Jumat, 05 Agustus 2011

The Adventure of Sayuri Hayami #1





“Hijiri, apakah kau bersama Sayuri?”

”Ma’af pak, tidak, apakah nona Sayuri pergi lagi?”

”Begitulah Hijiri... Anak itu, semakin hari semakin bandel saja...”

Hijiri tersenyum demi mendengar suara bosnya yang nampak gusar. Ia bisa membayangkan raut wajah Masumi setiap kali Sayuri, putri semata wayangnya berulah.

”Tolong kau cari dia, secepatnya, Hijiri,”

Ada penekanan nada yang diucapkan Masumi pada kata ’secepatnya’, dan Hijiri menggangguk tanpa sadar.

”Segera hubungi aku begitu kau menemukannya. Aku ingin bicara padanya,”

”Baik, pak. Segera saya laksanakan.”

Masumi menutup teleponnya dan berharap Sayuri segera ditemukan. Gadis kecil itu, belum genap 6 tahun, tapi sifat dan kelakuannya benar-benar keras. Seolah tidak pernah jera dengan segala hukuman yang pernah diberikan Masumi padanya.

’Sayuri... Kali ini kamu kemana lagi nak...?’

= # =

Gadis kecil itu tengah asyik melemparkan cuilan roti ke tengah kolam, berusaha menarik perhatian angsa-angsa yang tengah berenang dan berharap ada yang mau datang memakan roti yang diberikannya.

”Angsa, sini... Ayo sini... Ini ada roti untukmu...”

“Mana mau angsanya datang, kalau yang memberikan makanan adalah anak yang suka meninggalkan sekolah tanpa ijin?”

“Paman Hijiri!” pekiknya senang, namun kemudian raut wajahnya segera berubah. Bibir mungilnya mengerucut, menandakan dia sedang cemberut.

“Pasti ayah yang menyuruh paman mencariku,”

Hijiri tersenyum.

“Kau semakin pintar, nona kecil,”

”Ah, ga asyik ah! Setiap kali aku ingin bersenang-senang sedikit saja, selalu saja paman Hijiri menemukanku! Kenapa sih, ayah selalu saja begitu? Aku kan sudah besar, sudah bisa pulang sendiri naik taxi. Aku tahu kok alamat rumahku, aku juga tahu jalan menuju rumah, nomor handphone ayah aku juga hafal di luar kepala, nomor telepon kantor ayah juga, kakek, semuanya, aku sudah tahu, jadi seharusnya ayah tidak perlu khawatir. Apalagi sampai harus mengirimkan paman untuk mencariku, ujung-ujungnya, begitu sampai rumah, ayah akan menghukum aku. Sebal!”

Hijiri semakin tersenyum geli mendengar gerutuan gadis kecil itu. Kalau melihat perawakannya, siapa yang menyangka jika umurnya belumlah genap 6 tahun dan baru duduk di bangku taman kanak-kanak. Dalam benak Hijiri bertanya-tanya, kali ini cara apa yang ia pergunakan untuk mengelabui guru dan penjaga sekolahnya sehingga ia bisa pergi meninggalkan sekolahnya begitu saja.

”Nona Sayuri Hayami, tidak pantas kau berbicara seperti itu tentang ayahmu. Ayahmu bersikap begitu karena beliau khawatir padamu nona kecil. Seandainya nona bertemu dengan orang jahat, bagaimana? Kalau memang nona anak pandai, pastinya nona tahu hal itu,”

Mata kanak-kanak Sayuri memandang Hijiri yang masih saja tersenyum.

”Biar saja!”

”Eits! Bagaimana seharusnya seorang nona Sayuri Hayami bersikap?”

Sayuri serta merta menghembuskan nafas keras-keras, menandakan kekesalan hatinya. Wajahnya masih saja cemberut.

”Baik, paman Hijiri”

”Nah, itu baru nona Sayuri Hayami, sang princess, benar? Tos kita?”

Plak!

Sayuri memukulkan telapak tangan mungilnya keras-keras ke telapak tangan Hijiri. Hijiri kembali tersenyum, ia tahu, pasti tangan Sayuri sakit karena gadis kecil itu memukul telapak tangannya dengan begitu kencang, tapi Hijiri mendiamkan saja. Baginya, yang penting anak semata wayang atasannya itu sudah ia temukan dalam keadaan baik-baik saja.

”Sekarang, kita pulang,”

Sayuri hanya menganggukkan kepala kecilnya yang berkuncir dua. Walaupun rona cemberut sudah hilang dari wajahnya, tapi Hijiri sangat mengenal nona kecil-nya ini. Hatinya pasti masih kesal.

”Kali ini, mengapa kau meninggalkan sekolahmu, nona kecil?”

”Aku bosan, paman. Pengen cepet-cepet liburan.”

”Bukannya libur musim panas tinggal dua hari lagi? Kenapa tidak sabar menunggu?”

”Iya paman, karena libur musim panas ini ayah sudah berjanji akan mengajak aku berlibur. Ayah sudah janji, selama libur musim panas ini, akan menemaniku pergi kemana saja yang aku minta,”

.”Memangnya, nona Sayuri ingin berlibur kemana?”

Perlahan keceriaan Sayuri sudah mulai kembali. Suara kanak-kanaknya berceloteh riang tentang segala rencana yang ingin ia kerjakan bersama ayahnya saat liburan nanti.

