Jumat, 12 Agustus 2011

The Adventure of Sayuri Hayami #3




Masumi yang tengah bersiap-siap di kamarnya terkejut mendengar keributan yang samar-samar sampai ke telinganya. Sambil mengenakan dasi ia keluar kamar dan menghampiri kamar Sayuri yang pintunya tertutup rapat.

”Sayuri,”

Masumi mengetuk pintu, namun tak jua ada jawaban, hanya suara tangis Sayuri yang lamat-lamat terdengar. Masumi menjadi khawatir dan semakin bertanya-tanya.

”Sayuri, kau kenapa?”

Masumi meraih pegangan pintu. Tak bergerak. Pintu itu dikunci dari dalam.

“Sayuri, buka pintunya,”

Masih juga tak ada jawaban, namun suara tangis di dalam kamar sudah mulai tak terdengar.

“Sayuri....!”

“Ma’af tuan muda, apakah nona kecil baik-baik saja?”

Masumi menoleh pada bibi Michi yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

“Memangnya apa yang terjadi, bi?”

Dengan wajah cemas bibi Michi menceritakan tentang awal mulai terjadinya semua ini.

“Tapi, ma’af tuan muda, bibi tidak tahu, apa yang terjadi di dalam kamar tuan besar. Bibi hanya  mendengar tuan besar membentak nona kecil untuk keluar dari kamar, sepertinya tuan besar benar-benar marah pada nona kecil,”

Masumi menggeretakkan rahangnya dengan ketat. Tanpa sadar tangannya mengepal erat.

“Tuan muda?”

“Bibi Michi turun saja, biar aku yang mengurus Sayuri...”

“Tuan muda?”

Masumi tak bergeming, matanya masih manatap lekat pada pintu kamar Sayuri yang tertutup.

“Baiklah tuan muda, bibi turun dulu,”

Dengan wajah masih diliputi kecemasan, bibi Michi turun meninggalkan Masumi yang masih di depan pintu kamar Sayuri. Ia yakin, tak lama lagi di rumah ini akan terjadi badai besar.

= # =

‘Mengapa kau lakukan lagi? Mengapa kau berusaha lagi memikat orang-orang di sekelilingku?”

Eisuke menatap sendu setengah merindu pada foto besar Sang Bidadari Merah.

’Tidak tahukan kau, kepedihan dan penderitaan macam apa yang akan timbul setelah ini? Kau memang benar-benar mengutukku ya?’

Eisuke masih saja terpekur, menekuri kejadian pagi ini. Menyesali kemarahannya pada Sayuri. Menyesali keteledorannya sendiri.

’Sayuri, ma’afkan kakek...’

= # =

”Sayuri, tolong buka pintunya,”

Masumi kembali mengetuk pintu. Menunggu. Dan kesabarannya membuahkan hasil, perlahan terdengar suara kunci diputar dan muncullah wajah Sayuri dari balik pintu. Masih bersimbah airmata dengan hidung memerah.

”Ayah!”

Seketika Sayuri menghambur dalam pelukan ayahnya. Kembali menangis sesenggukan.

”Sst.. Cup... Cup...”

Masumi menepuk lembut punggung Sayuri yang memeluk erat kakinya. Untuk sejenak Masumi membiarkan Sayuri menangis menumpahkan segala kesedihannya.

”Sayuri...”

”Kenapa kakek jahat sekali ayah? Kenapa harus membentak Sayuri seperti itu? Memangnya Sayuri salah apa? Sayuri kan tidak merusakan apapun, menyentuh pun tidak, tapi kenapa kakek bisa semarah itu?”

Masumi menghela nafas panjang. Kejadian ini berulang lagi. Kenangan lama akan kemarahan Eisuke saat ia memasuki ruang terlarang kembali telintas di kepalanya, seperti sebuah film dokumenter lama yang tengah diputar kembali. Kembali rahang Masumi mengetat. Setelah sekian lama berselang, Eisuke masih saja bersikap sama soal ruang pemujaannya itu. Baginya Eisuke benar-benar sudah keterlaluan.

”Nanti ayah akan bicara pada kakek, ya?”

Sayuri mengangguk pelan, sementara airmata masih terus membanjiri wajahnya, membasahi baju Masumi.

= # =

Langkah kakinya berjalan cepat-cepat melintasi jembatan bambu.

’Aduh, bagaimana ini? Bisa-bisa aku terlambat,’

“Kya!!”

Untung sebuah tangan menahan tubuhnya, hingga ia tak perlu basah kuyub karena tercebur ke dalam sungai. Walaupun sungai kecil itu berair jernih dan segar, namun ia sedang tidak ingin berbasah-basah di pagi yang masih menyisakan kabut tipis.

