Rabu, 28 September 2011

Cerita Cinta #2

Bunyi getaran gadget Bima, menyadarkannya dari pemikiran panjang di tengah rehat meeting presentasi yang tengah dijalaninya. Dengan malas Bima memeriksa gadget terbaru miliknya itu, namun, tak ayal senyumnya segera mengembang ketika melihat foto dan nama Gading terpampang sebagai sang pengirim pesan singkat.

Thanks ya Bim, masukan kamu tadi pagi ternyata ok banget! Ibu Atikah menyetujui semua rancangan revisi, tinggal sedikit memperbaiki bagian-bagian seperti yang kamu bilang tadi. Thank you so much and I love you, my Big Bro! *^_^*

Senyum senang pun tersungging di wajah Bima tatkala membaca emoticon khas Gading. Segera saja jari lincah Bima menari di atas keypad, mengetikkan pesan balasan untuk sms Gading. Tapi, baru sampai pada baris kedua kalimat balasan pesannya, Bima memutuskan untuk menelepon Gading saja. Tiba-tiba, ia ingin sekali untuk sekedar mendengarkan suara Gading.

Sambil mengetuk-ngetukkan jari mengikuti irama khayalan yang ada di kepalanya, Bima mendengarkan nada sambung yang tak jua berhenti dari nomor yang dihubunginya. Dengan kening berkerut, Bima kembali menekan tombol redial.

‘Gading, kamu ini kemana sih?’

Dan setelah menekan tombol redial untuk ketiga kalinya, barulah sambungan telepon Bima mendapat respon.

”Halo mas Bima!”

Dari ujung telepon terdengar suara Lembayung, adik Gading, yang menjawab telepon.

”Halo? Lembayung? Kakakmu mana?”

“Idih! Mas Bima ini, gualak betul sih?”

Bima tahu, dari nada suaranya, gadis tinggi semampai itu pasti tengah tersenyum jahil.

”Mbak Gading lagi mandi mas, makanya aku yang terima telepon dia, habisnya dari tadi berisik banget. Kirain dari siapa teleponnya, ternyata....”

”Dari orang ganteng, ya kan?”

Tukas Bima sambil tersenyum.

”Narsis!”

Bima pun tergelak.

”Ada apa mas? Mau kasih job buat Mbayung ya? Hehehehehehe,”

“Ah, kamu itu! Kapan datang? Enak, jalan-jalan ke Bukit Tinggi-nya?”

”Siapa yang jalan-jalan? Aku ke Bukit Tinggi kerja mas, capek, pemotretan ga kelar-kelar. Tapi seneng sih, setidaknya nanti tampangku kan mendunia walaupun sekedar sebagai iklan pariwisata. Oh ya, mas Bima ke rumah gih, ada oleh-oleh nih buat mama Lis ama papa Irawan,”

”Lha buat aku? Masa ga ada? Ogah ah, kalau aku cuma jadi kurir doang,”

”Yeeeeee, kalau buat mas Bima sih cukup oleh-oleh cerita aja kaleeeeee,”

Dan gelak tawa Lembayung pun menular pada Bima.

”Eh udah dulu ya mas, nih, mbak Gading udah kelar mandinya,”

”Ok,”

Sejenak Bima terdiam, menunggu pergantian lawan bicara.

’Gila, kok aku jadi deg-deg’an kayak ABG begini?’

Seru hati Bima kala ia merasakan detak irama jantungnya yang tak biasa.

”Halo Bim,”

Detak jantung Bima semakin tak menentu ketika mendengar suara Gading di hands free yang melekat di telinganya. Bima tercekat. Perasaan asing ini mengusik hatinya, namun ia suka dan ia mulai menikmatinya.

”Halooooooooooooo~ Bima? Kalau kamu ga ngomong juga, aku tutup nih!”

Bima tersentak mendengar reaksi Gading, dan tanpa dapat dicegah dia menjadi salah tingkah tak menentu, untung saja tidak ada orang di loby saat ini.

”Hehehehehehehe... Sori, sori! Tumben jam segini baru mandi, apa ga kurang malam?”

”Halah, sok tau! Aku sering lagi mandi jam segini, apalagi kalau habis bantuin bunda ngurusi catering, bisa lebih malam lagi baru mandi. Ada apa, Bim?”

”Ga ada apa-apa, iseng aja, sambil nungguin rehat meeting,”

”Meeting? Jam segini?”

”Yah, gimana lagi, klien-nya reschedule, ya udah ngikut aja, mereka yang punya duit ini,”

”Ini yang sama Rothmans itu bukan, Bim?”