”Banyak paman! Aku pengen ke kebun binatang, mau liat koala, juga mau liat panda dan berfoto sama bayi singa. Terus mau ke Disneyland, juga mau ke Izu. Aku juga ingin bermain-main di kolam pemandian air panas, kata Kotaro, disana asyik sekali. Habis itu aku mau pergi ke Fukuoka, kata kakek Asa, disana mi ramennya enak. Aku juga akan meminta ayah untuk pergi ke Naha, aku pingin liat ikan di dalam laut, paman. Setelah dari sana, aku mau ke Yokohama. Habis dari Yokohama aku mau ke Kyoto, pokoknya kemana aja!”

”Masa mau makan mi ramen saja harus jauh-jauh ke Fukuoka?”

”Iya dong! Soalnya kakek Asa bilang disana tempat pembuat mi ramen paling enak sedunia, lagipula aku juga belum pernah ke Fukuoka. Paman ikut ya?”

”Boleh saja, tapi, semua kan tergantung pak Masumi,”

”Ah iya! Paman kan Hattori-nya ayah, ya kan?”

”Hat... Hattori? Maksudnya?”

”Itu lho, Ninja Hattori, masa paman tidak tahu?”

Hijiri mengerenyitkan dahinya, ekspresi bingung terpancar jelas di wajahnya.

”Ih, paman Hijiri ini payah! Masa tidak tahu Ninja Hattori sih?”

”Paman tahu, siapa itu Ninja Hattori, tapi mengapa kau samakan paman dengan Ninja Hattori?”

”Ya, pokoknya paman itu Ninja Hattori-nya ayah, susah ah ngomongnya! Capek!”

Hijiri tersenyum maklum pada gadis kecil berseragam kelasi ini. Langkah kakinya yang panjang berjalan lambat menyusuri jalan taman, berusaha menyelaraskan langkah dengan kaki mungil Sayuri. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

”Ah, nona, tunggu sebentar ya,”

Sayuri menatap Hijiri dengan tatapan penasaran kanak-kanaknya. Namun, begitu melihat Hijiri mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, wajahnya kembali cemberut. Ia tahu, siapa yang akan dihubungi paman Hijiri-nya itu.

”Halo pak Masumi, iya ini saya sudah bersama dengan nona Sayuri. Tidak pak, dia hanya bermain di taman kota, katanya bosan di sekolah. Baik pak, nanti akan saya periksa. Bapak ingin bicara? Baik, mohon tunggu sebentar,”

Hijiri memandang Sayuri yang tengah menendang-nendang kerikil. Ia tahu, gadis cilik itu pasti enggan berbicara dengan ayahnya setelah ulahnya hari ini.

“Nona Sayuri, ini, ayah nona ingin bicara,”

Hijiri mengangsurkan ponsel-nya pada Sayuri.

”Tidak mau!” spontan saja Sayuri menjawab

”Nona,”

”Tidak mau, paman, aku tidak mau bicara dengan ayah,” kali ini pandangan mata dan raut muka Sayuri memelas, setengah memohon pada Hijiri. Hijiri hanya mampu menatap tak tega pada Sayuri yang kini hampir menangis.

”Ma’af pak, nona Sayuri tidak mau,”

Hijiri tampak memperhatikan apa yang disampaikan Masumi padanya lewat telepon, sementara Sayuri masih berdiri dengan pandangan memohon padanya. Meremas-remas tali tas punggungnya dengan gelisah, berusaha membaca raut wajah Hijiri yang tengah berbicara dengan ayahnya.

”Baik pak, saya akan bawa nona Sayuri, terima kasih,”

Hijiri kembali menyimpan ponsel-nya.

”Ayah... marah ya, paman?”

Hijiri menghela nafas perlahan, dengan memegang pundak Sayuri, Hijiri merendahkan tubuhnya hingga sejajar tingginya dengan Sayuri. Ia tahu, nona kecilnya ini pasti sangat khawatir dimarahi ayahnya.

”Nona Sayuri, ayah nona mungkin sedikit gusar, tapi itu tidak akan mengurangi perasaan sayangnya pada nona, jadi nona tidak perlu takut,”

”Berarti benar kan paman, ayah marah?”

Hijiri tersenyum, berusaha menenangkan ketakutan di hati gadis kecil itu.

”Sudahlah nona, jangan dipikirkan ya? Ayo, sekarang ayah nona ingin nona ke kantor Daito,”

Mata Sayuri terbelalak, ia menarik tangan Hijiri yang menggandengnya.

”Pulang saja, paman... Aku mohon... Antarkan aku pulang ke rumah saja... Aku tidak mau ke kantor ayah... Pasti ayah hanya akan memarahiku...”

”Nona, kalau nona tidak menuruti ayah nona, nanti ayah nona akan benar-benar marah... Jadi, kita ke Daito ya...”

”Tapi, paman janji ya... Temani aku selama aku bicara sama ayah...”

”Nona...”

”Janji ya paman... Janji... Kumohon...”

”Ma’af nona, paman tidak bisa berjanji...”

”Yaaahhhh... kenapa sih?”

Sebenarnya Hijri tidak tega melihat Sayuri yang tengah merajuk itu, tapi bagaimanapun, Masumi sudah menginstruksikannya untuk membawa Sayuri ke Daito untuk bertemu dengannya.

Dan sepanjang perjalanan mereka ke Daito, Hijiri hanya bisa memandang kasihan pada Sayuri yang merajuk

= # =

”Sayuri? Kau darimana saja?”

Sayuri menatap Hijiri dari balik badan Mizuki, dilihatnya Hijiri sempat mengacungkan kedua ibu jarinya sebelum hilang tertutup pintu lift. Ia tahu, ia tidak boleh bicara sembarangan soal Hijiri pada siapapun, termasuk pada Mizuki, salah satu favoritnya setelah paman Hijiri-nya.

