilir mudik, menganggukkan kepala memberi salam, menandakan mereka telah mengenal baik tamu rutin rumah ini yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat sang empunya rumah.

”Ibu, ada mas Bima,” terdengar suara mbak Rini salah satu kepercayaan tante Mirna, bunda Gading, mengabarkan kedatangannya sesaat setelah bertemu dengan Bima yang kini tengah melangkah menuju pintu penghubung.

”Eh, Bima, udah lama Bim?”

”Baru aja sampai bunda,” Bima menjawab sambil mencium tangan bunda Gading. Dia memang sudah demikian akrab dengan keluarga Gading, apalagi saat tahu bahwa mama dan papanya ternyata sahabat bunda Gading, hubungan mereka pun semakin akrab.

”Kamu sudah makan, Bim? Makan gih, kebetulan salah satu menu catering bunda ada sup kimlo kegemaranmu. Oh ya, kabar mama papamu gimana? Sehat? Kemaren itu, bunda bener-bener sibuk, makanya ga bisa datang ke ulang tahun perkawinan mama papamu,”

”Tidak apa-apa bun, mama dan papa ngerti kok,”

Bima mengamati tangan tante Mirna yang dengan terampil mulai menata dan menghias tumpeng yang kelihatan begitu enak dan menggoda.

”Gading mana bunda?”

”Oh iya, anak itu kemana ya? Gading? Gading?”

”Iya bun?”

Terdengar suara bening Gading menyahut dari arah pantry, Bima menduga, gadis itu pasti tengah membantu bundanya membuat garnish. Kedua anak gadis tante Mirna, Gading dan Lembayung, memang sangat mahir dalam urusan hias menghias makanan, karena secara khusus tante Mirna mengirim mereka berdua mengikuti kursus singkat garnish di Thailand. Tapi karena Lembayung, adik Gading, lebih berkonsentrasi pada karirnya di bidang model, maka Gading yang lebih banyak turun tangan membantu bundanya.

Semenjak mengenal keluarga Gading, Bima jadi tahu istilah-istilah kuliner yang rumit-rumit, bahkan kini ia sudah bisa membuat hiasan sederhana untuk makanan supaya kelihatan menarik dan menggugah selera.

”Ada Bima nih!”

”Biar aja, palingan dia cuma pengen ngobrol,”

”Gadiiiing....”

”Iya bunda... Hai, Bim!”

Wajah Gading hanya menyembul sebentar dari penghubung pantry dan sekejap kemudian kembali menghilang. Sepertinya Gading memang sedang benar-benar sibuk.

”Aduh, anak itu,”

”Biarin aja bun, palingan dia sedang sibuk, biar saya aja yang nyamper,”

Tante Mirna tersenyum penuh permohonan ma’af pada Bima yang kini berjalan ke arah pantry. Dan benar saja, ternyata Gading tengah berkutat dengan berbagai macam buah dan sayuran. Dan kali ini Gading tengah menangani semangka besar yang tampak sudah seperempat bagian lagi akan berubah bentuk menjadi bunga lotus yang sangat besar. Sementara, empat set table garnish telah siap dan tampaknya Gading tengah menyelesaikan satu set yang kelima.

”Hai Bim,”

Tanpa mengalihkan pandangannya pada semangka yang sedikit lagi akan berubah bentuk di bawah ukiran tangannya, Gading menyapa Bima sambil lalu yang kini duduk menyandar di sudut meja.

Diam-diam, Bima mengamati Gading yang berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya. Tampak beberapa butir peluh menghiasi dahinya yang kini bebas poni karena telah dijepit keatas. Rambutnya yang ikal hitam diikat sekenanya tepat di puncak kepala. Wajahnya yang ayu tampak begitu serius, membuat Bima makin terpaku menatapnya.

”Nah, sudah selesai deh! Keren gak?”

Gading tersenyum puas pada hasil kerjanya dan kini memamerkan karyanya pada Bima. Bima tersenyum pada Gading yang tampak kelelahan setelah mengukir begitu banyak table garnish.

”Ini semua hasil karyamu?”