“Hati-hati, Kazumi,”

“Oh, terima kasih Takahiro, untung ada kau, kalau tidak, mungkin aku sudah basah kuyub,”

Kazumi memandang penuh rasa terima kasih pada Takahiro.

“Sama-sama, Kazumi, memangnya kau mau kemana sepagi ini? Kenapa terburu-buru?”

”Aku hendak ke rumah bibi Akane, Takahiro. Kalau tidak cepat-cepat, aku takut beliau sudah pergi ke ladang,”

”Ke rumah bibi Akane?”

Takahiro memandang heran pada Kazumi sambil mengiringi langkahnya di atas jalanan berbatu. Namun, seketika ia mengerti, untuk apa Kazumi pergi kesana. Tak lama lagi mereka akan segera menikah, dan bibi Akane adalah salah satu penjahit kimono pengantin terbaik di desa mereka. Bahkan, tak jarang ada orang yang datang dari kota besar hanya sekedar untuk memesan kimono buatan bibi Akane.

”Iya, Takahiro, kemarin beliau menitipkan pesan pada Atsuko supaya aku ke rumahnya pagi-pagi. Kata beliau, mengukur baju pada pagi hari akan memberikan energi yang baik untuk pengantin. Ah, ada-ada saja bibi Akane itu,”

Takahiro tersenyum pada tunangannya itu.

”Eh, Takahiro?”

Langkah kaki Kazumi terhenti di jalan tak jauh dari rumah bibi Akane.

”Ya, Kazumi?”

”Kau tidak boleh ikut kesana! Bibi Akane bilang, aku harus datang sendiri. Sana! Sana!”

”Tapi, Kazumi...” Takahiro memasang wajah memelas.

”Tidak boleh!” pelototnya galak

”Sudah sana, pergi.... Aku tidak mau kena marah bibi Akane karena melanggar larangannya,”

Kazumi mendorong pelan punggung Takahiro, memintanya untuk segera pergi.

”Baiklah... Baiklah... Aku pergi. Salam untuk bibi Akane ya, bilang aku sangat mengharapkan beliau bisa membuatkan kimono istimewa agar tunanganku yang manis ini jadi semakin cantik di hari pernikahannya,”

Takahiro mengendipkan mata, menggoda Kazumi.

”Gombal! Sudah sana,”

”Siapa yang gombal? Aku mengatakan yang sesungguhnya Kazumi, kau ini manis dan cantik sekali, apalagi kalau sedang cemberut begini,”

”Takahiro! Nanti aku terlambat menemui bibi Akane, dan bukankah kau harus kembali ke kota hari ini? Sudah sana, nanti ketinggalan bis,”

”Belum apa-apa kau sudah mengomeliku, seperti ibuku mengomeli ayahku. Baiklah, aku berangkat dulu ya Kazumi, kau minta oleh-oleh apa?”

Kazumi tersenyum pada Takahiro.

”Tidak usah, Takahiro. Kau sudah banyak membelikanku hadiah, kamarku rasanya tidak bisa lagi menampung barang-barang pemberianmu, jadi tolong kau tak usah membelikan aku apa-apa lagi. Yang penting kau kembali dengan selamat,”

”Benar?”

Kazumi mengangguk meyakinkan.

”Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu ya Kazumi, baik-baik kau jaga diri. Kita bertemu lagi minggu depan. Sampai jumpa,”

”Sampai jumpa, Takahiro, aku akan merindukanmu,”

Takahiro tersenyum pada Kazumi dan beranjak dengan mencangklong tas punggungnya setelah membelai lembut kepala Kazumi. Kazumi terus memandang punggung Takahiro hingga hilang di balik tikungan jalan. Takahiro selalu begitu. Bersikap manis dan menyenangkan, membuat hati Kazumi merasa tenang saat bersama Takahiro.

”Sampai kapan kau akan memandanginya, Kazumi? Padahal, mungkin saat ini Takahiro sudah naik bis,”

Suara lembut seorang wanita menyadarkan lamunan Kazumi.

”Oh, bibi Akane, selamat pagi,”

Dengan wajah memerah salah tingkah, Kazumi membungkukkan badan memberi salam pada bibi Akane.

”Selamat pagi, Kazumi. Kupikir kau tak jadi datang, Kazumi, hampir saja ku minta Atsuko menjemputmu, ternyata kau malah asyik ngobrol dengan Takahiro di depan rumahku,”

Bibi Akane menggerutu pada Kazumi, namun matanya berkilat menggoda pada Kazumi.