”Iya,”

”Ya ga apa-apalah, biar meeting sampai malam juga, klien kakap ini. Eh, ini yang kamu bilang brand managernya ’hot’ itu kan?”

”Betul banget!”

Mereka pun tergelak bersama. Pikiran Bima tiba-tiba melayang pada sosok Gading. Saat tertawa lepas seperti saat ini, mata Gading akan berbinar seakan memantulkan cahaya bintang. Dan Bima paling suka Gading saat tertawa, terlihat begitu cantik dan ayu.

’Eh?!’

Bima terdiam menyadari, betapa akhir-akhir ini dia mulai mempunyai perasaan yang berbeda mengenai Gading. Tanpa disadarinya, kehadiran Gading yang sudah demikian akrab membuatnya merasa nyaman dan enjoy menikmati kebersamaan mereka. Namun selama ini, hubungan yang mereka bina hanya berlabel teman baik, sahabat tepatnya. Tak lebih.

”WOI!!!! Halooooooooooooo~???? Kamu ngapain sih Bim? Ow ow ow, jangan bilang kamu lagi asyik mandangin body sexy brand manager Rothmans yah,”

Bima tersadar, tanpa sadar ia tadi tengah melamunkan Gading, sampai-sampai lupa kalau dia tengah melakukan hubungan telepon dengan sosok yang dilamunkannya.

”Sembarangan kamu!”

”Hahahahahahahahahahahaha! Udah lah, ga usah ngeles... Yakin deh, pasti sekarang kamu lagi curi-curi pandang, menelaah, mengkaji, bahkan mulai membuat hipotesa tentang si brand manager bukan?”

”Emang aku segitunya ya, Gading?”

Suara Bima yang tiba-tiba berubah terdengar sendu cenderung sedih membuat Gading seketika terdiam. Entah mengapa, seperti ada situasi yang tidak nyaman menggantung di antara mereka berdua. Akhirnya, Gading membuka suara demi memecahkan kekakuan di antara mereka berdua.

”Ehm... Ma’af ya Bim, aku sudah keterlaluan ya?”

Bima tersenyum dan menghela nafas. Selama ini dia memang bersikap selayaknya seorang playboy. Dari jaman sekolah menengah, kuliah hingga ia menjadi seorang eksekutif muda yang sukses serta tumbuh menjadi seorang pria muda metroseksual yang sadar betapa menarik dirinya bagi kaum hawa. Dia terlalu sering bermain-main, memuaskan egonya sebagai seorang laki-laki yang memiliki segalanya. Bagaimanapun Gading tidak perlu meminta ma’af padanya. Karena semenjak Gading mengenalnya, dia memang sudah seperti itu. Stereotype pria dengan kekuasaan penuh di tangan.

Kembali Bima menghela nafas.

”Nggak apa-apa kok Gading, santai aja. Eh, udah dulu ya, itu Anton udah nyamper tuh, moga-moga deh proyek yang ini goal. Wish me luck yah Gading,”

”I will Bima, always...”

”Thanks! Love you Gading, see you,”

“Love you too, Big Bro! See..”

Belum sempat Gading menuntaskan salamnya, Bima telah memutuskan sambungan telepon, meninggalkan nada sibuk berkepanjangan di handphone Gading.

“you…”

Dengan perasaan gamang Gading meneruskan salamnya yang terputus. Ditatapnya handphonenya yang kini menampilkan screen saver pemandangan puncak Rinjani. Entah mengapa, seperti ada sebuah kehilangan besar ketika Bima memutuskan sambungan telepon begitu saja. Selama ini, mereka selalu menuntaskan percakapan mereka, sesibuk apapun mereka. Bahkan, tak jarang, percakapan yang seharusnya sudah berakhir, menjadi sebuah perbincangan panjang kembali saat di akhir perbincangan salah satu di antara mereka menyebutkan suatu hal yang menarik.

’Mungkin Bima memang sedang buru-buru,’ bisik hati Gading menghibur diri.

Setengah melamun ia beranjak menuju kamarnya, namun kemudian bertemu dengan Lembayung yang duduk mencangkung di sofa ruang tengah.

”Kenapa mbak?”

Gading menatap ke arah Lembayung yang tengah menikmati semangkuk sup makaroni kegemarannya.

”Apanya yang kenapa?”

Gading pun balik bertanya sambil mencomot sebutir telur puyuh dari mangkuk Lembayung.