Bima menunjuk pada lima set table garnish dalam berbagai bentuk. Ada lobak berbentuk tiga ekor ikan koi yang tengah berenang di kolam sayur mayur, melon berbentuk keranjang bunga dengan hiasan aneka bunga dari sayuran, kebun bunga terbuat dari lobak, wortel dan radish, burung dari terong, juga karya terakhir Gading yang baru saja selesai, sebuah lotus besar dari buah semangka. Semuanya sudah rapi terkemas diatas nampan dan siap dijadikan penghias meja yang indah.

”Ya iyalah, siapa lagi? Kan udah aku bilang kalau Lembayung sedang ada pemotretan di luar kota, makanya aku harus benar-benar kejar waktu, karena hari ini ada tiga tempat resepsi yang menggunakan jasa kami. Nah, sekarang aku harus bersiap-siap ganti kostum, aku harus mendampingi ’hasil karya’ ku supaya sampai dengan selamat di tempat tujuan,”

Bima kembali mengamati Gading yang kini mengelap peluh di dahinya dengan punggung tangannya. Entah, sejak kapan Bima jadi begitu suka memandangi Gading. Rasa-rasanya dulu dia tidak pernah memperhatikan Gading sedemikian. Karena bagi Bima, Gading hanyalah teman baik, sahabatnya, seperti halnya orangtuanya yang bersahabat dengan orangtua Gading. Terlebih lagi, Gading bukanlah gadis yang menjadi tipenya. Bagi Bima, Gading gadis yang terlalu mandiri dan independen, jadi terkadang Bima merasa terintimidasi dengan kemandirian Gading. Selama ini Bima merasa nyaman dengan kedekatannya bersama Gading hanya karena gadis itu tidak pernah menganggapnya sebagai cowok incaran bahkan Gading cenderung skeptis dengan kelebihan fisik Bima.

”Hei! Melamun aja!”

Bima tersentak kaget saat sepotong kecil wortel mampir di jidatnya. Ternyata Gading menimpuknya dengan sisa wortel yang telah di eksekusinya.

”Mikirin apa sih? Chyntia? Ya udah, aku janji deh, besok aku antar cari hadiah buat cem-cem’an barumu itu,”

Bima pun hanya tersenyum menanggapi tuduhan Gading, membuat Gading mengerutkan kening, heran dengan reaksi Bima yang tidak seperti biasanya.

”Kamu ga lagi sakit kan Bim?”

”Nggak, emang kenapa?”

Kali ini Bima mencomot sebuah mentimun dan menikmatinya begitu saja.

”Kali aja kamu lagi sakit, ga biasanya kamu bengong dan ga balas kata-kataku,”

”Aku cuma lagi takjub aja ngeliat kamu. Ternyata cewek seperti kamu bisa juga feminin,”

Gading terbelalak mendengar penuturan Bima yang dengan cueknya kini mengunyah mentimun yang kedua.

”Cewek seperti aku? Maksud lo?”

“Yaaa..... gitu deh,” Bima mengerling ke arah Gading yang jelas-jelas tampak kesal dengan kata-katanya.

“Dasar gombal! Udah ah!”

Gading mencopot celemeknya dan melemparkannya ke arah Bima yang dengan tangkas menangkapnya sambil mengurai tawa ringan.

“Eh, kamu mau kemana Gading?”

“Ganti baju, kenapa? Mau ikut?”

”Emang boleh?”

”Hm!”

Bola mata Gading semakin membulat, melotot dan mengacungkan kepalan DAN V miliknya pada Bima yang bersandar santai di bingkai pintu penghubung pantry dan ruang tengah. Tawa Bima pun pecah seketika begitu melihat reaksi spontan Gading atas ucapannya dan tawa itupun menular pada Gading.

”Gading, udah siap semuanya?”

Tiba-tiba suara bunda Gading menyela di antara gelak tawa mereka.

”Sudah bunda, cukup lima set kan?”

”Iya, cukup lima set saja, kalau sudah, sana buruan kamu ganti baju,”

”Baik bunda,”

Gading pun beranjak menuju kamarnya, meninggalkan Bima yang kini terpaku memandangi punggungnya.

”Oh ya Gading,”

”Iya bunda?”

Gading berbalik dan seketika tatapannya bertemu dengan mata Bima yang segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sepanjang waktu ia mengenal sosok Bima, baru kali ini ia melihat Bima bersikap aneh begitu. Kentara sekali Bima sedang salah tingkah. Dengan perasaan bingung Gading mengangkat sebelah alisnya yang hitam.