”Ma’afkan saya, bibi Akane,”

Dengan muka memerah dan semakin salah tingkah, Kazumi kembali membungkukkan badan, meminta maaf pada bibi Akane.

”Sudahlah Kazumi, tidak apa-apa, aku hanya senang saja menggoda para calon pengantin. Ayo masuk,”

Pipi Kazumi semakin merona dan dengan kepala menunduk Kazumi mengikuti bibi Akane, masuk ke dalam rumahnya.

= # =

Mereka berdua sarapan dalam diam, membuat suasana disekitarnya terasa suram. Apalagi Sayuri belum juga turun untuk sarapan bersama mereka.

”Mana Sayuri? Kenapa belum turun juga untuk sarapan?”

Masumi diam tak menjawab, dia malah asyik menyesap kopi dari cangkirnya.

”Michi, panggil Sayuri turun, suruh dia sarapan,”

”Ma’af tuan, nona Sayuri minta sarapan di kamar,”

”Sejak kapan dia jadi suka sarapan di kamar? Suruh dia turun,”

”Baik tuan,”

”Tidak usah bi, biarkan Sayuri sarapan di kamarnya,”

Seketika bibi Michi menghentikan langkah, terlihat sekali dia merasa kebingungan dengan perintah yang diterimanya. Eisuke memerintahkannya untuk mengajak Sayuri turun, sementara Masumi melarangnya untuk memanggil Sayuri. Pandangan matanya beralih dari Eisuke dan Masumi yang kini tampak saling menatap tajam satu sama lain.

”Apakah kau coba menentangku, Masumi?”

”Sudahlah ayah. Ini hanya masalah sarapan, bukanlah sebuah masalah hidup dan mati. Biarkan saja Sayuri sarapan di kamarnya. Aku tidak mau sampai Sayuri sakit hanya karena dia kehilangan selera makan jika dipaksa turun dan sarapan bersama kita, bersama ayah,”

Eisuke jelas-jelas gusar dengan perkataan Masumi. Tanpa berkata-kata lagi Eisuke memutar kursi rodanya dan berlalu meninggalkan sarapannya yang masih tersisa setengah.

Masumi menghembuskan nafas panjang.

’Perang dingin, kembali dimulai,’ pikir bibi Michi yang mengawasi dari pantry.

= # =

Sayuri diam membisu di sudut sebuah laci yang gelap. Hatinya berdebar-debar kencang. Dengan perlahan dia beringsut dan mencoba mengintip keluar melalui celah pintu laci, berjaga-jaga kalau-kalau Nanako, salah satu pengurus rumah yang diajaknya bermain petak umpet mulai mendekati tempatnya bersembunyi.

’Pasti bibi Nanako tidak akan bisa menemukan aku disini,’ bisik hatinya senang.

Saat dia bergeser kembali merapat ke dinding laci sebelah dalam, tiba-tiba tangannya membentur sesuatu. Hatinya tersentak. Setengah takut-takut setengah penasaran Sayuri meraba-raba. Benda itu terasa dingin dan keras di telapak tangannya.

Terbawa rasa penasaran, akhirnya Sayuri membuka pintu laci, membiarkan cahaya masuk agar ia bisa melihat, benda apa sebenarnya yang sudah ditemukannya. Di bawah keremangan cahaya, Sayuri bisa melihat, benda yang membentur tangannya tadi adalah sebuah kotak besi berwarna marun dengan gambar bunga-bunga sakura bermekaran di atasnya. Keindahan warna kotak besi itu membuat Sayuri tertarik untuk melihatnya.

Dengan segala rasa ingin tahu, Sayuri membawa kotak itu keluar dari laci. Digoyang-goyangkannya kotak itu, terdengar isinya membentur dinding bagian dalam kotak setiap Sayuri menggoyangnya. Sayuri semakin penasaran dengan isi kotak itu.  Ia kemudian berjingkat-jingkat keluar dari kamar tempat persembunyiannya menuju kamarnya sendiri. Ia ingin cepat-cepat membuka kotak itu dan mencari tahu apa isinya.

”Nah ya! Nona Sayuri kena!”

”Ah, bibi Nanako! Bikin Sayuri kaget aja!”

Nanako tertawa melihat Sayuri cemberut karena dikejutkan olehnya.

”Masih mau lanjut mainnya?”

”Udah ah, Sayuri capek!”

”Hmmmm, capek apa karena nona Sayuri tidak mau mendapat giliran jaga? Hayoooo, curang ya....”