”Itu, muka mbak kenapa manyun begitu habis terima telepon dari mas Bima,”

”Siapa yang manyun? Biasa aja tuh,”

”Halah, nggak ngaku lagi mbak Gading ini, keliatan lagi mbak, klo muka mbak rusuh begitu. Emang kenapa sih? Berantem ya ama mas Bima? Mbak Gading jorok ah!” seru Lembayung sambil menepis tangan Gading yang bersiap untuk mencomot telur puyuh yang kedua.

”Nggak, nggak ada apa-apa, biasa aja,”

”Biasanya, klo bilang nggak ada apa-apanya ngotot gitu, berarti ada apa-apa, betul ga bunda?”

Gading berpaling ke arah pandangan Lembayung dan ternyata bundanya telah duduk di ruang makan sambil mengamati kedua anak gadisnya.

”Ngomongin apa sih? Dari tadi bunda denger kok ribut melulu?”

”Ini nih bunda, si mbak Gading, berantem ama mas Bima,”

”Oh ya? Bener, Gading? Berantem kenapa?”

“Nggak bunda, Gading ga berantem sama Bima kok, bisa-bisanya Lembayung aja, tuh!”

Gading melotot pada Lembayung dan dibalas leletan lidah dari adiknya itu.

”Oh ya bunda, eyang uti jadi kesini kan?”

Gading pun mengalihkan pembicaraan.

“Lah tadi, ngendikannya eyang gimana pas kamu telepon?”

“Hah?!? Emang eyang uti mau kesini bunda?”

Lembayung membelalakkan mata dan kemudian bergantian mengalihkan pandangan mata pada bundanya dan Gading yang kini tersenyum geli.

“Iya, eyang uti mau kesini, kenapa?”

”Beneran?”

Kembali Lembayung bertanya dengan ekspresi wajah tak percaya.

”Iya bener, kok ga percaya amat sih! Emang kenapa Lembayung cantiiiiiikkkkkk?”

”Walah! Apes deh aku!”

”Kamu itu ya Mbayung, wong eyangnya mau sowan, bukannya seneng malah ngomong begitu,” tegur ibu Mirna pada Lembayung yang tampak mengerutkan hidung bangirnya.

”Ya gimana mau seneng bunda, kalau begitu melihat aku, eyang langsung ’mbesengut’,”

Seketika ruangan riuh oleh gelak tawa anak beranak itu. Mereka bertiga sangat tahu, Lembayung tidak cocok dengan eyang putrinya. Setiap saat mereka bertemu, pasti akan ada saja kejadian, karena sikap ’pemberontak’ Lembayung bertemu dengan sikap priyayi sang eyang.

”Ya udah, dinikmati aja, gitu-gitu eyang itu sayang lho sama kamu,”

”Mana? Yang ada sih Mbayung dikritik melulu. Cape deh!”

“Kamunya juga bandel sih, sudah dibilang kalau ada eyang, tolong kamu reschedule jadwal fashion show ama pemotretannya, biar ga pulang malam terus. Tahu sendiri kan, eyang uti gimana orangnya,”

“Mbak, mbak, kayak ga ngerti aja, namanya jadwal-jadwal seperti itu kan bukan aku yang ngatur, semua udah beres ama agency. Kalau aku se-enak udel rubah jadwal, bisa-bisa aku ga dipake lagi dong, trus siapa yang mau ganti honorku yang melayang,”

“Iya sih, tapi cobalah mengerti eyang. Kamu tahu sendiri kan, eyang itu masih memegang teguh kultur budaya Jawa, dan tidak bisa dipungkiri, darah yang mengalir di tubuhmu itu darah Jawa tulen,”

“Lembayung ngerti mbak, cuma kadang suka gerah juga kalau eyang sudah mulai ngomongin ini itu yang berbau tata karma wanita Jawa. Masalahnya, sekarang kita hidup di Jakarta, dinamikanya tinggi. Mbak Gading juga pernah bilang gitu kan sama eyang?”

“Ya, maklumin aja, yang penting kita ga nyalahin aturan yang paling prinsip saja. Iya kan Lembayung?”

Suara bundanya yang penuh penekanan membuat Lembayung segan. Selama ini bunda dan kakaknya selalu mewanti-wanti padanya, untuk pandai-pandai menjaga diri di lingkungan pergaulan bebas dunia modeling yang digelutinya.

”Iya bunda, Lembayung ingat,”

Wanita paruh baya itupun tersenyum menanggapi pelukan sayang dari anak bungsunya. Sementara anak sulungnya, Gading, tersenyum menatap kemanjaan adiknya.