”Tadi pagi eyang telepon, beliau bilang kangen. Jangan lupa, nanti begitu ada waktu, kamu telepon eyang, yah,”

”Baik bunda,”

Gading mengangguk dan kembali melangkah ke arah kamarnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Punggungnya meremang seakan ada yang tengah mengamati, dan Gading sangat sadar, Bima-lah pelakunya.

= # =

”Sugeng enjing, eyang uti,”

”Gading? Bener toh iki Gading?”

”Inggih uti, ini Gading,” senyum Gading terurai saat mendengar suara eyang putrinya di seberang sambungan teleponnya.

”Piye kabarmu, nduk? Sehat?”

”Sehat, uti. Uti sendiri bagaimana? Sehat-sehat kan? Kapan uti sowan ke Jakarta?”

Terdengar tawa lembut khas eyang putrinya dan Gading bisa membayangkan posisi eyang putrinya yang berada jauh di Yogyakarta. Pasti saat ini wanita Jawa yang memelihara keanggunannya itu tengah duduk dengan posisi sempurna di set meja telepon dekat koridor ruang tamu, berkebaya dan berkain panjang dengan motif parang sembari mengawasi dengan tajam setiap gerak para abdinya.

“Eyang mu ini sehat wal afiat, Gading. Memang, eyang ada rencana mau ke Jakarta, tapi masih nunggu pak dhe Bernowo sama anaknya si Pramudya. Kowe isih iling toh karo Pramudya? Kuwi lho bocah bagus yang dulu suka membawakan salak pondoh kesenenganmu itu,“

Ingatan Gading seketika menerawang pada masa remajanya saat di Yogyakarta. Dulu ia memang pernah sangat akrab dengan keluarga Bernowo Satrioyudho, khususnya dengan Ajeng dan Pramudya, anak-anak keluarga pak dhe Bernowo. Bersama Ajeng, anak sulung keluarga Satrioyudho, Gading dan Lembayung menimba ilmu menari dan gamelan, sedang dengan Pramudya, mereka ada keterikatan adik dan kakak kelas, walaupun saat Gading masuk sekolah menengah, justru Pramudya baru saja lulus dari sekolah itu.

Gading pun tersenyum ketika gambaran sosok Pramudya yang gagah dan tampan muncul dalam ingatannya. Bagaimanapun, Pramudya dulu adalah cinta monyet Gading, cinta gadis remaja di awal-awal mengenal lawan jenis. Entah, apakah dulu Pram punya perasaan yang sama atau tidak pada Gading, hanya saja Pram sering memberikan perhatian lebih pada Gading. Seperti membawakan buah salak pondoh kesukaan Gading yang dipetiknya sendiri dari perkebunan salak milik orangtuanya.

”Inggih eyang, Gading ingat. Apa kabar keluarga pak dhe Bernowo, eyang? Terus kok menunggu mas Pram? Memangnya dia sudah pulang dari Jerman?”

”Lha ya itu Gading, katanya mereka itu juga kangen sama kalian, sekalian mau mengunjungi Ajeng yang sekarang tinggal di Bekasi. Pramudya sudah lama balik dari Jerman, tapi tidak pulang ke Yogya, dia sekarang bekerja di Cilegon. Kemarin Bernowo dan istrinya sowan ke tempat eyang sama Pram, pas ngobrol-ngobrol akhirnya kita sepakat mau bareng-bareng ke Jakarta,”

”Oh begitu, kira-kira kapan rencana eyang ke Jakarta?”

”Yo mbuh iki, eyang juga masih belum tahu. Kalau pinginnya eyang sih secepetnya, biar kamu bisa cepat-cepat ketemu dengan Pram,”

”Kok? Memangnya ada kepentingan apa eyang, sampai-sampai Gading harus bertemu cepat-cepat dengan mas Pram?”

“Wis toh, ora usah banyak tanya, nanti kamu juga akan tahu pas kami semua sampai di Jakarta. Kowe kuwi manut wae yo nduk,”

Gading mulai merasa kurang nyaman dengan nada bicara eyang putrinya. Dia sudah cukup mengenal baik karakter eyang putrinya. Setiap nada bicara seperti yang dilontarkan eyang putrinya barusan, pasti akan ada sesuatu yang harus dikerjakannya dan seringkali hal tersebut bertentangan dengan hati kecilnya.