”Kau kesini sendiri? Diantar siapa? Pak Asa kah?”

Sayuri menggelengkan kepalanya, kuncir di rambutnya bergoyang lemah. Pandangan matanya begitu menghiba. Dan Mizuki tahu, apa penyebabnya.

”Apakah ayahmu yang memintamu ke sini?”

”Iya, nona Mizuki... Apakah ayahku ada?”

”Kenapa Sayuri? Kau dimarahi lagi gara-gara ulahmu hari ini?”

Kepalanya kembali menggeleng lemah.

”Aku tidak tahu, nona Mizuki... Aku harap ayah tidak memarahiku, tapi sepertinya ayah pasti marah, karena langsung memintaku diantarkan ke sini, bukannya pulang ke rumah...”

”Ah, Sayuri-chan...”

”Buat apa kamu menahan Sayuri lama-lama di tempatmu Mizuki?”

Seketika gerakan Mizuki yang hendak memeluk Sayuri terhenti di udara demi mendengar nada dingin di belakangnya. Mizuki menoleh ke arah suara dan mendapati Masumi sudah berdiri di ambang pintu ruangannya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.

”Kau sudah sampai, Sayuri?”

”Iya, ayah...” Sayuri meyahut dengan takut-takut.

”Ayo masuk,”

Sayuri melangkah menuju ruangan ayahnya dengan kepala tertunduk, tapi sebelum benar-benar pintu tertutup dia sempat mencuri pandang ke arah Mizuki, yang langsung mengacungkan kedua ibu jari sambil tersenyum, namun cepat-cepat diturunkan dan menghapus senyumnya demi melihat Masumi menatapnya tajam.

= # =

Sayuri duduk diam dengan kepala tertunduk, namun kakinya bergerak-gerak gelisah, menggurat-gurat karpet tebal di lantai kantor ayah dengan ujung sepatu hitam kecilnya. Masumi memperhatikan dengan seksama bahasa tubuh anaknya itu. Dia tahu, Sayuri pasti takut dimarahi, tapi mau bagaimana lagi. Menurutnya Sayuri sudah sangat keterlaluan. Dalam tiga bulan ini dia sudah terlalu sering mendapat laporan dari guru wali kelas Sayuri yang mengatakan bahwa Sayuri seringkali berada di luar kelas. Yang lebih parah lagi, Sayuri terkadang pergi keluar dari wilayah sekolah. Dan kali ini adalah kepergian Sayuri tanpa pamit untuk yang keempat kalinya dari sekolah.

”Sayuri...”

Gerakan kaki Sayuri sempat berhenti sebentar ketika mendengar suara Masumi memanggilnya. Namun, tak lama kemudian, kembali bergerak gelisah, membuat gambar tak nyata dengan ujung sepatunya. Masumi menghela nafas perlahan. Pasti kali ini akan lebih sulit menghadapi Sayuri. Dia harus pandai-pandai menjelaskan pada anak kesayangannya ini, tentang bahayanya berkeliaran sendiri di kota.

”Sayuri, ayah sedang bicara padamu,”

”Iya... ayah...”

”Kau tahu apa kesalahanmu?”

Sayuri terdiam dan tanpa sadar beringsut, semakin melesak ke dalam sofa, seakan ingin menyembunyikan tubuh kanak-kanaknya dari pandangan tajam ayahnya di kelembutan spons berkualitas tinggi itu.

”Sayuri...?”

Suara Masumi mulai terdengar kehilangan kesabarannya.

”Iya, ayah... Sayuri tahu...”

”Coba, ayah ingin tahu, apa kesalahanmu,”

”Sayuri bolos sekolah lagi...”

Masumi menghela nafas, berusaha meredam kegusarannya.

”Lalu?”

”Sayuri tidak mau berbicara pada ayah saat ayah menelepon...”

”Selain itu?”

Sayuri menatap tak mengerti pada ayahnya yang masih berdiri bersedekap, menyandarkan pinggulnya pada meja kerja. Namun, tak urung kembali menundukkan kepalanya demi melihat tatapan ayahnya yang tajam. Otak cerdasnya berpikir.

’Apalagi kesalahanku? Apakah...? Oh ya! Aku tahu!’

”Ma’af ayah... Sayuri hanya ingin bermain di taman kota, Sayuri bosan di sekolah dan Sayuri juga sudah berjanji membawakan roti pada angsa-angsa disana...”

Kembali Masumi menghela nafasnya.

”Kau tahu akibat dari perbuatanmu, Sayuri?”

Sayuri terdiam, bukannya menjawab pertanyaan ayahnya, tapi malah asyik bermain dengan jari-jari tangannya.

”Sayuri!”

”Iya ayah, Sayuri tahu!”

Masumi merasakan sesal menyergap hatinya tatkala melihat mata bening Sayuri berkaca-kaca. Ia tahu, ia sudah keterlaluan dengan membentak Sayuri seperti itu. Namun, rasanya benar-benar sudah tak tertahankan lagi. Rasa khawatir dan ketakutannya begitu dalam saat mendapat telepon dari ibu Minako, wali kelas Sayuri, yang menyampaikan bahwa Sayuri kabur lagi dari sekolah. Masumi beranjak dari tempat berdirinya dan duduk di samping Sayuri.

”Sayuri... Bukankah sudah sering ayah ingatkan, jangan pernah pergi kemana-mana sendirian... Berbahaya Sayuri... Hari ini kau selamat dan baik-baik saja karena paman Hijiri bisa menemukanmu, tapi lain hari? Kita tidak tahu, sayang, dan ayah tidak mau hal seperti itu terjadi menimpa dirimu...”