”Oh ya Gading, eyang jadinya kapan mau ke Jakarta?”

”Entahlah bunda, eyang juga belum memastikan. Kata eyang sih nunggu kepastian dari pakdhe Bernowo dan budhe Lastri. Terus katanya, mas Pramudya juga mau ikut ke Jakarta. Lagipula, kenapa eyang harus menunggu pakdhe Bernowo, biasanya eyang juga ke sini sendiri naik pesawat,”

Gading menatap penuh tanya ke arah bundanya yang juga menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

”Pakdhe Bernowo? Yang juragan salak pondoh itu bunda? Walah, apa kabarnya mereka?”

“Ya nanti kalau mereka datang kamu juga tahu kabar mereka, Mbayung,”

“Memangnya pada mau kesini bareng eyang? Ada acara apaan? Wah, jangan-jangan mbak Gading mau dijodohin ama mas Pramudya nih! Iya kan bunda?”

Deg!

’Dijodohkan?’

Perkataan Lembayung terkesan sambil lalu namun cukup mengejutkan Gading. Dia tak benar-benar tak pernah terpikirkan kalau ada rencana perjodohan yang melibatkan dirinya. Dengan rasa penasaran yang besar, Gading kembali menatap ke arah bundanya.

“Memangnya iya bunda?”

“Ya iyalah, apalagi coba? Eyang gitu lhooooo…! Kita taruhan deh mbak, pasti rencana rombongan Yogya itu ke sini, ga jauh-jauh dari perjodohan,”

”Apaan sih?”

Gading menjawab dengan rasa tidak suka pada cengiran Lembayung yang kini terlihat sangat menyebalkan di matanya.

”Opo sih? Pakai taruhan segala,” ibu Mirna berusaha menengahi.

“Tapi bener kan bunda? Eyang kesini membawa keluarga pakdhe Bernowo, karena mau menjodohkan mbak Gading sama mas Pram, toh?”

“Bunda juga belum tahu Lembayung, Gading… Yang jelas memang eyang mau sowan ke rumah kita, juga pakdhe Bernowo beserta budhe Lastri dan Pramudya, dan kita harus bersikap baik saat ada yang menginap di rumah kita. Terutama kamu, Lembayung,” ibu Mirna menatap tajam ke arah putri bungsunya.

“Jangan terus-terusan membantah eyang putri. Toh, beliau cuma sowan sebentar, paling lama juga dua minggu, ngerti?”

”Iya bunda, Lembayung ngerti, jangan galak gitu dong,”

”Bunda tidak bermaksud galak Mbayung, hanya saja kamu itu masih harus selalu diingatkan, untuk menjaga sikap selama ada eyang. Bunda tidak pernah berkeberatan dengan apa yang kamu kerjakan selama ini, bahkan bunda bangga sama kamu. Hanya saja, ini eyang, seperti yang kakakmu bilang tadi, eyang itu masih memegang teguh kultur budaya Jawa dan karena kau juga seorang berdarah Jawa tulen, jadi tolong, bersikaplah seperti selayaknya orang Jawa, setidaknya selama eyang di sini,”

”Inggih bunda, Lembayung akan bersikap sebaik-baiknya selama eyang di sini,”

Lembayung tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

”Tapi ga janji ya....”

Benar saja.

Lembayung pun tergelak melihat bundanya mendelik ke arahnya. Sementara itu, Gading tampak terpekur, berusaha mencerna segala pembicaraan yang berlangsung barusan.

’Dijodohkan?’

= # =

”Selamat ya, kami harap kerjasama kita bisa menguntungkan semua pihak,”

Bima menyambut uluran tangan Susan, salah satu brand manager Rothmans yang ikut menghadiri presentasi dari perusahaannya.

”Sama-sama, Ibu Susan, kami juga sangat berterima kasih atas kepercayaan pihak Rothmans pada kami. Semoga kami mampu menvisualisasikan image dan harapan Rothmans,”

Wajah bermake-up sempurna milik Susan tersenyum, hatinya berdesir melihat senyum Bima yang begitu sempurna menghias wajah maskulinnya.

”It’s ok, saya yakin, pihak kami tidak salah dalam menetapkan pilihan. Ngomong-ngomong, jika tidak berkeberatan, kami mengundang Anda bergabung bersama kami ke Retro, atau tepatnya, aku yang mengundangmu, Bima,”

Bima memandang ke arah Susan penuh penilaian. Mata Susan tanpa sungkan menatap lekat ke arahnya, secara terang-terangan mengirimkan sinyal ketertarikannya yang besar pada Bima.