”Siapa yang curang? Sayuri tidak pernah curang bibi Nanako... Beneran, Sayuri capek nih, mau udahan aja mainnya,”

”Ya sudah, kita berhenti mainnya, lagipula bibi juga harus membantu bibi Michi,”

Tiba-tiba mata Nanako terpaku pada kotak yang ada di tangan Sayuri.

”Itu kotak apa, nona?”

Sayuri memandang Nanako kemudian memandang kotak yang berada di tangannya.

”Ini kotak kosong bi, Sayuri mau memakainya untuk tempat ikat rambut Sayuri, bagus ya?”

”Iya nona, bagus sekali, nona dapat darimana?”

‘Aduh, aku harus jawab apa nih?’

Otak Sayuri berputar cepat, berusaha mencari jawaban yang tepat agar Nanako tidak mencurigainya. Apalagi tadi pagi dia sudah melakukan kesalahan besar dengan memasuki ruangan rahasia di kamar kakeknya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Sayuri menemukannya di salah satu laci lemari di dalam kamar itu. Karena kamar itu sudah lama tidak ada yang menempati, tentunya tidak ada yang memilikinya kan? Mungkin ini punya ayah, nanti aku akan meminta ijin ayah untuk memilikinya,”

Nanako nampak berpikir sebentar. Sebenarnya ia khawatir kalau-kalau nona kecilnya ini kena marah lagi. Apalagi, hari ini suasana hati Eisuke sedang tidak baik setelah tadi pagi begitu marah pada Sayuri.

“Baiklah nona kecil, tapi jangan lupa untuk bertanya pada ayah nona ya? Siapa tahu kotak itu milik seseorang,”

“Baik bi, Sayuri janji,”

“Sekarang, saya mau turun dulu, saya mau membantu bibi Michi menyiapkan makan siang. Nona mau makan dimana?”

“Kakek ada?”

“Kakek nona ada, tapi sepertinya beliau tidak akan keluar dari ruang kerjanya, karena sedari tadi saya perhatikan, paman Asa yang bolak balik keluar ruang untuk mengambil keperluan tuan besar,”

Sayuri nampak berpikir.

“Aku makan di kamar saja, bi. Tolong ya,”

Jujur saja, Sayuri masih ngeri untuk berhadapan langsung dengan kakeknya. Makanya, tadi pagi pun ia memilih untuk menghabiskan sarapannya di dalam kamar. Padahal, tadi pagi masih ada ayahnya yang bisa menemaninya untuk duduk sarapan semeja dengan kakeknya. Tapi Sayuri benar-benar ketakutan dan merasa trauma dengan sikap galak Eisuke. Makanya, siang inipun dia tidak berani mengambil resiko untuk bertatap muka dengan kakeknya. Apalagi tidak ada ayahnya.

Nanako dapat menangkap kekhawatiran yang terpancar dari sorot mata besar Sayuri. Ia pun tersenyum maklum.

”Baik, nona cantik, nanti saya  antar makan siang nona ke kamar, ya,”

”Terima kasih bibi Nanako, telah menemaniku bermain,”

”Sama-sama, nona,”

Dan Nanako pun pergi meninggalkan Sayuri yang juga segera beranjak masuk ke dalam kamarnya sendiri.

= # =

”Mizuki, tolong kau tahan semua telepon untukku,”

Masumi menutup sambungan teleponnya setelah Mizuki mengiyakan apa yang dimintanya.

”Jadi, bagaimana Hijiri? Apakah sudah ada perkembangan?”

”Mohon ma’af pak, sampai sekarang belum ada titik terang yang jelas. Beberapa petunjuk yang saya dapatkan ternyata hanyalah petunjuk semu. Setiap saya telusuri, ternyata nihil,”

”Begitu ya...”

”Saya mohon ma’af, pak,”

Masumi hanya diam terpekur, sementara Hijiri tertunduk diam. Dia benar-benar merasa telah gagal menjalankan tugas. Baru sekali ini dalam hidupnya dia merasa sangat tidak berguna.

”Kau jangan bertampang seperti itu Hijiri, aku jadi merasa bersalah padamu,”

Masumi tersenyum pada Hijiri yang tampak terkejut atas ucapannya.

”Tapi, pak...”

”Sudahlah... Mungkin memang sudah waktunya aku menyerah, Hijiri... Sejauh apapun aku mengejar selama ini, selalu saja tertinggal selangkah di belakang... Setidaknya, saat ini ada Sayuri... Dan aku harus memikirkannya...”

Bayangan wajah Masumi yang terpantul di jendela dinding terlihat begitu sendu.