Sayuri masih tertunduk dalam, perlahan ia mulai terisak, namun tidak berani menangis keras-keras. Ia tahu, ia sudah sangat keterlaluan, melanggar larangan ayahnya.

”Ma’af ayah... Tapi, ayah kan selalu menjaga aku, lewat paman Hijiri...”

”Sayuri... Bisa saja suatu saat paman Hijiri tidak bisa menjagamu seperti sekarang, atau orang-orang bawahan ayah terlambat menemukanmu, entah, apa yang bisa terjadi padamu bila sampai hal itu terjadi. Ayah tidak mau hal itu terjadi, dan tentunya kau sendiri juga tidak mau kan hal seperti itu terjadi?”

Sayuri hanya mengangguk kecil sambil menyeka airmatanya dibawah tatapan lembut ayahnya yang kini tengah merangkul tubuh kecilnya.

”Ma’afkan Sayuri, ayah...”

Lengan mungilnya memeluk tubuh ayahnya dan menyembunyikan wajah di dada ayahnya, berusaha memohon ma’af.

Masumi mengelus lembut kepala dan punggung anaknya.

”Ayah ma’afkan kamu, tapi, ayah harus memberikan hukuman padamu...”

”Ya... Kok ayah gitu sih?”

”Mau bagaimana lagi? Sayuri sudah tahu kan peraturan ayah? Setiap pelanggaran harus ada sanksinya dan setiap prestasi pasti mendapatkan penghargaan. Sayuri belum lupa kan?”

Sayuri mengerucutkan mulut mungilnya, dia tahu, hukuman dari ayahnya bukanlah hukuman yang menyakitkan tapi tetap saja bukan hal yang menyenangkan dan enak untuk dijalankan.

”Ya sudah... Apa hukuman buat Sayuri kali ini?”

”Ayah menunda liburan musim panasmu sampai ayah rasa kamu layak mendapatkannya,”

”Yaaaaaaaaaaa... Kok ayah gitu sih?”

Masumi mengangkat kedua alisnya dan menatap penuh peringatan pada Sayuri.

”Tapi, ayah kan sudah janji...”

Suara Sayuri terdengar menahan tangis dan sangat kecewa.

”Benar Sayuri, ayah sudah berjanji dan ayah akan menepatinya, tapi tidak secepat itu,”

”Ayaaaahhhhhh....”

”Tidak Sayuri, itu keputusan ayah,”

Sayuri mencebik, perlahan airmata kembali menggenang di kedua pelupuk matanya yang besar. Dia tahu, akan sangat percuma mendebat ayahnya. Dan Masumi tersenyum melihatnya.

”Hei, hei, kok jadi nangis...?”

„Habisnya... Ayah kan sudah janji...“

„Sayuri, ayah tidak membatalkan liburan musim panasmu dan ayah juga akan menepati janji ayah untuk menemanimu berlibur kemanapun yang kau mau. Hanya saja, tidak sekarang,“

„Kalau begitu, kapan dong ayah? Keburu liburannya habis...

„Ayah akan lihat perilakumu, cepat dan lambatnya kita pergi berlibur, sangat tergantung pada sikap baikmu. Ok?”

Sayuri kecil hanya bisa mengangguk pasrah, namun tak bisa dipungkiri, hatinya benar-benar kecewa. Bayangan akan liburan yang menyenangkan, kini pupus sudah.

Masumi tersenyum melihat Sayuri yang merajuk, sebenarnya ia tidak tega harus menghukum Sayuri dengan menunda liburan mereka. Apalagi, Sayuri sudah jauh-jauh hari meminta padanya untuk bisa pergi berlibur di libur musim panas kali ini. Tapi, bagaimanapun juga ia harus mengajarkan disiplin pada Sayuri.

”Kok anak ayah cemberut? Ayo senyum,”

”Tidak mau!”

”Kok Sayuri begitu? Nanti cantiknya hilang lho...”

”Biarin aja!”

Masumi menghela nafasnya, ia sadar, sangat sulit mencairkan hati Sayuri yang sedang ngambek. Akhirnya, Masumi beranjak menuju meja kerjanya, pura-pura mengacuhkan Sayuri dengan memeriksa beberapa dokumen yang bertebaran di atas meja. Selang beberapa waktu, Masumi melirik gadis kecilnya, dan ternyata Sayuri tengah menatap padanya, namun buru-buru membuang muka saat pandangannya bertatapan dengan pandangan Masumi. Masumi tersenyum geli melihat tingkah anaknya.

Deg!

Tiba-tiba ia merasakan deja vu. Ia pernah mengalami hal ini, tidak dengan  Sayuri, tapi...

”Ma’af  jika saya mengganggu pak, Mr. Smith sudah datang dan kini sedang menuju ruang meeting,”

Interupsi dari Mizuki membuyarkan lamunan sesaat Masumi.

”Begitu? Baik Mizuki, aku akan kesana segera. Oh ya Mizuki, tolong kau telepon ayahku, sampaikan pada beliau, beliau bisa menjemput Sayuri disini sepulang beliau dari rumah sakit, terima kasih,”

Mizuki mengangguk dan tersenyum menenangkan pada Sayuri demi melihat gadis kecil menggemaskan itu cemberut.