“Oh iyo, kabar Lembayung piye? Bocah kuwi opo isih melu model-modelan?”

“Kabar Lembayung sehat eyang, tapi sekarang dia hebat eyang, sudah sering jadi model untuk kawasan Asia,”

“Halah, opo apik’e,”

Gading terdiam mendengar tukasan eyang putrinya. Ia sadar, sejak awal eyang putrinya memang tidak setuju jika Lembayung terjun ke dunia modeling. Katanya kehidupan model terlalu bebas dan glamour. Apalagi ketika eyang berkunjung ke Jakarta dan mendapati Lembayung pulang larut malam atau dini hari selepas dari sebuah acara fashion show atau pemotretan, segera saja kecaman dari bibir tipis aristokratnya akan terlontar pada Lembayung. Jika sudah begitu, baik Lembayung maupun bundanya hanya diam saja, tinggal Gading yang berusaha menengahi.

”Yo wis kalau gitu nduk, mungkin akhir bulan ini eyang bakal ke Jakarta bareng sama Bernowo dan istrinya, juga Pram. Salam buat ibumu yo,”

”Inggih eyang, pangestu,”

Dan sambungan telepon itu pun putus sudah, meninggalkan sejumput tanda tanya besar dalam hati Gading, ada apa gerangan dengan rencana kedatangan eyangnya dan keluarga pak dhe Bernowo ke Jakarta.

= # =

”Hai Gading!”

Sebuah tangan menepuk pundak Gading ketika Gading tengah asyik membaca rancangan tesisnya sambil menikmati sebotol teh di taman kampus.

”Oh, hai Sandra! Tumben sendirian, mana Hendi?”

Sandra pun mengambil tempat duduk di sebelah Gading sambil sebelumnya meneriakkan pesanan seporsi mie ayam kegemarannya.

”Biasa, Hendi lagi asistensi, nanti jam 10 baru kelar, kamu, kok tumben juga sendirian? Mana kak Bima?”

Gading menatap balik ke arah Sandra yang kini mulai menyesap air meineralnya.

”Sejak kapan kalau ada aku harus ada Bima?”

”Lho, emang salah ya?”

Sandra balik bertanya dengan menelengkan kepalanya yang cantik.

”Ya nggak salah juga sih, cuma aneh aja denger kamu nanya begitu. Seolah-olah aku ini ada hubungan khusus dengan Bima,”

”Lho, memangnya ga ada hubungan khusus ya?”

”Kamu itu, lha lho aja dari tadi, ya jelas ga ada dodol! Aku sama Bima itu hanya teman baik, tidak lebih, jadi awas kalau sampai kamu mikir macam-macam!”

Sandra tertawa renyah mendengar omelan Gading sampai-sampai ia tersedak air meineral yang tengah di minumnya.

”Eh, Gading, denger ya kata-kata ku ini, perhatikan baik-baik, orang buta aja, bisa liat kok kalau sebenarnya kalian itu ada apa-apa. Memang kalian ga pernah bilang kalau kalian pacaran, tapi bahasa tubuh kalian itu sudah cukup mewakili perasaan kalian,”

”Apaan sih?”

”Lho, bener kan? Ga usah mungkir deh Gading, katakanlah kamu ga ada rasa cinta ama kak Bima, tapi mustahil kalau ga ada perasaan lebih pada kak Bima. Kalau kak Bima sih udah jelas,”

”Jelas gimana?”

”Ya, gitu deh,”

Kali ini Sandra asyik menguyah seporsi mie ayam dan menjawab sambil lalu pertanyaan Gading.

”Kamu itu emang dasar tukang ngayal!”

Gading menjitak ringan kepala Sandra yang segera mengaduh keras-keras membuat Gading tertawa melihat reaksi Sandra yang berlebihan. Dan seperti ada dewa pengabul permohonan, sosok yang tengah menjadi perbincangan mereka muncul dengan motor besarnya memasuki lapangan parkir. Namun, Bima tidak sendiri, seorang gadis cantik berpakaian modis tampak duduk dan melekat erat di boncengan Bima. Begitu Bima memarkir kendaraannya, si gadis berpostur bak Carmen Electra itupun turun dari boncengan, membuka helm pink-nya dan mengibaskan rambut berwarna ungu burgundy-nya. Sejenak mematut diri di kaca spion motor BMW Bima, memastikan riasan wajahnya sempurna dan tak bercela.