”Ma’afkan saya, pak Masumi...”

= # =

Sayuri duduk diam di atas karpet kamarnya yang tebal. Di sebelah kirinya nampak kotak besi hasil temuannya tadi telah terbuka. Dan kini, di atas pangkuannya, terbuka lebar sebuah buku harian tebal.

Mata besarnya terpaku pada lembar demi lembar halaman buku harian bersampul hitam yang didapatnya dari dalam kotak hasil temuannya itu. Dengan pikiran kanak-kanaknya, ia mencoba mencerna curahan hati orang dewasa yang tertuang dalam setiap baris demi baris tulisan.

Sebenarnya ia tidak benar-benar mengerti tentang apa yang dibacanya. Namun, hatinya tahu, ini ungkapan kesedihan, kemarahan, kesepian, rasa benci dan dendam yang meluap-luap serta ungkapan putus asa yang begitu hebat.

’Ibu.... Ma’afkan Sayuri...’

Gadis kecil itupun terisak-isak.

= # =

”Baiklah bibi, terima kasih atas hari ini, saya pulang dulu,”

”Tunggu dulu Kazumi, jangan pulang dulu. Kau tunggu sebentar ya?”

Kazumi yang sudah bersiap-siap pulang, memandang heran pada bibi Akane yang segera menghilang di balik dinding. Tak berapa lama, bibi Akane kembali dengan membawa sebuah bungkusan.

”Coba kau lihat ini, Kazumi? Bagaimana?”

Bibi Akane tersenyum bertanya pada Kazumi sambil membentangkan selembar bahan kain kimono di atas lantai kayu rumahnya. Mata Kazumi terpesona melihat kain berwarna gradasi nila itu. Motifnya begitu indah dan terlihat hidup, seakan-akan Kazumi tengah berada di tengah sebuah lembah di waktu malam, menyaksikan angkasa penuh bertabur bintang.

”Bagus sekali bibi! Benar-benar indah!”

Binar-binar kekaguman terpancar jelas dari mata Kazumi, hingga membuatnya berkaca-kaca.

”Kau menyukainya, Kazumi?”

”Iya bibi, sangat... Benar-benar indah...”

”Kau boleh memilikinya untukmu, Kazumi,”

”Bibi? Ja... jangan...! Saya sungguh tak pantas menerima barang seindah ini, pasti sangat mahal... Cukup dengan bahan yang pertama tadi bibi, itupun juga tak kalah indahnya,”

”Anggap saja ini hadiah pernikahan untukmu dari bibi,”

”Bibi...”

”Sudah, tidak perlu sungkan. Saat pertama kali melihat kain ini, bibi langsung teringat padamu. Setiap bibi bertemu denganmu selalu bibi perhatikan, terkadang jiwamu dan pikiranmu seolah menerawang jauh entah kemana. Persis seperti angkasa raya yang menyimpan begitu banyak misteri,”

”Terima kasih banyak, bibi Akane. Bibi sungguh baik,”

Kazumi terbata-bata, tak tahu harus berkata apa lagi.

”Sudahlah Kazumi, tidak perlu sungkan begitu, bagaimanapun dirimu dan Takahiro, sudah seperti anak sendiri bagi bibi,”

”Bibi...”

Kazumi masih memandang takjub pada kain yang terbentang. Motif yang tergambar di kain itu begitu menyedot perhatiannya. Dengan perlahan Kazumi membelainya, merasai kelembutan sutera kualitas tinggi.

’Rasanya seperti melihat jutaan bintang di langit. Berjuta bintang yang indah...’

Deg!

’Perasaan ini...?’

”Sejuta bintang... Tak kusangka bisa memandangnya di sini bersamamu... Luar biasa! Indah sekali... Ternyata ada langit seindah ini...”

’Suara itu? Akh!’

”Kazumi? Kau baik-baik saja?”

Suara bibi Akane yang khawatir membawa kembali Kazumi ke alam nyata.

’Tadi itu apa?’

Dia merasa bingung. Untuk sesaat tadi, dirinya seakan tertarik masuk ke dalam gelombang warna kain yang kini berada di bawah telapak tangannya. Dan, kenangan itu begitu kental menyeret pikirannya.

”Kazumi?”

”Ah, bibi, ma’af, saya melamun... Sungguh, ini kain yang sangat indah... Terima kasih banyak bibi,”

”Sama-sama, Kazumi,”

Dan bibi Akane kembali memandang pada Kazumi yang menatap penuh kerinduan pada kain di hadapannya.

’Kazumi... Siapa kau sebenarnya, nak?’