Susan tipe wanita metropolis yang lugas dan berani mengungkapkan apa yang diinginkannya. Wanita dengan kepercayaan diri yang tinggi, otak canggih dan penampilan mutakhir selayaknya tuntutan wanita karir abad ini. Sosok wanita yang selama ini diakrabi Bima sebagai partner ’permainan’ Bima. Biasanya Bima tanpa berpikir dua kali akan langsung menyambut ajakan yang begitu menggoda, menghabiskan sisa malam, clubbing di tempat seprestisius Retro. Namun entah, kali ini ada perasaan enggan dan jengah dalam hati Bima.

”Ma’af, sayang sekali, saya tidak bisa bergabung, saya masih ada beberapa hal yang harus saya selesaikan,” Bima mencoba menampik halus.

Mata Susan membulat, dan berdasarkan pegalamannya selama ini, Bima sangat paham gelagat ini, Susan bukan wanita yang biasa menerima penolakan.

”Ayolah Bim, the crowd won’t be great as well without you there,”

“I’m so honor, but I’m sorry… Saya benar-benar tidak bisa bergabung, maybe next time,”

Bima melemparkan senyum andalannya.

”Bener nih ga mau ikutan? C’mon, we will have fun ’till drop!”

Pandangan mata Susan dan gesturenya memancarkan ketertarikan yang besar pada Bima dan masih berusaha keras untuk membuat Bima bersedia memenuhi undangannya. Entahlah, perasaan jenuh yang asing pada ‘permainan berbahaya’ mulai menyelimuti hati dan perasaan Bima, membuatnya bersikukuh untuk tetap menolak undangan yang menggoda itu.

“Ma’af, saya benar-benar tidak bisa, mungkin lain waktu,”

Kembali Bima melontarkan senyum permohonan ma’af  terbaiknya, membuat Susan mau tak mau semakin penasaran.

‘Gila nih cowok! Katanya easy go, ternyata alot juga!’  bisik hati Susan geregetan.

Susan mengangkat kedua alisnya yang tertata sempurna dan menampilkan senyum mautnya.

“Well, maybe next time, promise?”

Bima sangat paham isyarat tak berkata dari wanita semodern dan seterbuka Susan. Dia mengangguk dan tersenyum penuh arti kala sentuhan ringan tangan Susan mampir di lengannya. Namun dalam hati Bima bertekad, mulai detik ini, sampai kapan pun dia tak akan lagi bermain api.

= # =

Gading terbaring dengan mata nyalang menatap langit-langit kamarnya. Di kepalanya masih berputar-putar perihal perjodohan yang sempat dilontarkan Lembayung. Mungkin hanya bercanda, namun tak urung mampu menyita pikiran Gading. Segala sesuatu menyangkut eyang putri mereka, tidak bisa dianggap sebagai main-main. Apalagi seandainya memang benar eyang putri punya rencana untuk menjodohkan Gading dengan Pramudya.

Gading menghela nafas, pandangan matanya beralih pada jam dinding berbentuk Big Ben, oleh-oleh Bima saat dia menemani mamanya berbelanja keperluan butik di London.

Jarumnya masih menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun suasana rumah sudah demikian sunyi. Gading menduga, pasti Lembayung sudah tidur, kecapekan selepas perjalanannya dari Bukit Tinggi.

Gadis semampai itu bangkit dari pembaringan, membuka pintu kamarnya dan berjalan perlahan menuju kamar bundanya. Ia tahu, bundanya pasati masih terjaga karena harus mempersiapkan keperluan catering untuk esok hari.

”Bunda...,”

Gading mengetuk pelan bilah kayu jati yang terbuka sedikit. Dengan hati-hati, Gading melongokkan kepalanya melewati ambang pintu, dan dilihatnya sang bunda tengah berbicara di hand phone. Tanpa bersuara, sang bunda mengisyaratkan pada Gading untuk masuk. Gading pun pelan-pelan menutup pintu untuk kemudian duduk di tepi tempat tidur bundanya, menunggu beliau selesai berbicara di hand phone.

”Jadi, acaranya di apartemen ya?”

Gading diam-diam memperhatikan pembicaraan bundanya dengan lawan bicaranya. Tangan bundanya tampak sibuk mencatat di buku order dan sesekali menimpali lawan bicaranya.

“Ok, kalau begitu menunya European ya Bim,”

‘Eh? Bima?’

Gading tertegun sesaat, hatinya bertanya-tanya, benar tidak yang tengah bicara dengan bundanya adalah Bima.