Dari tempat duduknya, Gading mengamati Bima dan gadis yang bersamanya. Berdasarkan perkiraannya, Gading menduga kuat, gadis modis itu tak lain dan tak bukan adalah Chintya mahasiswi fakultas Hukum semester 5. Cem-cem’an baru Bima menurut istilah Gading.

Tanpa sadar, Gading menghela nafas cukup keras hingga mengalihkan perhatian Sandra pada mangkuk mie ayam-nya.

”Kenapa, Gading?”

Sandra pun segera mengikuti arah pandangan Gading dan begitu melihat siapa yang dituju Gading, Sandra pun tersenyum maklum.

”Siapa lagi tuh, Gading? Cewek barunya kak Bima ya?”

”Tahu tuh, Bima, kayaknya sih iya. Kalau ga salah namanya Chintya, anak Hukum semester 5, itu kata Bima kemarin,”

”Jealous?”

”Siapa? Aku? Ga jaman kali San,”

Gading pun mengelak segera dengan kembali menekuri draft tesisnya yang sebenarnya tak perlu dibaca lagi karena ia sudah sangat hafal diluar kepala baik susunan maupun isinya, berusaha menyingkirkan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba singgah di hatinya. Sandra tersenyum maklum, ia hanya heran, kenapa kedua manusia ini tak pernah bisa dengan jujur mengakui perasaan masing-masing.

“Eh, mereka ke sini tuh,”

Sandra menyikut pelan Gading, membuat Gading mau tak mau mengangkat kepala dan segera saja pandangannya bertemu dengan wajah Bima yang tersenyum lebar ala Tom Cruise dan si ’Carmen Elctra’ di samping Bima berjalan dengan gaya kucing laparnya.

”Hai Sandra, hai Gading,”

Saat menyapa Sandra, Bima hanya melontarkan sapaan pendek dan senyum manis tapi begitu menyapa Gading, secara refleks tangannya mengacak poni Gading dan menggoyangkan rambut ekor kuda Gading, membuat Gading gusar dan merasa sedikit terganggu.

”Apa-apaan sih, Bim?!?”

”Eits! Kok sewot sih Gading? Salah sarapan ya? Apa lagi PMS?”

Gading hanya melirik tajam yang disambut pandangan tak mengerti Bima. Dan ketika Bima mengalihkan pandangan penuh tanyanya ke arah Sandra, teman akrab Gading itupun hanya mengendikkan bahu, menandakan dia tak tahu apa-apa.

”Oh ya, kenalin nih, Chintya. Chintya, ini Gading dan ini Sandra. Sebentar lagi mereka berdua ini bergelar MSc karena mereka sedang mengambil S2. Nah, kalau Chintya ini, mahasiswi fakultas hukum semester 5. Sekarang dia lagi magang di kantor aku, kebetulan lagi ada posisi magang untuk junior legal officer,”

Gading memandang ke arah Bima sambil melontarkan tatapan, ’Masa?!’

Dan Bima menatap balik ke arah Gading sambil mengangkat kedua alis hitamnya, seolah-olah menjawab ’Iya lagi!’

”Chintya,”

Gading hanya tersenyum singkat menjawab perkenalan Chintya, sementara Sandra, dengan penuh rasa ingin tahu mulai menanyakan hal-hal yang tak penting pada gadis high heel itu. Mendengar suara Chintya yang halus dan terkesan manja, membuat Gading semakin merasa tidak nyaman.

Kali ini, sepertinya gadis pilihan Bima benar-benar sempurna seperti harapannya selama ini. Modis, sexy, cantik bak boneka dan begitu manja pada Bima. Terlihat sekali dari bahasa tubuhnya yang seakan-akan dia bisa pingsan di tempat jika tidak ada Bima. Secara tak sadar, Gading melihat ke arah jam tangannya dengan pandangan tidak sabar.