= # =

Puas menangisi buku harian yang berada di pangkuannya, Sayuri merasa haus. Gadis cilik itu kemudian keluar dari kamarnya dan mengintip sebentar ke lantai dasar melalui pagar pembatas.

’Sepi....Moga-moga kakek belum keluar dari ruang kerjanya,’

Dengan mengendap-endap, Sayuri menuruni anak tangga. Namun, baru sampai pada pertengahan perjalanannya, matanya beradu pandang dengan mata Eisuke yang baru saja masuk dari ruang keluarga. Seketika Sayuri berbalik arah dan berlari kembali ke kamarnya.

”Sayuri! Berhenti!”

Hati Sayuri berdebar ketakutan, sebenarnya ia ingin terus berlari, tapi suara kakeknya yang tegas membuat langkah kakinya terhenti seketika.

”Sini, turun dulu,”

Sayuri membalikkan badan dan menatap Esiuke yang tengah mendongak ke arahnya. Mata kanak-kanaknya menyiratkan keraguan dan rasa takut.

”Ayo, turun, ada yang ingin kakek bicarakan denganmu,”

’Aduh, bagaimana ini?’

Sayuri tampak ragu-ragu dan berpegangan pada pagar tangga.

”Ayo, sini turun. Kakek tidak akan menggigitmu, Sayuri,”

Demi mendengar suara Eisuke yang melunak, akhirnya dengan takut-takut Sayuri menuruni anak tangga. Begitu sampai di hadapan Eisuke, Sayuri menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap ke arah Eisuke. Melihat hal itu, Eisuke menghela nafas perlahan.

”Ayo, ikut kakek,”

Dengan hati bertanya-tanya, Sayuri mengekor di belakang kursi roda Eisuke.

’Ini kan...?’

”Ayo masuk,”

Sayuri ragu-ragu. Matanya kembali menatap takut-takut pada Eisuke.

”Tidak apa-apa, ayo masuk,”

Dengan langkah perlahan, Sayuri memasuki kamar Eisuke. Diam-diam, rasa ingin tahu Sayuri membuatnya melirik ke arah pintu yang tadi pagi ia masuki. Perasaan kecewa menghinggapi hati Sayuri saat melihat ke arah pintu itu. Sekarang pintu itu tertutup rapat.

”Sayuri, coba kau buka pintu itu,”

Sayuri menatap tak percaya pada Eisuke.

”Iya, ayo buka saja,”

Eisuke tersenyum meyakinkan Sayuri.

Tangan Sayuri terulur meraih gagang pintu, dengan hati berdebar, Sayuri membukanya perlahan.

Dan, pemandangan menakjubkan itu, kembali mempesona jiwa kanak-kanaknya. Sebuah potret besar seorang dewi, tengah menatap lurus ke arahnya. Membuat Sayuri, untuk sekali lagi terpaku, terpesona oleh keagungan yang terpancar. Membuat Sayuri lupa, bahwa kini kakeknya tengah berada di belakangnya, mengawasi segala reaksi Sayuri akibat menatap potret itu. Kekuatan daya magisnya benar-benar luar biasa, bahkan mampu meruntuhkan aroma kemarahan dan pertengkaran yang tersisa tadi pagi.

”Cantik ya, Sayuri?”

”Iya kek, cantik sekali...”

”Kau suka?”

”Suka... Suka sekali...”

Eisuke menghela nafas, benar saja, Sayuri telah terpikat keagungan Sang Bidadari Merah. Satu lagi, keturunan klan Hayami, akan menjadi ’korban’ keindahan Bidadari Merah.

”Potret itu adalah potret Sang Bidadari Merah. Dia bukanlah tokoh nyata, dia hanyalah tokoh ciptaan Ichiren Ozaki dalam naskah drama berjudul Bidadari Merah, namun keberadaannya terasa begitu nyata saat berada di panggung,”

Sayuri masih terdiam mendengar cerita Eisuke, namun kini dia mulai menjelajahi ruangan, mengamati satu persatu segala pernak pernik Bidadari Merah yang tertata rapi. Hingga langkahnya terhenti di hadapan kimono kebesaran Sang Bidadari Merah.

”Ini... Kimono Sang Bidadari Merah, kek?”

”Benar, Sayuri, itu kimono yang di kenakan Tsukikage Chigusa saat memerankan Bidadari Merah,”

Tangan mungil Sayuri membelai lembut kimono itu, memperlakukan dengan sangat hati-hati, karena ia tahu, ini pasti benda yang sangat berharga.

”Ini... Kenapa kek?”