”Nah Sayuri, ayah harus menemui tamu penting, nanti kakek akan menjemputmu disini. Kau boleh menunggu disini, dengan catatan, jangan menyentuh apapun di meja kerja ayah. Atau, kau bisa minta Mizuki menemanimu ke bagian produksi. Saat ini Ayumi Himekawa sedang syuting, mungkin kau ingin bertemu dengan aktris idolamu itu,”

Sayuri hanya diam tak bereaksi, tangannya asyik mengguratkan kuku di sofa ayahnya. Masumi menghela nafasnya dan beranjak mendekati anaknya.

”Sudah ya... Ayah pergi dulu, ingat, kau harus bersikap baik, liburan musim panas ini tergantung pada sikap baikmu. Baik-baik ya sayang, nanti kakek akan menjemputmu. Sampai ketemu di rumah, Sayuri cantik,”

”Mizuki, tolong ya, jaga Sayuri sampai ayahku datang menjemput,”

”Baik, pak,”

”Terima kasih, Mizuki,”

”Sama-sama, pak,”

Mizuki menyaksikan Masumi mengecup ubun-ubun Sayuri sebelum beranjak keluar ruangan. Mizuki merasa trenyuh. Bagaimanapun juga, kehadiran Sayuri sudah banyak merubah Masumi. Masumi yang sekarang terasa lebih manusiawi dibandingkan Masumi 6 tahun yang lalu.

”Nah, Sayuri, kamu mau ke bagian produksi?”

Sayuri menatap Mizuki yang tengah berusaha menyenangkan hatinya. Sebenarnya ia ingin sekali melihat proses syuting Ayumi, tapi, gara-gara hukuman ayahnya, ia jadi malas berbuat apa-apa.

’Sungguh menyebalkan!’ pikirnya

”Terima kasih, nona Mizuki, aku tunggu kakek di sini saja,”

”Benar nih tidak ingin ke bagian produksi? Ada Ayumi Himekawa lho...”

Kepala kecil Sayuri mengangguk mantap, meyakinkan Mizuki bahwa ia tidak ingin kemana-mana.

”Baiklah kalau begitu... Mau cemilan apa? Nanti biar aku pesankan ke pantry,”

”Boleh aku minta milkshake strawberry, nona Mizuki?”

”Milkshake strawberry? Ok, nanti biar office boy mengantar kemari. Sekarang kau tunggu di sini sebentar, biar aku selesaikan sedikit pekerjaanku. Aku janji, begitu selesai, kita bisa main bersama sambil menunggu kakek Eisuke datang, ya?”

”Baik, nona Mizuki,”

”Dan ingat, jangan menyentuh apapun di meja kerja ayahmu, ok?”

Sayuri tersenyum jenaka dan mengacungkan kedua ibu jarinya pada Mizuki, sebelum sekretaris ayahnya itu meninggalkannya.

Kini Sayuri hanya sendirian di ruang kerja ayahnya yang luas. Matanya menjelajah ke sekeliling ruangan mewah itu, hingga berhenti di jendela dinding yang menjadi latar belakang meja kerja ayahnya. Langkah kaki mungilnya beranjak menuju jendela besar itu.

Begitu sesampainya disana, matanya memandang kagum pada pemandangan yang disuguhkan, hingga hidung mungilnya menempel pada dinding kaca tebal itu. Mulutnya ternganga melihat keindahan suasana kota di bawah. Mobil yang lalu lalang kini nampak begitu kecil. Orang-orang yang berjalan pun tampak begitu kecil hanya serupa titik-titik yang lalu lalang kesana kemari. Yang lebih membuatnya terpana, hamparan langit biru yang rasanya begitu dekat untuk diraih tangan mungilnya. Baru kali ini Sayuri melihat langit yang terasa begitu dekat.

Puas memandangi pemandangan melalui dinding kaca, Sayuri kembali mengedarkan pandangannya. Kali ini, pandangannya tertumbuk pada meja kerja ayahnya yang besar. Dia ingat kata-kata ayahnya untuk tidak menyentuh apapun di meja kerja ayahnya, tapi meja kerja ayahnya tampak begitu menggoda rasa ingin tahunya untuk melihat-lihat.

’Kalau hanya melihat-lihat kan tidak apa-apa,’ bisik hati kanak-kanaknya yang selalu ingin tahu.

Sayuri duduk di kursi kerja ayahnya. Mencoba keempukannya dengan duduk melompat-lompat di atasnya dan berputar-putar riang. Puas bermain-main dengan kursi Masumi, Sayuri melihat ke atas meja kerja ayahnya. Ada sebuah notebook yang kini tengah menampilkan screen saver dengan tampilan foto-foto Sayuri dalam berbagai pose. Selain itu juga begitu banyak kertas-kertas bertebaran. Sayuri memungutnya satu dan mengeja tulisan yang ada di dalamnya. Merasa itu bukan hal yang menarik baginya, Sayuri meletakkan kembali di tempatnya semula.

Melihat begitu banyak kertas, timbul keinginan Sayuri untuk menggambar. Tapi ia tahu, kertas-kertas di meja ayahnya bukanlah kertas yang boleh dipakainya untuk menggambar. Untuk itu dia mulai melihat ke sekeliling, mencari kertas kosong. Di dekat mesin fax, tidak ada. Di dekat printer, juga tidak ada. Di rak buku, yang ada hanyalah buku-buku tebal yang Sayuri kesulitan membaca judulnya.

’Aha!’

Sayuri kembali menuju meja kerja ayahnya. Satu persatu dibukanya laci meja kerja ayahnya demi menemukan selembar kertas kosong. Hingga...