”Kamu mau kemana, Gading? Buru-buru?”

Gading menatap ke arah Bima yang kini tengah menatap ke arahnya.

”Nggak buru-buru juga sih, aku cuma lagi nunggu waktu janji ketemu sama ibu Atikah, biasa buat konsultasi tesis, kamu sendiri kok ke kampus? Bukannya kamu bilang hari ini ada jadwal presentasi ke klien,”

”Presentasinya di reschedule, jadi nanti sore. Kamu ada janji ama ibu Atikah? Soal tesis kamu?”

Gading hanya mengangguk sembari kembali melihat tak sabar ke lapangan parkir, berharap Honda Civic hitam milik ibu Atikah datang menandakan sang empunya sudah tiba di kampus.

”Keberatan kalau aku lihat draft tesismu?”

Kali ini pandangan tak mengerti Gading beralih ke arah Bima yang menatap lekat ke arahnya.

“Buat apa?”

“Lho, gini-gini aku ini dosen di sini Gading, bahkan Sandra ini salah satu mahasiswiku,”

Bima menjawab pertanyaan Gading dengan ekspresi geli terpancar di wajah bak modelnya.

”Iya, aku tahu kamu dosen, terus hubungannya dengan tesis aku apa?”

”Gading, kamu tidak sedang mempertanyakan kredibilitasku sebagai seorang staf pengajar kan? Bukannya aku sudah bilang, kalau mulai semester ini aku terdaftar sebagai salah satu dosen tim penguji tesis, jadi ga ada salahnya kan aku memberikan konsultasi gratis padamu?”

Gading kembali menatap ke arah Bima yang kini sudah mengenakan kacamata Oakley miliknya. Seketika Gading terkesima melihat penampilan Bima yang tampak berubah total setelah mengenakan kacamata minusnya. Selama ini Gading memang tidak begitu peduli pada Bima saat ia menjadi dosen, karena dia sudah mengenal Bima demikian lama hingga mengesampingkan kenyataan bahwa Bima adalah salah satu staf pengajar di kampusnya.

”Gimana? Boleh ga aku liat draft tesismu?”

Akhirnya Gading mengangguk dan menggeser sedikit duduknya, memberikan tempat pada Bima yang segera duduk tepat di samping Gading dan tak lama kemudian mulai tekun membaca bab demi bab draft tesis milik Gading dan melupakan sosok Chintya yang kini mengerutkan dahi, bingung dengan sikap Bima.

”Mas Bima?”

Bima mengangkat kepala dari bahan bacaannya dan begitu melihat Chintya yang tampak gusar dengan serta merta ia tersenyum.

”Bentar ya Chint, aku pengen baca tesis Gading dulu, tapi kalau kamu buru-buru, duluan aja,”

Tanpa menunggu jawaban Chintya, Bima kembali menekuri bacaannya, sementara Chintya tampak semakin tidak senang dan dengan kegusaran yang tak ditutupi, dia menghempaskan tubuhnya, duduk di samping Sandra yang telah bersimpati, menggeser posisi duduknya.

Diam-diam Gading dan Sandra bertukar pandang, berbicara dalam diam mengenai sikap Chintya dan secara tersembunyi mereka pun tersenyum geli.

>  to be continued

7 komentar:

  1. I love love love love this story..... so sweet and fresh!!! Thank you sista ^^

    BalasHapus
  2. Nice story :) I love it! You're naturally talented in writing. Can't wait for the update, sis! *flo*

    BalasHapus
  3. luv it,renyah,mengalir n seolah2 kita ikut terbawa ama crt nya...^_^

    Ku tunggu lanjutan nya sis,lebih cepat lebih baikkk,..muuaaahhhh..^_^

    BalasHapus
  4. dilanjuttttt,,,,, sampe merit yaks gading ma bimanyaaa hehehe

    BalasHapus
  5. No matter how ... no matter what ... for many years ... friendship is always an open story for another life stories :) A lot of beautiful things in life,is started from friendship ... Hope can find it too in this story :)

    BalasHapus
  6. I love it...I love it...I love it...!!! Day by day this story impress me more and more eventhough the basic theme is so classic : love & friendship :) hehehehe.... So fresh! *rini*

    BalasHapus
  7. sukaaaa, lanjuuuuut...

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-