Sayuri menanyakan bekas terbakar yang nampak jelas di kimono itu.

”Dulu, jauh sebelum kau lahir, di rumah ini pernah terjadi kebakaran, untung saja kimono itu bisa selamat, walaupun ada sedikit bekas terbakar yang tertinggal... Namun sayang... Nenekmu harus meninggal karena berusaha menyelamatkan kimono itu...”

Sayuri memandang Eisuke.

”Dan, potret itu... Apakah Tsukikage Chigusa juga?”

”Benar, Sayuri, potret itu adalah potret Tsukikage Chigusa yang memerankan sang Bidadari Merah,”

Tatapan Sayuri kembali terkunci pada potret besar Sang Bidadari Merah.

”Kakek...?”

”Iya, Sayuri?”

”Maukah kakek menceritakan kisah Sang Bidadari Merah padaku, kek?”

Suara Sayuri menggumam pelan, namun cukup jelas terdengar oleh Eisuke.

”Ambillah sebuah zabuton, kakek akan menceritakan padamu tentang kisah Sang Bidadari Merah,”

= # =

Suasana kediaman Hayami tampak begitu sunyi kala Masumi memasuki pintu. Hari ini Masumi sengaja pulang lebih awal dari biasanya. Dia ingin menemani dan menghibur Sayuri. Namun, sepertinya Sayuri tidak mendengar kedatangan Masumi.

”Aku pulang,”

”Tuan muda,”

Bibi Michi tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Masumi.

”Sayuri mana, bi?”

”Ehmm... itu tuan muda...”

”Kenapa bi? Jangan bibi katakan kalau Sayuri menghilang lagi,”

”Ma’af tuan muda, dari sore tadi nona Sayuri bersama tuan besar, di kamar tuan besar. Entah apa yang mereka lakukan, namun hingga kini, baik tuan besar maupun nona Sayuri, belum tampak satupun yang keluar dari kamar tersebut. Kami semua cemas, takut nona kena marah lagi seperti tadi pagi, namun kami tak berani mengganggu,”

Masumi tercekat sesaat mendengar keterangan bibi Michi. Akhirnya dengan perasaan berbaur antara khawatir dan geram, Masumi melangkah cepat-cepat menuju kamar ayahnya, diiringi pandangan cemas bibi Michi.

”Ayah, Sayuri,”

Masumi membuka pintu dan memasuki kamar Eisuke tanpa permisi lagi. Hatinya benar-benar khawatir, kalau-kalau ayahnya masih saja memarahi Sayuri. Namun, lamat-lamat di dengarnya Sayuri berceloteh riang ditimpali suara tawa Eisuke.

”Jadi, kakek jangan pernah lagi membentak Sayuri seperti tadi ya kek... Kakek benar-benar seram, Sayuri takut sekali...”

Sayuri tampak menggelayut manja di pangkuan Eisuke.

”Oh ya? Lebih seram mana sama ayahmu itu?”

Sayuri menoleh ke arah pandangan Eisuke.

”Ayaaaaahhhhhh!!!!!”

Serta merta dia meluncur ke arah Masumi dan melompat ke dalam pelukan Masumi.

”Selamat datang, ayah!”

”Kau sudah pulang, Masumi,”

”Iya ayah, aku sengaja pulang cepat, kupikir Sayuri butuh untuk ditemani, namun rupanya sudah cukup gembira bermain dengan kakeknya,”

Masumi menyindir serta menatap penuh penilaian ke arah Eisuke dan Eisuke balas memandang Masumi dengan acuh tak acuh.

”Iya, ayah. Tadi kami asyik sekali, kakek menceritakan sebuah kisah yang benar-benar luar biasa mempesona...”

”Sayuri, mandi dulu,”

”Ups, iya, sampai lupa mandi. Ayah aku mandi dulu ya. Kakek, terima kasih sudah menceritakan kisah yang begitu luar biasa, sekarang Sayuri mandi dulu,”

Tanpa menunggu jawaban, Sayuri melesat keluar kamar Eisuke dan tak lama kemudian suaranya yang telah kembali ceria terdengar menggema mencari bibi Michi.

”Apa yang ayah ceritakan pada Sayuri?”

Masumi menatap tajam ke arah Eisuke, meminta penjelasan.

”Sudah saatnya dia tahu, Masumi, dan harus dari kita lah dia tahu, bukan dari orang lain,”

Masumi hanya terpekur diam, berusaha mencerna kemana arah pembicaraan Eisuke.

”Apa maksud ayah?”