“Ya wis, untuk menu deal yo, nanti bunda tambahin pie tart sama canapé,”

Gading semakin memusatkan perhatiannya pada bundanya yang kembali menyimak pembicaraan dari lawan bicaranya.

“Ora opo-opo, Bima, ga usah dibayar pie tart dan canape-nya, kuwi bonus dan hadiah dari bunda buat syukuran kamu itu. Oh ya, ini ada Gading, mau ngomong sama Gading? Sebentar ya... Gading, Bima mau ngomong sama kamu”

Gading menerima hand phone bundanya sambil memandang tak mengerti pada bundanya.

“Halo…,”

“Hai, belum tidur Gading?”

”Belum, kamu sendiri?”

“Ini baru nyampe apartemen,”

“Dah beres meetingnya?”

“Udah,”

“Hasilnya?”

Entah mengapa, tanpa Bima bicara pun Gading tahu kalau mega proyek perusahaan Bima dengan Rothmans-PM Intl. berhasil mencapai kesepakatan. Gading pun bisa membayangkan senyum lebar menghias wajah Bima.

“Selamat ya, Bim,” sambung Gading kemudian.

“Makasih ya Gading,”

“Sama-sama, Bim…,”

Ibu Mirna mengerutkan dahi, tak biasanya perbincangan anak gadisnya itu dan Bima terasa begitu kaku. Dia mengenal baik persahabatan Gading dengan anak sahabatnya itu, dan segera saja setiap bentuk kejanggalan akan terasa di hati keibuannya.

Sementara, jauh di seberang sana, Bima berusaha keras meredam debaran jantungnya yang tak menentu sambil memandangi pemandangan kota lewat kaca jendela apartemennya. Mengira-ngira, kerlip lampu yang mana yang merupakan kerlip lampu rumah Gading.

“Oh ya, Gading, besok lusa ada acara syukuran kecil-kecilan di apartemen aku. Kamu bisa datang kan?”

“Jum’at bukan? Jam berapa?”

“Yah, sekitar after office hour lah, bisa kan?”

“Iya, aku usahakan, lagipula, pasti bunda juga akan mengutus aku untuk mendampingi masakan beliau selamat sampai tujuan, kan?”

“Nah, itu dia maksudku,”

Bima tergelak pelan, dan entah mengapa, semacam desiran halus merambati benak Gading ketika mendengar nada maskulin itu menyentuh gendang telinganya. Tanpa sadar Gading menggelengkan kepalanya, berusaha menepis perasaan asing yang tanpa permisi menyelinap ke dalam hatinya. Melihat reaksi Gading, ibu Mirna semakin mengerutkan keningnya.

”Ya udah deh Gading, gitu aja dulu, sampaikan aja sama bunda, aku ok semua sama menu yang beliau rancang. Whatever itu, aku yakin kalau bunda kamu yang masak, pasti enak,”

”Huuuu nggombal! Biar dapet snack gratis tambahan kan?”

”Hahahahahaha, tahu aja kamu! Udah dulu yah, met istirahat, salam buat bunda. See ya, Gading, love you!”

”See you, Big Bro! Love you, too!”

Begitu sambungan telepon terputus, Gading tampak tercenung diam. Ini untuk kali kedua ia mulai merasakan kehilangan saat Bima memutuskan pembicaraan. Padahal selama ini perasaan dia biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa di hatinya untuk Bima. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sekelumit perasaan sepi menyergap tiba-tiba.

“Gading, kamu sedang tidak ada masalah dengan Bima, kan?”

Gading tersentak, ia baru menyadari kalau sekarang ia tengah memegang hand phone bundanya dan beliau tampak mengamati dengan seksama di balik kacamata bergagang kayu miliknya.

”Nggak bunda, Gading tidak ada masalah apa-apa dengan Bima, memangnya kenapa?”

”Ya, entahlah, bunda merasa seperti ada yang berbeda saja. Tapi, kalau memang tidak ada masalah ya syukurlah,”

Diam-diam Gading menghembuskan nafas lega. Cukup sudah keruwetan dengan celetukan Lembayung soal rencana perjodohan, jangan lagi ditambah dengan keruwetan perasaan sentimentilnya terhadap Bima.

”Oh ya, ada apa? Tumben malam-malam begini ke kamar bunda?”

Pertanyaan bundanya menegaskan kembali apa yang mengganggu pikiran Gading kali ini. Gading mengamati bundanya yang kini sibuk memindahkan catatan ke buku besar berisi order-order catering yang masuk.