Tangannya terpaku di handle laci, sementara matanya menatap penuh rasa ingin tahu pada isi laci ketiga yang dibukanya. Ada begitu banyak hal menarik disana. Tiket pementasan drama yang sudah sangat lewat tanggalnya, kliping koran yang tampak lusuh, fotokopi flyer pertunjukan yang bergambar seorang wanita berwajah ceria tengah memerankan Puck, tokoh kegemaran Sayuri. Dan yang lebih membuatnya penasaran, album foto besar dengan sampul tiga dimensi yang berisi sekuntum mawar kering..

Sayuri duduk di karpet. Dengan tangan kecilnya, ia berusaha mengeluarkan album foto yang berat itu. Penuh rasa ingin tahu, ia meletakkan album foto di karpet dan mulai membuka halamannya satu persatu. Matanya terpaku pada sosok yang ada di foto itu. Berlembar-lembar foto yang terpampang begitu menyedot perhatian kanak-kanaknya. Semuanya menampilkan sesosok wanita yang sama namun dalam berbagai peran dan kostum. Dan di setiap foto selalu menampilkan kesan kuat yang berbeda.

’Ini...? Foto siapa? Kok aku tidak pernah tahu aktris ini? Mengapa album foto orang ini disimpan ayah?’

Pikiran anak-anaknya bertanya-tanya.

”Sayuri? Kau mau main apa? Aku sudah selesai,”

Mendengar suara Mizuki, Sayuri buru-buru mengembalikan album foto ke dalam laci setelah sebelumnya mencabut salah satu foto dan menyelipkannya dalam saku rok seragamnya.

”Sayuri?”

”Iya, nona Mizuki,”

”Sayuri-chan? Apa yang kau lakukan disitu? Kau tidak menyentuh apapun kan?”

Mizuki bertanya curiga pada Sayuri yang muncul dari balik meja kerja Masumi. Dia khawatir, Sayuri melakukan sesuatu yang bisa membuatnya dimarahi lagi oleh Masumi.

”Tidak nona Mizuki, aku tidak menyentuh apapun,”

Mizuki masih saja menatap penuh selidik, tapi demi melihat wajah Sayuri yang begitu polos akhirnya dia meyakinkan diri kalau gadis kecil itu mengatakan yang sesungguhnya.

”Syukurlah kalau begitu, sebab kalau tidak, kau tahu kan akibatnya?”

Sayuri mengangguk kuat-kuat, berusaha meyakinkan Mizuki, bahwa memang dia tidak melakukan apapun yang bisa membangkitkan kemarahan ayahnya.

”Nah, Sayuri, sekarang kau mau melakukan apa?”

”Kita melihat Ayumi saja, nona Mizuki, boleh?”

Mizuki menatap Sayuri yang balik menatapnya dengan pandangan memohon.

”Baiklah kalau begitu. Ayo aku antar ke ruang produksi,”

”Asyik!!!!!”

Mizuki tersenyum melihat keriangan Sayuri. Sambil bergandengan tangan, mereka berdua beranjak keluar dari ruang kerja Masumi. Sesaat sebelum menutup pintu, naluri Mizuki mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, membuatnya terpaku di ambang pintu ruang kerja Masumi.

Sayuri menatapnya bingung.

”Nona Mizuki, ada apa? Ayo, katanya mau mengantar aku melihat-lihat ruang produksi,”

Demi melihat Sayuri yang sudah tak sabar, Mizuki mengabaikan nalurinya.

”Iya, Sayuri, ayo kita ke ruang produksi,”

’Apapun itu, biarlah nanti saja,’ pikirnya sambil menghela Sayuri menuju lift.

Diam-diam, Sayuri menghembuskan nafas lega sambil menepuk pelan saku rok seragam sekolahnya.

= # =

”Kakek!!!!!”

Sayuri menjerit riang, berlari menyongsong Eisuke yang memasuki loby utama Daito. Eisuke mengembangkan tangannya dan segera saja tubuh mungil menubruknya hingga kursi rodanya bergeser beberapa langkah.

”Wow, wow, wow! Cucu kakek yang cantik! Kalau kau selalu menubruk kakek dengan kekuatan penuh seperti ini, bisa-bisa kakek terguling dari kursi roda kakek,”

Eisuke mengerling jenaka pada Sayuri yang terkekeh riang. Pemandangan itu mengundang senyum para pegawai Daito yang tengah berada di lobby. Eisuke Hayami, presiden direktur Daito Enterprise yang terkenal dingin, tampak begitu hangat berhadapan dengan cucunya. Namun, begitu tatapan mereka beradu pandang dengan tatapan berwibawa Eisuke, senyum mereka segera sirna. Mizuki tersenyum geli melihat fenomena itu.

“Selamat siang, pak Hayami, pak Asa. Apa kabar Anda?”

Mizuki tersenyum dan membungkuk memberi salam pada Eisuke dan asisten pribadinya, Asa. Asa tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Oh, kau Mizuki, terima kasih, kabar aku baik dan sehat. Kau sendiri? Kerepotan apalagi yang ditimbulkan anakku dan cucuku di harimu yang cerah ini?”

“Bukan hal yang luar biasa, pak. Semua masih berada di bawah kendali saya,” jawab Mizuki diplomatis.

”Hahahahahahahahahaha, memang tidak salah Masumi mempertahankanmu sebagai sekretarisnya. Kau selalu bisa diandalkan,”

”Anda terlalu memuji, pak Hayami”

Eisuke tersenyum mendengar jawaban praktis Mizuki. Perhatiannya kini beralih pada cucu kesayangannya yang tengah asyik bermain-main dengan kepala tongkatnya.

”Jadi, kita pulang sekarang, cantik? Tentunya kau sudah lelah dengan segala ’aktifitas’mu hari ini”

Eisuke memberikan tekanan pada kata aktifitas, namun hanya Mizuki dan Asa yang menangkap maksudnya. Sementara Sayuri masih saja asyik bermain-main dengan tongkat kakeknya.