”Hah, kau ini Masumi Hayami! Entah kau ini pandir atau memang kau tidak mau mengakuinya! Tentu saja tentang segala keruwetan yang terjadi bersangkut paut dengan Bidadari Merah. Aku tidak mau ada lagi kesalah pahaman terjadi. Aku tidak mau Sayuri terluka, setelah dia mengetahui soal Bidadari Merah... Seperti yang pernah terjadi pada kita berdua... Tidak Masumi, aku tidak rela, jika Sayuri harus mengalami hal yang sama seperti aku dan dirimu...”

Masumi memandang lekat tak percaya pada Eisuke,

”Ayah...”

”Ya, itulah alasanku marah pada Sayuri tadi pagi. Bagiku, belum waktunya ia tahu mengenai lingkaran obsesi Bidadari Merah yang melingkupi klan Hayami. Namun, sepertinya sudah terlambat, bagaimanapun juga dia akhirnya tahu. Dan aku tak mau ia mencari-cari tahu hingga timbul kesalah pahaman yang tak perlu. Aku tidak mau salah langkah lagi, Masumi,”

Masumi terpekur memandangi lantai.

”Sayuri harus bisa memahami sesuai dengan pemikiran kanak-kanaknya, Masumi... Tentang diriku dan Tsukikage Chigusa... Juga, tentang dirimu dan Maya Kitajima...”

Masumi memandang tak percaya pada Eisuke.

“Aku sudah menceritakan segala hal tentang Bidadari Merah pada Sayuri, dan syukurlah, pemikiran kanak-kanaknya bisa memahami... Tinggal dirimu Masumi, kau harus berani menceritakan yang sebenarnya pada Sayuri, tentang Bidadari Merah, tentang ibunya, tentang semuanya, tanpa perlu melukai perasaan dan jiwanya yang masih polos...”

>to be continued

9 komentar:

  1. Akhirnya stlh ditunggu2 siapa kazumi itu...maya kah???penasaran tingkat tinggi...tq u/ lanjutannya feather pen

    BalasHapus
  2. masih penuh misteri...seperti nya masumi tetap msh mencari keberadaan maya tp knp maya terdampar d suatu tmpt dan dia gak ingat ama dirinya alis amnesia atau itu bukan maya????...

    makasih up date nya feather pen
    d tunggu up date nya lg yang bannnyyyyaaaaakkkk...:D

    BalasHapus
  3. Setelah baca chapter ini kok jadi punya feeling kalo kazumi itu maya ya?! kata2 ttg sejuta bintang itu kan kata2 masumi waktu liat bintang sama maya di kampung halaman bidadari merah...iya kan?! Hmm...sudah mulai nebak - nebak alurnya nih :) daaaannnnnn...makin penasaran nunggu lanjutannya! *flo*

    BalasHapus
  4. iya tuh kyknya si Kazumi itu maya deh, tapi kenapa bisa ada di desa itu dan mau tunangan pula.....ada apa ya?????

    Kenapa Hijiri sampe gak nemuin apa yg dicari????berarti sayuri emang anaknya maya kyknya,....mungkin waktu itu Maya sempet berantem kali sama Masumi terus Maya mutusin pergi dari rumah...eh gak taunya dia kecelakaan n hilang ingatan...ditemuin lah sama takahiro.....akhirnya jadi suka2 an deh makanya mereka mau tunangan... (sotoy ya :P)

    makin penasaran.....nice story...lanjooooot :DD

    BalasHapus
  5. Ditunggu ya kelanjutannya ^^
    Semangat !

    Wid Dya

    BalasHapus
  6. tambahan, @SIs Ivone : klo cm Maya berantem ama Masumi terus mutusin pergi dari rumah lha ga kasian tuh ninggalin anaknya...separah apakah berantemnya...
    ini pasti ada sesuatu nih yg lebih dari berantem....
    mau dibawa kemana cerita ini *armada mode on*
    makasih apdetnya....

    BalasHapus
  7. waaaah, makin penasaraaaan. kyknya kazumi itu memang maya ya? tp hilang ingatan.

    ada kejadian apakah? ditunggu lanjutannya yaaa

    BalasHapus
  8. waaahhh... makin seru aja nih ceritax..... kyknya kasuzi itu memang maya..... klo menurut aku si maya kayaknya hilang ingatan n pasti semua gara2 shiory deh.... dan dari ceritax kayaknya si sayuri anakx si shiori ya.... moga-moga aja salah.... hehehehhe... good job sista....

    BalasHapus
  9. frst time Maya Kitajima's'name appear in this story...could you imagine

    BalasHapus

Please, just leave your comment here -Thank you-