”Bunda...,”

”Ya?”

”Apa benar, tujuan eyang bersama keluarga pakdhe Bernowo ke Jakarta buat menjodohkan Gading dengan mas Pramudya?”

Seketika gerakan tangan bunda Gading terhenti. Sesaat tampak beliau tengah berpikir sejenak, sebelum kemudian memutar arah duduknya menghadap Gading. Perlahan tangannya melepaskan kacamata dan meletakkan alat bantu baca itu di atas buku yang terbuka lebar. Semuanya dilakukan dengan begitu hati-hati dan perlahan, dan Gading mengerti makna gerakan bundanya itu. Ada hal yang sangat penting yang akan disampaikan beliau.

”Seandainya benar, apa pendapatmu?”

Gading terdiam, dia sebenarnya sudah menduga akan kebenaran perkiraan Lembayung tentang rencana perjodohan dirinya dengan Pramudya, namun ia belum benar-benar menyiapkan hatinya untuk menghadapi kebenaran itu sendiri. Selama ini tak pernah terlintas dalam pikirannya mengenai sebuah perjodohan.

’Dijodohkan? Dengan Pramudya?’

Hati kecil Gading bertanya-tanya bimbang, setengah percaya setengah tidak bahwa di jaman serba canggih seperti sekarang, dia harus mengalami sebuah perjodohan.

“Entahlah bunda, tidak pernah terlintas hal perjodohan dalam pikiran Gading selama ini…,”

Ibu Mirna menghela nafas, senyum keibuan pun mengembang di wajah tuanya yang masih menyisakan keayuan masa mudanya.

“Gading, terlepas dari rencana perjodohan ini terlaksana atau tidak, segala keputusan bunda serahkan di tanganmu, karena kamulah yang kaan menjalaninya,”

“Memangnya bunda setuju dengan rencana perjodohan yang disampaikan eyang?”

Kembali pandangan bijak ibu Mirna tertuju pada raut wajah Gading yang menuntut jawaban. Dan senyum lembut pun kembali tersungging di bibirnya.

“Bunda tidak menyetujui juga tidak menolaknya, Gading. Sekali lagi, semua bunda serahkan pada dirimu, karena dirimu yang akan menjalaninya. Jika perjodohan ini baik untuk dirimu, kenapa harus ditolak? Dan jika perjodohan ini nantinya tidak membawa hasil yang tidak baik bagi kedua belah pihak, kenapa pula harus dipaksakan? Apapun itu, butuh keberanian dari diri kita untuk menetapkan pilihan. Dan mengenai perjodohan ini, pilihan mutlak ada di tanganmu, bunda hanya bisa memberikan pandangan dan masukan,”

Gading termenung diam di pinggir tempat tidur, memandang garis-garis keramik pelapis lantai yang warnaya tampak tua dimakan usia. Benaknya menimbang-nimbang bimbang. Bukan jawaban seperti ini yang diharapkannya dari bundanya. Jawaban yang membuatnya tak mampu berkutik untuk menolak dengan tegas ataupun bereforia dengan pembelaan. Sebuah pilihan yang pelik.

”Kenapa bunda bersikap demikian?”

Ibu Mirna menghela nafas.

“Gading, anak bunda hanya dirimu dan Lembayung, dan kalian berdua juga telah dewasa. Khususnya dirimu, bunda sudah sangat percaya, kau mampu menentukan pilihan yang baik untuk kau jalani di masa depanmu nanti. Sebagai pandangan, keluarga pakdhe Bernowo adalah keluarga baik-baik, bisa dibilang masih keturunan ningrat. Namun, tidak menjamin juga Pramudya sebaik orangtuanya, hanya saja, silsilah keluarga juga bisa sebagai pertimbangan. Lagipula, untuk masalah perjodohan ini belum diputuskan. Masih ada banyak waktu buat dirimu untuk memikirkan dan mengenal lebih jauh sosok Pramudya sebelum melangkah ke arah yang lebih serius. Tidak ada salahnya kau mencoba mengenal Pramudya lebih jauh, toh kamu juga sudah kenal dengan dia bukan?”

“Maksud bunda?”

“Ya, tidak ada salahnya kau coba lebih akrab dengan Pramudya. Kata budhe Lastri, selama tiga bulan Pramudya akan berada di Jakarta karena ada training di kantor pusat. Nah, selama itu, tidak ada salahnya kan kalau kalian coba saling mengenal?”

”Lantas, kalau ternyata Gading tidak sreg dengan mas Pram?”