”Yup! Kita pulang sekarang saja, kek. Aku lelah dan lapar sekali. Rasanya aku bisa menelan seekor godzilla sekaligus,”

Eisuke kembali tersenyum melihat tingkah polah cucu perempuannya itu.

”Kalau begitu, kau pamit pada nona Mizuki, sampaikan permohonan ma’af dan terima kasih karena telah menyita waktunya bekerja,”

Sayuri membungkukkan badan dalam-dalam pada Mizuki. Bersikap sopan dan tanpa cela, sebagaimana sepantasnya seorang Hayami dididik.

”Terima kasih banyak, nona Mizuki, ma’af  telah merepotkan,”

”Sama-sama, Sayuri-chan,”

Mizuki tersenyum melihat sikap Sayuri yang tanpa cela. Sungguh sangat berbeda bila mengingat apa yang telah dilakukannya pagi ini.

”Nah, Mizuki, Sayuri-chan aku ambil alih sekarang. Masumi masih rapat dengan investor dari Australia itu, bukan?”

”Baik pak Hayami, silahkan, dan benar, hingga saat ini pak Masumi masih rapat dengan Mr. Smith dan dijadwalkan akan selesai saat makan siang nanti. Apakah bapak akan menunggu pak Masumi?”

”Bagaimana, Sayuri-chan? Apakah kita akan menunggu ayahmu?”

Eisuke bertanya pada gadis kecil yang kini menggelendot manja padanya. Sayuri menggeleng keras-keras.

”Pulang aja yuk kek... Sayuri ngantuk...”

Eisuke mengangkat pundaknya pasrah.

”Kau sampaikan saja pada Masumi, kami pulang Mizuki, terima kasih telah menemani Sayuri-chan,”

”Baik pak, nanti saya sampaikan pada pak Masumi, dan kau Sayuri, ingat pesan ayahmu, ya?”

”Baik nona Mizuki, dan terima kasih banyak telah menemaniku hari ini,”

Eisuke memandang pada Sayuri yang memeluk Mizuki. Ada perasaan haru menyergap hati tuanya.

”Ayo Sayuri-chan, kita pulang,”

= # =

Eisuke memperhatikan cucunya yang tengah asyik menatap jalanan ramai. Sesekali mulut kecilnya berteriak riang setiap melihat banner besar yang memampang wajah Ayumi ataupun iklan makanan cepat saji kegemarannya.

”Sayuri-chan,”

”Iya, kek?”

”Sekarang kakek mau tanya, kenapa hari ini kamu kabur lagi dari sekolah?”

”Sayuri bosan, kek,”

Eisuke mengangkat sebelah alisnya.

”Bosan?”

”Iya, bosan, memangnya kenapa kek?”

”Dan karena bosan, maka kau pergi meninggalkan sekolah?”

”He-eh,”

Sayuri mengangguk mantap

”Dan aku juga sudah janji membawakan roti pada para angsa yang ada di taman kota, kakek ingat kan?”

Eisuke tersenyum, dia ingat minggu lalu memang mengajak Sayuri bermain di taman kota sepulangnya sekolah. Dia tidak menyangka, janji Sayuri yang dianggapnya hanya janji main-main untuk membawakan roti pada angsa ternyata benar-benar dilaksanakan. Bahkan, sampai perlu bolos sekolah pula.

”Tapi, seharusnya kau ijin terlebih dahulu Sayuri-chan, setidaknya ada yang mengantarkanmu. Jangan membuat khawatir, ya?”

”Iya kakek, tadi ayah juga sudah memperingatkan Sayuri...”

”Dan?”

Eisuke bertanya penuh rasa ingin tahu, karena melihat perubahan raut wajah cucunya.

”Dan aku dihukum ayah, kek”

Eisuke sudah menduganya.

”Oh ya? Apa hukuman dari ayahmu?”

”Liburan musim panasnya ditunda, kata ayah, menunggu sampai Sayuri bersikap baik,”

Bibir mungilnya cemberut, lagi-lagi hatinya menjadi sebal, mengingat apa yang dikatakan ayahnya.

”Tapi ayah kan sudah janji ya kek... Harusnya ayah menepati janjinya, iya kan kek,”

Eisuke menatap iba pada cucunya, baginya terkadang Masumi terlalu keras pada Sayuri. Padahal, belum juga genap 6 tahun usia Sayuri.

”Mungkin ayahmu ingin mengajakmu ke tempat istimewa, dan tempat istimewa itu masih dipersiapkan, makanya ayahmu memilih untuk menunda liburan musim panasmu,”

Sayuri hanya mengerenyitkan hidung mungilnya. Dengan kecerdasannya, ia tahu, kakeknya hanya berusaha membesarkan hatinya.

”Sini,”

Sayuri beringsut mendekati Eisuke dan meletakkan kepalanya di pangkuan kakeknya. Tak berapa lama, ia pun jatuh tertidur. Eisuke memandang dengan hati bercampur aduk, antara iba dan sayang. Dimatanya terkadang Sayuri terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan umurnya yang sebenarnya.

’Cucuku sayang... Kasihan sekali kau ini...’

= # =

Masumi memasuki kediaman Hayami dengan langkah gontai. Hari ini benar-benar menguras mental dan tenaganya. Setelah peristiwa menghilangnya Sayuri dari sekolah, dia harus rapat marathon dan melakukan berbagai perundingan yang begitu alot dengan beberapa investor.