”Ya sudah, mau bagaimana lagi? Kalau hatimu sudah madhep mantep untuk tidak menerima lamaran Pramudya, yo wis, bunda tidak bisa memaksa. Karena, seperti yang bunda sampaikan tadi, kamulah yang akan menjalani kehidupan pernikahan bersama Pramudya, bukan bunda, bukan eyang, bukan budhe Lastri ataupun pakdhe Bernowo,”

”Terus, bagaimana dengan eyang uti, bunda?”

Gading menatap penuh harap pada bundanya yang kini memejamkan mata dan memijit pangkal hidungnya.

”Eyang? Yah... mau bagaimana lagi? Kalau hatimu sudah madhep mantep, apapun keputusanmu sepanjang itu membawa kebaikan, bunda akan dukung sepenuhnya. Lagipula, ora sepisan pindho toh bunda bertentangan dengan eyang uti?”

Gading tersenyum mendengar ucapan bundanya. Ia sangat tahu, walaupun bundanya adalah anak kandung eyang uti, namun tak jarang sering tak sepaham. Contoh nyata soal profesi Lembayung sebagai model profesional. Bundanya mendukung penuh walau dengan berbagai macam syarat yang harus dipenuhi Lembayung. Sementara eyang utinya, terang-terangan menolak bahkan sampai mendiamkan bunda dan adik semata wayangnya itu sebagai bentuk penolakan atas profesi Lembayung.

”Terima kasih, bunda,”

Gading memeluk bundanya dari belakang dan mencium pipinya, menyesap keharuman khas bedak racikan sendiri.

”Sama-sama Gading, setidaknya pertimbangkan dulu sebelum kau mengambil keputusan apapun itu. Ingatlah juga, sebagai wanita, kita sangat terbatas oleh usia. Bukan bunda memintamu untuk cepat-cepat menikah, namun lebih pada memikirkan kondisimu sebagai seorang wanita. Baik secara fisik maupun mental,”

”Iya bunda, Gading mengerti, terima kasih sudah mengingatkan Gading,”

”Ya sudah kalau begitu, sekarang kamu istirahat. Bukannya laporan tesismu masih harus di revisi lagi? Dan proyek design interior yang sedang kamu kerjakan, apa sudah selesai?”

“Revisi tesisnya sudah beres bunda, tinggal proyek design, kalau tidak ada halangan, besok siang Gading presentasikan. Mohon do’a ya bunda,”

Tanpa bicara ibu Mirna mengangguk dan tersenyum lembut pada Gading sambil mengelus kepalanya yang berambut hitam legam.

>  to be continued





9 komentar:

  1. Ha? Gading dijodohkan ? Hiksss...ya udah BIma sama aku aja hahahaha...

    Wid Dya

    BalasHapus
  2. Feelingku jg kyk Lembayung, Gading kayaknya mo dijodohkan sm Pramudya.

    Haduuuuh, mdh2n ga kejadian deh. Cinta belum bersemi udah terhalang tembok hehe.

    Ayo Bimaaaa, cepetan nyatakan cinta sm Gadiiing, ntar keburu diembat oraaang...

    BalasHapus
  3. gak relaaaa!! gading harus sama bima! bima harus berjuang ya! gading juga harus bisa tegas menolak. jangan nggih mulu.

    BalasHapus
  4. arghhhhhhhhhh.... dijodohkannnn??????? emangnya Siti Nurbaya??? Bimaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.... cepat bergerak!!!

    BalasHapus
  5. Kalo pramudya jg cakep..why not?? ✗i ✗i ✗i ✗i..."̮

    Titi

    BalasHapus
  6. gag rela,
    gading harus sama bima...!!!

    BalasHapus
  7. wahh... sepertinya Gading berharap bundanya nolak perjodohan itu.
    sistaaaa...jangan lama -lama ya updatenya
    jangan sampai 2 bulan lagi ya...*ngarep.com

    BalasHapus
  8. Akhirnya update juga! Salah satu cerita yg ditunggu2 nih...penasaran sama progress-nya Gading - Bima :) Gak apa2 deh si Pramudya dimunculin *tapi sbg peran pembantu aja ya? hihi...* biar jadi trigger utk masti'in perasaan antara Gading & Bima :) Thanks a lot for the update,sis! *flo*

    BalasHapus
  9. aihhh aihh aihh.... aku bener2 ga sabar nunggu lanjutan dari cerita ini. Sis Feather Pen, aku pengen baca dalam bentuk Novel T_T. Naik cetak donkkkkk....
    Bimaaaaa........ Gading......... Miss you ^^

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-