Jasnya dikait dengan ujung jari dan disampirkan sembarangan dibahunya. Sementara lengan bajunya digulung tak teratur. Dasinya pun tak kalah berantakannya. Sebatang rokok terselip di antara bibirnya.

“Aku pulang,”

“Baru sampai kau, Masumi?”

Masumi menatap datar pada Eisuke yang tengah membaca diterangi lampu baca di sudut ruangan.

“Iya, ayah, aku baru sampai. Mana Sayuri? Sudah tidur ya?”

“Sayuri-chan sudah tidur sejak jam 8 tadi, sepertinya dia kecapekan setelah berkali-kali diminta mengulang pelajaran piano oleh miss Angelique. Entah mengapa, hari ini dia begitu susah berkonsentrasi, sampai-sampai miss Angelique mengeluh,”

“Begitu ya...”

Masumi terdiam, seakan memikirkan sesuatu.

”Aku lelah ayah, aku ingin istirahat. Selamat malam,”

Tanpa menunggu jawaban Eisuke, Masumi beranjak menuju kamarnya di lantai dua.

”Apa kau tidak terlalu keras pada Sayuri-chan, Masumi?”

Masumi serta merta menghentikan langkahnya pada pijakan anak tangga yang ketiga.

”Maksud ayah?”

Eisuke menjalankan kursi rodanya hingga tepat berada di samping tangga.

”Soal liburan musim panas Sayuri-chan. Mengapa sampai kau tunda? Sayuri-chan sangat kecewa kau melakukannya,”

”Aku hanya menundanya untuk memberikan pelajaran disiplin padanya ayah, bukan membatalkannya,”

Masumi membalikkan badan menghadap ayahnya.

”Dan seharusnya dia tahu, alasan aku menunda liburan musim panasnya,”

Eisuke menatap Masumi.

”Tapi itu terlalu keras buatnya, Masumi,”

”Benarkah? Sejak kapan ayah menjadi lembek dalam mendidik anak?”

Eisuke terdiam.

”Aku belajar dari ayah. Ayah yang hanya ayah angkat aku bisa mendidik aku dengan demikian kerasnya. Aku ayahnya, ayah. Ayah kandung Sayuri. Aku berhak menerapkan pendidikan yang sesuai untuk Sayuri karena aku ayah kandungnya. Lagipula, aku tidak mau pengalaman menjadi korban penculikan juga menimpa Sayuri. Diculik itu tidak enak ayah. Jangankan untuk anak sekecil Sayuri, untuk orang dewasa pun apabila menjadi korban penculikan rasanya sangat mengerikan,”

Eisuke semakin terdiam. Sekelumit rasa bersalah menghinggapi batinnya. Akibat cara mendidiknya yang begitu keras pada Masumi, kini Masumi menerapkannya pada Sayuri, walau diakuinya Masumi tidak sekeras dirinya dalam mendidik Masumi.

”Aku lelah ayah, aku mohon diri dulu. Selamat malam,”

Masumi berlalu meninggalkan Eisuke yang tercenung diam, tak berkata-kata.

= # =

Langkah kakinya terhenti di depan pintu yang bertempel stiker meriah. Ingin rasanya ia masuk hanya untuk sekedar memberikan kecupan selamat malam di pipi montok gadis kecil itu.

’Sayuri pasti sudah terlelap saat ini,’ batinnya berkata sendiri.

Namun, kerinduan untuk mencium anak semata wayangnya membuatnya menyerah. Dengan perlahan, Masumi membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan berjingkat-jingkat, berusaha tidak menimbulkan suara berisik agar tidak membangunkan putrinya.

Putri kecilnya tampak terlelap damai dengan memeluk Pappo, guling kelinci berwarna pink hadiah ulang tahunnya yang ke-4 dari Masumi. Wajahnya begitu polos dan tanpa dosa, seperti wajah malaikat, sungguh sangat berbeda dengan saat dia terjaga. Tiba-tiba, perasaan bersalah menyergap hati Masumi. Mungkin benar juga yang dikatakan ayahnya. Mungkin memang ia sudah terlalu keras pada Sayuri.

Masumi menghampiri tempat tidur Sayuri dan duduk di samping Sayuri yang tengah terlelap. Perlahan ia mengelus kepala putrinya. Secara fisik, Sayuri benar-benar merupakan duplikat Masumi. Siapapun yang melihat Sayuri pertama kali akan langsung menyadari bahwa dia adalah anak Masumi Hayami. Hanya rambut tebal hitam legamnya yang mengikuti ibunya. Memandangi Sayuri membuat hati Masumi menggembung penuh perasaan bangga dan sayang. Namun, tak urung terselip perasaan sedih dalam benaknya, membawanya pada kenangan waktu itu.
> to be continued

7 komentar:

  1. ini sebenernya anak Masumi ama siapa sih?

    update-nya jangan lama-lama ya sist

    thank you

    BalasHapus
  2. BAGUUUSSSSSSSSS LANJOOOTKAAANNNNNNN

    BalasHapus
  3. Sukaaaaaaaaaaaaa.........!!! walopun nebak2 background cerita ini pasti rada tragis deh :( *flo*

    BalasHapus
  4. kereeeeennnn..^_^...LAMJUTKANNNNN...!!!

    BalasHapus
  5. Wew, sedih ceritanya, melow2, hiks, mayanya kemana?

    BalasHapus
  6. penasaraaaan, syuri anak masumi ma maya kah?

    BalasHapus
  7. masih ngebayangin wajahnya sayuri yg mirip masumi,,tp,, itu anaknya maya kaaannn,,,lanjut lg ach,

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-